Sabtu, 04 Juni 2016

Stigma Depresi dan Kepergian Vinsentius Billy

Sebelum mulai, kita bisa baca dulu artikel dari Tempo di sini

Masih basah di ingatan kita tentang berita kematian Vinsentius Billy. Ia ditemukan gantung diri di dalam kamar kosannya di daerah Beji, Depok. Saya pribadi tahu daerah itu karena sering melewati. Teman baik saya pernah tinggal di kosan tersebut di masa awal perkuliahan tahun 2011, jadi saya cukup familiar dengan lingkungannya.

Media-media online, televisi, dan radio langsung menyebar berita tersebut. Beberapa orang di kantor dan rumah berbalik kepada saya dan bertanya kenapa di UI banyak yang bunuh diri? berat banget kuliahnya, ya? dan lain-lain. Membaca pemberitaan, sebagian besar bercerita tentang kronologi kejadian dan pembelaan pihak kampus atas stigma yang terlanjur tertancap. 

Yang dilewatkan oleh sebagian besar orang ketika membicarakan ini adalah empati, sensitivitas, dan rasa pengertian terhadap seseorang yang mengalami gangguan mental. Ya, Billy dan berjuta-juta orang lainnya punya tali yang sama, yang bisa digunakan kapan saja. Gangguan mental memang punya tantangan sendiri untuk bisa dimengerti karena 'invisible' atau tidak terlihat. Stereotip yang paling sering diterima oleh penderitanya adalah, "Ya, itu semua cuma ada di pikiran lo doang. Cheer up!", "Ngapain sedih terus? Udahan dong.", "Oh, tapi lo nggak kelihatan sedih sama sekali? Kenapa sih?"

Kurangnya sensitivitas kita terhadap orang yang menderita yang menderita gangguan mental turut menaikan angka bunuh diri. Apakah kita sudah adil terhadap Billy dan teman-teman yang menderita gangguan mental lainnya? Apakah kita sudah perlakukan kalau apa yang mereka alami nyata dan juga butuh pengobatan seperti penyakit fisikal kronis lain? Atau justru kita turut memperburuk dengan memberi komentar, "Anak cowok masak galau? yang gentle napa!" 

Depresi adalah salah satu jenis dari gangguan mental. Menurut National Alliance on Mental Illnes (NAMI), jenis-jenis gangguan mental selain depresi adalah:
-OCD (Obsessive Compulsive Disorder)
-panik berlebih (anxiety disorder)
-schizophrenia
-gangguan makan akut (eating disorder),
-ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
-Autis
-Bipolar
-BPD (Borderline Personality Disorder)
-PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder)
-Dissociative Disorder

Penyakit mental/gangguan mental adalah kondisi yang menimpa mood, pikiran, dan perasaan seseorang, dan mempengaruhi kemampuannya untuk berhubungan dengan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Setiap penderita bisa saja mengalami diagnosa yang sama, tetapi pengalamannya bisa sama sekali berbeda.

Penyakit mental sama halnya dengan sakit jantung dan sakit paru-paru, harus ditangani serius melalui konsultasi, medis dan/atau pengobatan. Namun, itu tidak jadi hal yang saklek dilakukan juga. Ada beberapa teman yang saya kenal, mengontrol dengan cara yang alami (bisa melalui distraksi hobi, kesukaan, meditasi, dan lain-lain), melalui medis (mengonsumsi obat-obatan anti-depresan), mengkombinasikan keduanya, dan perawatan rumah sakit (hospitalized). Itu kembali pada kecocokan tubuh dan kenyamanan penderita. 

Apa yang membuat seseorang depresi? Banyak. Kejadian traumatis karena perpisahan (meninggalnya orang yang sangat dicintai, perceraian, putus cinta), tekanan dari orang-orang terdekat dan/masyarakat (dari pekerjaan atau rumah tangga), menerima perlakuan abusive, perang, dan korban bencana alam, dan lain-lain yang mengarah kepada pengalaman traumatis. Nah, itu semua sifatnya eksternal. Depresi bisa juga terjadi karena hal internal, seperti diturunkan secara genetis  (ya, mungkin orangtua atau leluhurmu dulu punya gangguan mental juga) dan kamu punya kadar hormon kimiawi dalam otak yang tidak seimbang serta struktur otak yang 'berbeda'. Ya, depresi tidak hanya bisa terjadi karena pengalaman eksternal, tapi juga internal. 

Depresi juga bukan tentang penampilan. "Dia kelihatan baik-baik saja, pendiam tapi baik-baik saja.", "Lo depresi? Tapi nggak kelihatan sama sekali, sih.", "Ohya, dia depresi kelihatan sedih terus nggak pernah happy."  Siapa yang bisa menjamin keadaan seseorang baik-baik saja hanya karena dia tertawa setiap hari? Ya, kamu tahu dia selalu murung, lalu menganggapnya orang yang bosan, anti-sosial, aneh? Apakah kamu pernah benar-benar memahaminya, berbicara dari hati ke hati? Depresi tidak terlihat, beberapa orang bahkan berusaha keras untuk menutupinya, namun yang sering terjadi orang-orang tidak mau melihatnya. Sekali lagi, hanya butuh sensitivitas dan empati untuk menyadari seseorang menderita depresi. 

Apa yang menimpa Billy bisa menimpa siapapun juga. Billy tidak mati karena bunuh diri, tetapi karena depresi. Depresi adalah penyakit yang nyata, sama kronisnya seperti infeksi paru-paru atau serangan jantung. Kita harus berhenti memberi stigma bahwa penyakit mental tidaklah nyata karena tidak terlihat. Kita harus berhenti berasumsi bahwa depresi terjadi karena kurangnya kedekatan dengan Tuhan, karena bosan, dan hanya bisa terjadi hanya karena tekanan hidup yang berat. Depresi bisa datang begitu saja, dan cara kita memahaminya adalah mendengarkan, mendukung, dan menemani. 

Seperti halnya penyakit fisikal kronis lain, depresi tidak bisa dilalui seorang diri. Jika kita mau membuang stereotip dan stigma dangkal mengenai gangguan mental, mereka akan lebih terbuka bercerita. Kita pun bisa membantu menyelamatkan jiwa lebih banyak lagi, dibandingkan sibuk menyalahkan A, B, atau C. 

"Consumed by the Blue", Amalia Nur Fitri, 2015, watercolour on paper