Selasa, 08 Maret 2016

Harapan di Hari Perempuan Internasional 2016







Saya sejujurnya baru menyadari, bahwa tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Hari ini, dibandingkan dengan tanggal 21 April atau 22 Desember yang diperingati sebagai Hari Kartini atau Hari Ibu di Indonesia, tidak begitu familiar oleh kebanyakan orang. Tapi sebagai perempuan, saya boleh berharap mengenai  beberapa hal dari masyarakat. 

Sebagai seorang perempuan, sangat wajar bila saya berharap keadilan gender dan praktik-praktik non-misoginis bisa lengser segera selamanya di Indonesia. Sangat wajar saya berharap jika siapapun bisa benar-benar berbuat baik dan beramah tamah, karena memang senang berteman dengan manusia, bukan karena dia punya dada yang besar, pinggul yang ranum, rambut yang indah, atau mata yang menarik. 

Saya berharap, perempuan di Indonesia tidak lagi terbuai oleh mimpi-mimpi pernikahan. Menganggap pernikahan sebagai satu-satunya batu loncatan, pencapaian dalam hidup, atau sebagai sumber kebahagiaan satu-satunya. Tidak ada yang salah dengan pernikahan, tetapi menganggap itu sebagai tujuan bahkan prestasi, adalah pandangan yang menyesatkan. Saya berharap, daripada terbuai oleh pernikahan, perempuan lebih memikirkan tentang bagaimana caranya ia membebaskan diri dan masyarakat kecil dari ketidakadilan dan penindasan, menuai ilmu dan pendidikan, bereksperimen dalam penemuan, atau belajar menstabilkan emosi dan psikologinya. 

Saya berharap, tidak ada lagi tulisan pop atau post-post viral media sosial yang mendaku islami, mengatur bagaimana perempuan seharusnya berpakaian, berjalan, bertingkah, bahkan berpikir. Alih-alih islami, justru dari situ pemeliharaan praktik patriarki nan misoginis dipelihara, disebarluaskan, bahkan dipatri dalam memori perempuan sebagai yang 'ideal'. Saya berharap masyarakat tidak lagi mengatur mana yang wajib dan haram (begitu pula, standar baik dan buruk) dilakukan oleh perempuan, lalu membalutnya dengan kain-kain dan atribut keagamaan. Sehingga, ia yang tidak terpapar pengetahuan, menganggap bahwa perempuan memang lahir dengan segala kain-kain atribut itu, dan menganggap semua memang wajar adanya. Yang sebetulnya pantas mengatur dirinya, adalah dia sendiri. Dia utuh, perempuan utuh dengan segala otoritas dan kedaulatan tubuhnya. Beragama tidak memaksa seseorang untuk menutup atau membuka tubuh, namun misoginis, ya. 

Saya berharap tidak akan ada lagi balasan, "Biasa aja kali", "nyantai aja, sih", dan ,"yaelah, lebay amat." dari laki-laki atau perempuan, oleh seseorang yang menyatakan ketidaksukaannya karena telah merasa dilecehkan. Memanggil dengan sebutan, sayang, cantik, bahenol, semok, montok, dengan salam, bersiul, dan memandang, tanpa consent (persetujuan), adalah bentuk pelecehan. Bukanlah sesuatu yang berlebihan jika seseorang, menyebut itu penghinaan dan pelecehan, justru ia sadar akan keberadannya. Sebutan-sebutan bukanlah pujian, itu adalah bentuk seseorang yang tidak bisa menghargai manusia lain, menganggap yang lainnya hanya objek. Kamu tidak patut merasa spesial jika mendapat siulan di pinggir jalan. Sebaliknya, kamu harus minta mereka berhenti berlaku demikian. 

Saya berharap, perempuan Indonesia bebas dari segala romantisasi, bebas dari segala perilaku ingin dispesialkan dan dilayani karena merasa lemah tak berdaya, menyadari adanya patriarki, memahami dirinya ditindas, lalu berani melawan dan membela dirinya. Tidak hanya sibuk untuk menjadi terkenal, menjadi pemimpin trend, menjadi keren, atau menjadi faboulus, tetapi juga mempunyai kesadaran kritis. Berani mengembalikan lagi narasi tubuhnya di ruang publik, termasuk di internet. Tidak ikut menjadi agen patriarki, karena kamu pun sebenarnya adalah korban juga, yang paling parah pula. Jadilah cerdas memahami keadaan sosial dan politik masyarakat dan diri sendiri, jadi diri tidak hanya terampil memilih filter instagram atau memilih warna lipstik. 



Sekedar berharap tentu boleh saja, bukan?  Selamat Hari Perempuan Internasional.