Sabtu, 25 Juli 2020

Bagaimana Bahasa yang Jahat Menurut Ben Anderson?

Its been awhile for me to read and throwing book reviews because I have not found the one that really strike my attention nor motivation.

I have finished reading this book months ago, and I wanna share my view about it in here, karena kayaknya di sini udah kelamaan kosong konten.

Aku beli buku Joss Wibisono berjudul Maksud Politik Jahat: Benedict Anderson tentang Bahasa dan Kuasa di Post Santa dua bulan lalu. Saat itu lagi pingin banget baca sesuatu soal Ben Anderson, terutama dari kacamata orang lain.

Buku ini sendiri isinya adalah review mengenai tulisan dan gagasan Anderson dari teman dekatnya, Joss Wibisono. Joss sendiri adalah seorang penulis dan wartawan lepas yang tinggal di Belanda. Lebih spesifik lagi, di sini Joss melihat bagaimana Anderson berpikir mengenai bahasa, penggunaannya, politik yang melatarbelakanginya dan sejarah yang ikut nempel bersamanya.

Dari teropongnya juga, Joss memperhatikan Anderson belum pernah menulis artikel apapun yang berhubungan dengan perempuan atau Kartini. Alasan kenapa Anderson gak pernah menulis soal perempuan sepanjang karir akademisinya, sayangnya gak terjawab dalam buku ini.

Sedangkan mengenai Kartini, Joss berasumsi, Anderson mungkin saja berpikir tokoh yang berperan besar menerbitkan dan menerjemahkan tulisan Kartini adalah politikus Belanda, J.H Abendanon. Mungkin ada proses seleksi di belakang prosesnya, mana surat yang boleh diterbitkan, seperti apa pandangannya, bagaimana mengeditnya, dan bias lainnya. Masih dari pendapatnya, Joss berpikir, bisa saja surat-surat Kartini yang kita baca dan kita jadikan quotes berulang-ulang tiap tahun di hari jadinya, berbeda sekali dengan Kartini yang benar-benar ada.

Dari situ Joss masuk ke pembahasan politik terjemahan dan penyimpangan sistematis dengan mengambil kasus penerjemahan buku dari Bapak Bangsa Filipina, Jose Rizal berjudul Noli Me Tangere yang dilakukan Leon Maria Gueterro.

Penerjemahan buku Rizal didorong untuk dapat hadiah dari sayembara tahun 1960-an. Saat itu Gueterro masih menjabat sebagai duta besar Inggris untuk Filipina, dia bisa berbahasa Inggris dan Spanyol lancar.

Anderson sendiri saat itu mencatat ada tujuh penyimpangan yang doi temukan saat membaca karya Noli Me Tangere versi terjemahan Gueterro. Penyimpangan itu adalah, demodernisasi, penyingkiran peran pembaca, penghilangan bahasa Tagalog, pembuangan istilah atau adegan yang dianggap tidak senonoh, penyingkiran lokasi, penyingkiran unsur dan faktor Eropa, serta anakronisme.

Anderson bilang, apa yang dilakukan oleh Guetereo (dengan posisinya sebagai pejabat) secara tidak langsung menunjukan kebangkitan "nasionalisme resmi". Sebuah penokohan dilihat sebagai pahlawan, harus dihormati dan dilihat, belum tentu didengar apalagi dibaca pemikirannya. Lucunya, saat itu Filipina juga mengalami pergantian bahasa pengantar, dari Bahasa Spanyol menjadi Inggris-Amerika.

"Pergantian bahasa ini menyebabkan orang Filipina punya jati diri yang lain sebagai sebuah bangsa yang merdeka." Anderson, halaman 89.

Balik lagi ke masalah terjemahan surat Kartini, Joss melihat usaha terjemahan dengan maksud politis juga dilakukan oleh "Empat Saudara", Sulastin Sutrisno dan Armijn Pane. Menurut dia, judul "Habis Gelap Terbitlah Terang" cukup melenceng dari arti aslinya.

Bagian menarik lainnya adalah gimana Anderson menolak menggunakan EYD saat berbahasa Indonesia karena benci Orde Baru. Joss menulis, sampai akhir hayatnya dia berbahasa Indonesia dengan ejaan Suwandi. Aku pribadi juga pernah ditunjukin tulisan Anderson dengan ejaan jadul pas dia kirim email, bener kok #funfact.

Bab lainnya dari buku ini menceritakan bagaimana pengalaman dan perasaan Anderson saat dilarang memasuki Indonesia selama sekitar 3 dekade, keprihatinan bahasa, serta arti bahasa bagi dia.

Kalau mau memberi rating ala-ala influencer (hihi), aku berikan buku ini 3 dari 5 poin. Aku suka pemaparannya, tapi ngerasa agak risih di beberapa bagian dengan cara menulis Joss.

Setelah ngobrol dengan Pepe, aku nemuin istilah yang tepat, yaitu romantisir dan dramatis. Gak apa-apa sebenarnya, tapi ini jadi bikin bertanya lagi, bisa nggak ya kita mengkritik karya Anderson atau bahkan posisinya dia sebagai Indonesianis laki-laki cis kulit putih? Terlepas memang cara menulis Anderson sampai hari ini, adalah tulisan akademisi ter-humble dan ternyaman yang aku baca. Menurut Pepe juga, sudah jarang akademisi terkenal bisa humble tapi kerjanya detail dan bagus. 

Di sisi lain, dari buku ini aku juga menangkap rasa kagum seorang teman yang kehilangan partner berdiskusi santai tapi serius, kawan berbagi musik kesukaan, hingga berbagi asumsi mengenai tokoh-tokoh sejarah dan penokohan dalam buku sastra. Serta makin menguatkan kalau gak hanya dikagumi, Anderson juga sosok banyak disayangi orang.