Sabtu, 23 September 2017

Apa Itu Seksualitas yang Normal?

Beberapa waktu lalu saya sempat terlibat perang komentar dengan salah satu seleb medsos. Nggak penting kalau membahas siapa orangnya. Namun topik yang dibahas masih berkenaan seputar LGBT. Seperti yang sudah bisa ditebak, si seleb menyebut keberadaan medsos membuat perilaku LBGT dinormalisasi dan menurutnya itu membahayakan. Pernyataan yang cukup ironis memang, dari seseorang yang terkenal, dapat uang, bisa jalan-jalan, beli skincare, dan jualan buku, justru karena adanya medsos (saya tahu karena nonton beberapa videonya, hehe). 

Beberapa minggu kemudian, saya berhadapan lagi dengan topik yang sama. Kali ini bersama seorang kenalan yang berprofesi sebagai komika atau pegiat stand up comedy. Baik si seleb medsos dan teman baru ini, sama-sama berpandangan jika LGBT adalah sesuatu yang nggak normal. Bahkan salah satu dari mereka menyebut LGBT itu menjijikan. Saya sudah bisa menangkap arahnya, dan sama sekali nggak tertarik dengan pendapat soal 'menjijikan' itu. 

Bahasan tentang 'normal' dan 'nggak normal' yang mengiring wacana LGBT lebih membuat saya penasaran. Memangnya apa sih seksualitas yang normal? 



Katrin Bandel, Indonesianis berdarah Jerman pernah menulis tentang ini rupanya. Adanya ketidaksaamaan pemahaman mengenai orientasi seksual, membuat ada yang berpikir jika LGBT adalah sesuatu yang abnormal dan dosa. Nah, sebetulnya dari mana awal terbentuk konstruksi sumbang mengenai homosekualitas ini?

Dokter Barat Modern Abad ke-19


Katrin mengawali pencariannya dari hasil penelitian pemikir Perancis, Michel Foucault dalam bukunya berjudul The Will to Knowledge yang terbit tahun 1976. Di sana Foucault bilang homoseksualitas adalah ciptaan wacana Kedokteran Barat abad ke-19. Yang dimaksudkan di sini adalah homoseksualitas sebagai sebuah konsep, yang kini sering kita gunakan tanpa pernah menyadari bahwa konsep tersebut bukan satu-satunya cara memahami dan membicarakan seksualitas manusia. 

Di awal abad ke-19, para dokter-dokter ini mulai mendefinisikan sebagian hasrat seksual manusia sebagai normal, dan sebagian yang lain perversi. Nah, perversi ini diklasifikasikan lagi dengan lebih rinci, di mana di dalamnya terdapat homoseksualitas atau hasrat kepada sesama. Definisi kedokteran ini tidak sama dengan nilai agama yang sudah ada, yaitu menyebut sebagian hubungan atau tindakan seksual sebagai sebuah dosa. Bagi definisi kedokteran, hubungan seks antara laki-laki dan perempuan yang bukan istrinya adalah hal yang normal, walaupun tak sesuai dengan norma agama. Sementara hubungan atau tindakan seks antara dua orang laki-laki atau perempuan menurut definsi kedokteran modern dipandang sebagai abnormalitas dan bahkan penyakit.

Nah konsep perversi ini yang mengubah persepsi tentang seksualitas manusia. Ia dianggap sebagai suatu cacat yang menjadi bagian dari identitas seseorang. Dalam imajinasi para dokter-dokter itu, yang juga diamini oleh masyarakat luas, homoseksual menjadi sebuah jenis manusia yang berbeda, yang tidak sama dengan manusia 'normal' atau kaum heteroseksual. Warisan wacana kedokteran Barat inilah, yang menjadi mainstream dan membentuk pemikiran kita semua. Bagi masyarakat kebanyakan, homo atau hetero adalah sebuah identitas permanen yang kerap disebut orientasi seksual. 

Nah, dari penelusuran The Will to Knowledge, Katrin beralih ke buku lain yang masih ditulis oleh Foucault berjudul The Use of Pleasure yang keluar di tahun 1984. Di buku ini, Foucault meneliti konsep orang Yunani kuno tentang seksualitas. Mengapa Yunani Kuno? Menurut Foucault, Yunani Kuno memiliki pemahaman dan aturan tersendiri mengenai seksualitas, yang sangat berbeda dengan aturan dan pemahaman yang kita miliki sekarang. Budaya dan sejarah kuno Yunani mencatat jika wajar bagi seorang laki-laki terhormat Yunani memiliki istri dan juga melakukan hubungan seks dengan laki-laki, khususnya laki-laki yang lebih muda.

Hal yang diatur dari budaya tersebut adalah, laki-laki terhormat ini nggak boleh melakukan tindakan seks atau 'didominasi' laki-laki yang statusnya lebih rendah darinya. Ini menarik, sebab Yunani Kuno tak mengenal konsep homoseksualitas sebagai sebuah orientasi seksual permanen. Dari sini, Foucault memberi pemahaman mengenai apa yang kita kenal sebagai 'kebenaran' tentang seksualitas merupakan hasil konstruksi sosial dan punya sejarahnya sendiri. Pemahaman kita soal seksualitas, termasuk apa yang kita anggap normal atau nggak normal, bukanlah sesuatu yang terberi dan ajeg, melainkan lahir dalam konteks historis dan budaya tertentu.

Homoseksualitas dan Islam


Georg Klauda, sosiolog Jerman juga pernah melakukan penelitian berjudul 'Heteronormalisasi Dunia Islam' di tahun 2008. Ia mengaitkan penemuan Foucault di Yunani Kuno itu, dengan wacana seputar homoseksualitas di dan tentang dunia Islam. Kalau tadi Foucault bilang konsep homoseksualitas sudah lahir di abad ke-19, maka tentu dunia Islam tidak mengenal konsep tersebut dalam sekian abad. 

Yang kita tahu, Islam melarang melakukan seks anal, tetapi anggapan bahwa hasrat seksual tertentu bersifat abnormal tak pernah disebutkan dan tak ditemukan oleh Klauda. Menariknya, Klauda menemukan bahwa konsep homoseksualitas dan homofobia, justru diperkenalkan oleh orang Eropa di masa kolonial. Di masa itu, pengamat-pengamat Eropa mengekspresikan rasa jijik terhadap dunia Islam (dan budaya non-Barat lainnya), yang mereka pikir kelewat permisif dengan homoerotisme dalam pergaulan antar laki-laki. Sebagai salah satu wujud pengaruh kolonial, para elit-elit lokal (kaum pribumi) di negara Timur Tengah mulai mengadopsi 'kejijikan' itu dan mengubah adab pergaulan sesama lelaki. 

Klauda memberi sebuah contoh kasus yang terjadi pada dua remaja lelaki Iran yang dihukum gantung di tahun 2005. Mereka dihukum gantung karena melakukan seks anal. Berbagai institusi internasional HAM dan lembaga LGBT merespon dan mengecam hal tersebut. Namun, ketika dua remaja itu ditanya apakah meraka gay, mereka mengaku hubungan yang dilakukan itu ternyata lazim terjadi di lingkungan mereka. Mereka sama sekali tak memposisikan diri sebagai bagian dari kelompok minoritas yang memiliki orientasi seksual berbeda dengan kebanyakan orang. Bisa dikatakan mereka tak mengenal konsep homoseksualitas. Pembelaan yang datang dari lembaga HAM dan LGBT internasional akhirnya tak mampu menangkap dengan tepat apa yang sesungguhnya terjadi dalam peristiwa itu. Hingga akhirnya, mereka menemui ajal di tiang gantungan dengan delik kekerasan seksual.

Jadi Harus Bagaimana?


Ketika kembali pada sikap si seleb medsos dan teman komika serta sikap pribadi saya, kami memang punya pandangan yang sangat berbeda. Walau begitu, kita sama-sama resah oleh hal yang sama, yaitu konsolidasi identitas, khususnya identitas LGBT. 

Pemahaman manusia mengenai seksualitas beragam. Seperti yang sudah dicontohkan tadi, masyarakat Yunani Kuno, seperti yang diangkat Foucault, serta tradisi Islam yang ditemukan Klauda, hingga ketidakpahaman kita soal orientasi seksual sebagai identitas permanen, adalah bentuk pemahaman seksualitas yang beragam. Dari banyaknya pemahaman yang ada, tampaknya di masa kini pemahaman awal dari dunia kedokteran Barat abad ke-19, menjadi wacana dominan yang dipercaya masyarakat. Kita tak lagi mampu membicarakan seksualitas dengan cara yang berbeda, membayangkannya pun tak bisa. Dominasi tersebut tentu tak dapat dilepaskan dari adanya relasi kekuasaan global yang merupakan bentuk warisan kolonialisme. Konsep-konsep Barat modern inilah yang menggeser konsep-konsep lain. 

Jadi kita harus bagaimana? Daripada mengecam suatu pihak negatif atau salah sasaran dan kembali menggeber bahwa identitas seksual adalah konstruksi sosial, Katrin Bandel berkata, akan jauh lebih bermakna bila menyadari kompleksitas realitas hidup. Permasalahan LGBT sama sekali tak mudah dipetakan dan tak cukup hanya dengan 'pro hak LGBT' atau 'kontra hak LGBT'. Adanya pluralitas konsep mengenai seksualitas yang memperumit persoalan dan juga relasi kekuasaan global yang meminggirkan atau mengaburkan pluralitas tersebut, sangat penting untuk kita sadari dan pahami.

sumber: Istimewa




Sumber:

Bandel, Katrin. 2016. Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.