Kamis, 21 April 2016

Kartini Bukan Sekedar Sanggul dan Kebaya

Berkebaya, bersanggul, melakukan pawai sambil pakai kostum adat daerah atau profesi tertentu, sounds familiar, eh? 

Sudah berpuluh tahun Hari Kartini dirayakan dengan simbol-simbol demikian. Kenapa, ya harus dengan cara demikian? Membaca karya Pramoedya Ananta Toer, berjudul Panggil Aku Kartini Saja, sebenarnya makin menjelaskan kalau Kartini hidup dalam paradoks. Bahkan bertolak belakang dengan apa yang ia yakini.

Kartini adalah bangsawan yang hidup dengan tata cara hidup ala keraton yang menjunjung hierarki. Bagi seseorang yang mendambakan kesetaraan dan keadilan gender, tentu bukan hal mudah hidup dalam lingkungan demikian. Ia sudah 'dipersiapkan' sejak umur 12 tahun untuk menikah, sehingga tidak lagi sekolah. Kebahagiaan intelektualnya dimutilasi saat itu juga. Pada umur 24 tahun ia menikah (dimana menurut tradisi Jawa, ia sudah sangat telat menikah), dengan bupati beristri tiga yang umurnya berlipat-lipat jauhnya dibanding Kartini.

Menulis menjadi senjatanya untuk melawan. Kegiatannya berkoresponden dengan seorang Belanda, menyebabkan dirinya mulai dikenal. Karena tulisannya di surat-surat dipublikasikan sehingga membuat 'heboh' dunia internasional waktu itu. Kenapa heboh? karena ia orang keraton yang mengkritik norma-norma sosial Jawa yang membatasi ekspresi perempuan. Contohnya mengatur bagaimana cara perempuan berjalan. Hubungannya dengan Belanda mempermudah ia mendirikan sekolah untuk gadis-gadis di daerahnya, dimana hal itu tidak disetujui oleh suaminya.

Kartini dinikahkan saat sistem reproduksinya belum matang dan siap, sehingga meninggal ketika melahirkan anak satu-satunya. Menjadi bangsawan Jawa, ternyata lebih susah ketimbang menjadi rakyat jelata Jawa dalam hal kebebebasan diri. Dengan luasnya wawasan dan pengetahuannya, ia masih harus dikerdilkan oleh adat dan budaya Jawa, dan ia tidak bisa apa-apa dengan posisinya itu. Mungkin lebih tepatnya, karena ia perempuan jawa, sekalipun ia seorang ningrat. 

Pemikiran revousioner dan emansipasi yang diperjuangkan Kartini seharusnya kita lanjutkan. Tidak hanya tereduksi dari baju kebaya atau sanggul yang dipakai. Alangkah baiknya jika Hari Kartini diperingati dengan cara yang lebih konkrit, menciptakan dunia yang lebih baik lagi untuk perempuan dan juga laki-laki, persis seperti mimpi Kartini.

Gambar diunduh dari www.deborahdewi.com