Awal berkenalan dengan kata feminisme, saya banyak dapat masukan untuk baca karya-karya Ayu Utami. Mulai dari Saman, Larung, hingga Cerita Cinta Enrico saya habisi hanya untuk mendalami feminisme dari kacamata seorang feminis yang juga satu almamater Sastra Rusia UI (ciye gitu). Ayu Utami seringkali didaulat sebagai penulis (perempuan) pertama yang mendobrak ketabuan seksualitas Pasca Orba.
Karena sumber pengetahuan terbatas dan potongannya belum tersusun (sekarang pun) rapi, dengan naifnya feminisme saya nilai sebagai kebebasan berekspresi dalam seksualitas. Kegiatan seperti bergonta-ganti pasangan, seks bebas, hingga melukis menggunakan darah haid adalah ekspresi feminisme yang utama. Itu pula ciri-ciri perempuan yang 'maju', pikir saya waktu itu.
![]() |
Mozilla in Suit, 2016, watercolor on paper, Amalia Nur Fitri |
Sampai akhirnya, saya membaca karya sastra Rusia berjudul Rudin karya Ivan Turgenev untuk kelas Kritik Sastra. Novel ini bercerita tentang seorang pendatang bernama Rudin di sebuah desa di Rusia. Hampir semua penduduk penasaran dengan latar belakangnya karena Rudin piawai menampilkan sosok sempurna yang bertata-krama, berwawasan luas, namun sangat misterius. Banyak yang berusaha mengorek-ngorek info dalam-dalam dan mencari kelemahannya. Popularitas Rudin,sampai juga ke telinga seorang janda kaya raya, Dar'ya Mikhailovna dan anaknya Natal'ya Alekeevna. Akhir cerita, Rudin meninggal dalam peperangan Rusia melawan Polandia, ia meninggal diserang peluru dalam persembunyiannya dalam gudang.
Nah, sosok janda kaya dan anaknya inilah yang saya dan teman-teman analisis menggunakan teori feminisme. Dar'ya Mikhailovna Lasunskaya, merupakan perempuan dengan power dan dominasi yang besar. Secara politis, dia aktif dan banyak memberi andil mengenai kebijakan desa, Dar'ya juga kuat secara material dan finansial, serta mendidik Natalya Alekseevna Lasunskaya dengan baik. Kedengarannya memang seperti ibu-ibu urban modern zaman sekarang, ya. Natal'ya sendiri adalah perempuan muda (18 tahun) cerdas, gemar membaca, suka mengamati segala hal, dan agak pendiam. Ia dan Rudin punya ketertarikan romantik satu sama lain. Sayangnya, kisah cinta mereka tidak berlanjut kemana pun. Natal'ya menjauhkan dirinya, sedangkan Rudin pergi ke medan perang bersama bualan, bahasa, serta pikiran yang 'njelimet. Menilai dua tokoh perempuan tersebut, saya dan teman-teman tak ragu melabeli Dar'ya dan Natal'ya sebagai feminis mengingat kontrol penuh hidup mereka(yea).
Selesai berpresentasi, Bu Mina Elfira mengajukan pertanyaan kepada kelompok kami, menggelitik sekaligus menangkap basah kami yang belum tahu apapun mengenai feminisme, "Kalau perempuan mandiri secara finansial, cerdas, punya akses untuk berpolitik seperti Darya itu gunanya untuk apa? Lalu, buat apa dia mendidik Natalya sedemikian rupa? Apakah untuk dapatin laki-laki atau suami yang lebih kaya?" Kami berpandangan satu sama lain, menunggu dan menentukan siapa yang akan menjawab.
Untuk dapat suami yang lebih kaya? bisa ya atau tidak---namun secara konteks novel, Dar'ya maupun Natal'ya tidak pernah mengungkapkan/menunjukan hal demikian. Darya menggunakan akses finansial dan politik yang dominan untuk membantu orang-orang di desa. Ia mempunyai sebuah penginapan dan mempekerjakan single mother sehingga ia tak lagi kebingungan membeli susu anak, itu salah satunya. Darya atau Natalya tidak perlu laki-laki yang lebih tinggi status sosialnya untuk mempertahankan previlese keluarga. Natalya dididik sedemikian rupa juga tidak untuk mendapatkan suami kaya, tetapi semata untuk menjadi manusia beradab dengan wawasan yang terus berkembang. Mereka mandiri pada masa dominasi laki-laki/patriarki sangat kuat dan kentara. Sayangnya saat itu kami terlalu gugup dan bingung, sehingga jawaban yang keluar malu-maluin banget. Bu Mina Elfira, tidak menyalahkan pun membenarkan jawaban kami, hanya tersenyum penuh rahasia.
Untuk dapat suami yang lebih kaya? bisa ya atau tidak---namun secara konteks novel, Dar'ya maupun Natal'ya tidak pernah mengungkapkan/menunjukan hal demikian. Darya menggunakan akses finansial dan politik yang dominan untuk membantu orang-orang di desa. Ia mempunyai sebuah penginapan dan mempekerjakan single mother sehingga ia tak lagi kebingungan membeli susu anak, itu salah satunya. Darya atau Natalya tidak perlu laki-laki yang lebih tinggi status sosialnya untuk mempertahankan previlese keluarga. Natalya dididik sedemikian rupa juga tidak untuk mendapatkan suami kaya, tetapi semata untuk menjadi manusia beradab dengan wawasan yang terus berkembang. Mereka mandiri pada masa dominasi laki-laki/patriarki sangat kuat dan kentara. Sayangnya saat itu kami terlalu gugup dan bingung, sehingga jawaban yang keluar malu-maluin banget. Bu Mina Elfira, tidak menyalahkan pun membenarkan jawaban kami, hanya tersenyum penuh rahasia.
Padahal rujukannya Betty Freidan - The Feminine Mystique yang sudah jelas bisa disambung-sambung dengan mudahnya >.<
Hanging Out, 2016, watercolor on paper, Amalia Nur Fitri |
Kembali lagi dengan awal perkenalan dengan feminisme, saya merasa terinspirasi ketika mengenal Dar'ya dan Natal'ya, dibandingkan dengan Shakuntala dalam novel Ayu Utami. Saya tidak merasa direpresentasikan secara politis, ideologis maupun kelas dalam karya-karya Ayu Utami. Tentu saja, perempuan punya kuasa penuh atas tubuh dan juga organ reproduksinya tanpa kecuali. Saya tidak bermasalah dengan pilihan seseorang untuk berekspresi secara bebas. Saya hanya berpikir, perempuan tidak dipandang 'maju' maupun 'terbelakang' hanya dari seksualitasnya saja. Namun lebh dari itu. Maka saya berpikir feminsime yang hendak ditawarkan oleh Ayu Utami bukan jadi pilihan saya.
Kritikus sastra, Katrin Bandel, pernah secara tajam menuliskan kritk terhadap karya Ayu Utami mengenai ambivalensinya. Ayu Utami hendak menentang falosentrisme sebagai simbol patriarki, namun pada banyak adegan yang membicarakan seksualitas cenderung terdapat falosentrisme. Menurut Katrin, hal tersebut lumrah terjadi, seorang perempuan bisa saja menggabungkan feminisme dan falosentrisme dalam dirinya, misalnya dengan memperjuangkan kebebasan perempuan, tapi sekaligus justru merindukan laki-laki yang dominan. Namun, yang mengecewakan adalah ambivalensi tesebut tidak disadari, tidak dipeluk utuh, dan tidak diolah. Akhirnya, representasi seksualitas Ayu Utami hanya berujung pada sebuah pretensi.
Dari situ, saya perlahan meninggalkan Ayu Utami dan beralih ke tokoh 'inspyratyf' lainnya. Saat ini saya pun berpikir bahwa 'perjuangan' yang dibawa Ayu Utami mungkin mudah jika direlasikan oleh perempuan kelas menengah terdidik (?) urban/perkotaan (tepatnya Jakarta). Jika harus melakukan pembebasan seksualitas untuk keluar dari opresi masyarakat patriarkal, saya tidak akan mampu. Selanjutnya saya coba baca pengantar Cixous, Irigaray, Beauvoir, dan Kristeva (dan masih sulit 'nyambung' sebetulnya), hingga akhirnya nyaman memasuki wacana feminisme lewat feminisme pascakolonial. Nyaman, dalam arti mudah mengikuti alur penjelasan karena saya merasa direpresentasikan dan 'terhubung'. Dari sana, saya belajar bahwa segala yang kita konsumsi, baik tren, budaya, maupun ilmu pengetahuan, tak luput dari misi kolonial melanggengkan paradigma maskulin nan patriarkis. Hal tersebut dipermulus lewat kapitalisme, semua bisa dikomodifikasikan lewat kapitalisme, salah satunya konsumsi (simbol agama) hijab. Itu pula jadi salah satu alasan panjang saya melepas hijab. Eits, namun bukan berarti (semua) perempuan berhijab adalah perempuan teropresi (pengalaman perempuan menghadapi opresi patriarki berbeda-beda, jadi jangan digeneralisir). Kesimpulannya, dengan berangkat dari wacana feminisme pascakolonial saya sadar akan ambivalensi (bahkan hibriditas diri) diri dan masyarakat. Dengan menyadari itu, saya berharap tidak terjerumus menjadi subjek yang hanya mengkonsumsi, serta bisa senantiasa sadar (dan mampu) untuk memaknai ulang diri sebagai perempuan dari negara dunia ketiga yang kompleks. Dan dengan demikian, saya masih harus belajar banyak lagi.
Balik lagi ke perkenalan awal. Apakah Ivan Turgenev lebih feminis dibandingkan Ayu Utami? Tidak juga, ada kritik untuk beliau mengenai pembentukan subjektifitas perempuan. Namun, saat berkenalan dengan Dar'ya dan Natal'ya, saya terinspirasi untuk belajar feminisme lebih dalam lagi, walaupun nggak rajin. Itu juga disebabkan oleh kesamaan latar belakang dengan kondisi keluarga. Saya terdorong untuk jadi sosok mandiri, sukses, dan cerdas (seenggaknya tidak mudah diperdaya oleh orang lain) (aslay) seperti Dar'ya dan Natal'ya.
Dari situ, saya perlahan meninggalkan Ayu Utami dan beralih ke tokoh 'inspyratyf' lainnya. Saat ini saya pun berpikir bahwa 'perjuangan' yang dibawa Ayu Utami mungkin mudah jika direlasikan oleh perempuan kelas menengah terdidik (?) urban/perkotaan (tepatnya Jakarta). Jika harus melakukan pembebasan seksualitas untuk keluar dari opresi masyarakat patriarkal, saya tidak akan mampu. Selanjutnya saya coba baca pengantar Cixous, Irigaray, Beauvoir, dan Kristeva (dan masih sulit 'nyambung' sebetulnya), hingga akhirnya nyaman memasuki wacana feminisme lewat feminisme pascakolonial. Nyaman, dalam arti mudah mengikuti alur penjelasan karena saya merasa direpresentasikan dan 'terhubung'. Dari sana, saya belajar bahwa segala yang kita konsumsi, baik tren, budaya, maupun ilmu pengetahuan, tak luput dari misi kolonial melanggengkan paradigma maskulin nan patriarkis. Hal tersebut dipermulus lewat kapitalisme, semua bisa dikomodifikasikan lewat kapitalisme, salah satunya konsumsi (simbol agama) hijab. Itu pula jadi salah satu alasan panjang saya melepas hijab. Eits, namun bukan berarti (semua) perempuan berhijab adalah perempuan teropresi (pengalaman perempuan menghadapi opresi patriarki berbeda-beda, jadi jangan digeneralisir). Kesimpulannya, dengan berangkat dari wacana feminisme pascakolonial saya sadar akan ambivalensi (bahkan hibriditas diri) diri dan masyarakat. Dengan menyadari itu, saya berharap tidak terjerumus menjadi subjek yang hanya mengkonsumsi, serta bisa senantiasa sadar (dan mampu) untuk memaknai ulang diri sebagai perempuan dari negara dunia ketiga yang kompleks. Dan dengan demikian, saya masih harus belajar banyak lagi.
Balik lagi ke perkenalan awal. Apakah Ivan Turgenev lebih feminis dibandingkan Ayu Utami? Tidak juga, ada kritik untuk beliau mengenai pembentukan subjektifitas perempuan. Namun, saat berkenalan dengan Dar'ya dan Natal'ya, saya terinspirasi untuk belajar feminisme lebih dalam lagi, walaupun nggak rajin. Itu juga disebabkan oleh kesamaan latar belakang dengan kondisi keluarga. Saya terdorong untuk jadi sosok mandiri, sukses, dan cerdas (seenggaknya tidak mudah diperdaya oleh orang lain) (aslay) seperti Dar'ya dan Natal'ya.