Kamis, 02 Februari 2017

Feminisme: Ayu Utami atau Ivan Turgenev?

Awal berkenalan dengan kata feminisme, saya banyak dapat masukan untuk baca karya-karya Ayu Utami. Mulai dari Saman, Larung, hingga Cerita Cinta Enrico saya habisi hanya untuk mendalami feminisme dari kacamata seorang feminis yang juga satu almamater Sastra Rusia UI (ciye gitu). Ayu Utami seringkali didaulat sebagai penulis (perempuan) pertama yang mendobrak ketabuan seksualitas Pasca Orba.

Karena sumber pengetahuan terbatas dan potongannya belum tersusun (sekarang pun) rapi, dengan naifnya feminisme saya nilai sebagai kebebasan berekspresi dalam seksualitas. Kegiatan seperti bergonta-ganti pasangan, seks bebas, hingga melukis menggunakan darah haid adalah ekspresi feminisme yang utama. Itu pula ciri-ciri perempuan yang 'maju', pikir saya waktu itu. 

Mozilla in Suit, 2016, watercolor on paper, Amalia Nur Fitri


Sampai akhirnya, saya membaca karya sastra Rusia berjudul Rudin karya Ivan Turgenev untuk kelas Kritik Sastra. Novel ini bercerita tentang seorang pendatang bernama Rudin di sebuah desa di Rusia. Hampir semua penduduk penasaran dengan latar belakangnya karena Rudin piawai menampilkan sosok sempurna yang bertata-krama, berwawasan luas, namun sangat misterius. Banyak yang berusaha mengorek-ngorek info dalam-dalam dan mencari kelemahannya. Popularitas Rudin,sampai juga ke telinga seorang janda kaya raya, Dar'ya Mikhailovna dan anaknya Natal'ya Alekeevna. Akhir cerita, Rudin meninggal dalam peperangan Rusia melawan Polandia, ia meninggal diserang peluru dalam persembunyiannya dalam gudang. 

Nah, sosok janda kaya dan anaknya inilah yang saya dan teman-teman analisis menggunakan teori feminisme. Dar'ya Mikhailovna Lasunskaya, merupakan perempuan dengan power dan dominasi yang besar. Secara politis, dia aktif dan banyak memberi andil mengenai kebijakan desa, Dar'ya juga kuat secara material dan finansial, serta mendidik Natalya Alekseevna Lasunskaya dengan baik. Kedengarannya memang seperti ibu-ibu urban modern  zaman sekarang, ya. Natal'ya sendiri adalah perempuan muda (18 tahun) cerdas, gemar membaca, suka mengamati segala hal, dan agak pendiam. Ia dan Rudin punya ketertarikan romantik satu sama lain. Sayangnya, kisah cinta mereka tidak berlanjut kemana pun. Natal'ya menjauhkan dirinya, sedangkan Rudin pergi ke medan perang bersama bualan, bahasa, serta pikiran yang 'njelimet.  Menilai dua tokoh perempuan tersebut, saya dan teman-teman tak ragu melabeli Dar'ya dan Natal'ya sebagai feminis mengingat kontrol penuh hidup mereka(yea)

Selesai berpresentasi, Bu Mina Elfira mengajukan pertanyaan kepada kelompok kami, menggelitik sekaligus menangkap basah kami yang belum tahu apapun mengenai feminisme, "Kalau perempuan mandiri secara finansial, cerdas, punya akses untuk berpolitik seperti Darya itu gunanya untuk apa? Lalu, buat apa dia mendidik Natalya sedemikian rupa? Apakah untuk dapatin laki-laki atau suami yang lebih kaya?" Kami berpandangan satu sama lain, menunggu dan menentukan siapa yang akan menjawab.

Untuk dapat suami yang lebih kaya? bisa ya atau tidak---namun secara konteks novel, Dar'ya maupun Natal'ya tidak pernah mengungkapkan/menunjukan hal demikian. Darya menggunakan akses finansial dan politik yang dominan untuk membantu orang-orang di desa. Ia mempunyai sebuah penginapan dan mempekerjakan  single mother sehingga ia tak lagi kebingungan membeli susu anak, itu salah satunya. Darya atau Natalya tidak perlu laki-laki yang lebih tinggi status sosialnya untuk mempertahankan previlese keluarga. Natalya dididik sedemikian rupa juga tidak untuk mendapatkan suami kaya, tetapi semata untuk menjadi manusia beradab dengan wawasan yang terus berkembang. Mereka mandiri pada masa dominasi laki-laki/patriarki sangat kuat dan kentara. Sayangnya saat itu kami terlalu gugup dan bingung, sehingga jawaban yang keluar malu-maluin banget. Bu Mina Elfira, tidak menyalahkan pun membenarkan jawaban kami, hanya tersenyum penuh rahasia. 

Padahal rujukannya Betty Freidan - The Feminine Mystique yang sudah jelas bisa disambung-sambung dengan mudahnya >.<
Hanging Out, 2016, watercolor on paper, Amalia Nur Fitri

Kembali lagi dengan awal perkenalan dengan feminisme, saya merasa terinspirasi ketika mengenal Dar'ya dan Natal'ya, dibandingkan dengan Shakuntala dalam novel Ayu Utami. Saya tidak merasa direpresentasikan secara politis, ideologis maupun kelas dalam karya-karya Ayu Utami. Tentu saja, perempuan punya kuasa penuh atas tubuh dan juga organ reproduksinya tanpa kecuali. Saya tidak bermasalah dengan pilihan seseorang untuk berekspresi secara bebas. Saya hanya berpikir, perempuan tidak dipandang 'maju' maupun 'terbelakang' hanya dari seksualitasnya saja. Namun lebh dari itu. Maka saya berpikir feminsime yang hendak ditawarkan oleh Ayu Utami bukan jadi pilihan saya.

Kritikus sastra, Katrin Bandel, pernah secara tajam menuliskan kritk terhadap karya Ayu Utami mengenai ambivalensinya. Ayu Utami hendak menentang falosentrisme sebagai simbol patriarki, namun pada banyak adegan yang membicarakan seksualitas cenderung terdapat falosentrisme. Menurut Katrin, hal tersebut lumrah terjadi, seorang perempuan bisa saja menggabungkan feminisme dan falosentrisme dalam dirinya, misalnya dengan memperjuangkan kebebasan perempuan, tapi sekaligus justru merindukan laki-laki yang dominan. Namun, yang mengecewakan adalah ambivalensi tesebut tidak disadari, tidak dipeluk utuh, dan tidak diolah. Akhirnya, representasi seksualitas Ayu Utami hanya berujung pada sebuah pretensi.

Dari situ, saya perlahan meninggalkan Ayu Utami dan beralih ke tokoh 'inspyratyf' lainnya. Saat ini saya pun berpikir bahwa 'perjuangan' yang dibawa Ayu Utami mungkin mudah jika direlasikan oleh perempuan kelas menengah terdidik (?) urban/perkotaan (tepatnya Jakarta). Jika harus melakukan pembebasan seksualitas untuk keluar dari opresi masyarakat patriarkal, saya tidak akan mampu. Selanjutnya saya coba baca pengantar Cixous, Irigaray, Beauvoir, dan Kristeva (dan masih sulit 'nyambung' sebetulnya), hingga akhirnya nyaman memasuki wacana feminisme lewat feminisme pascakolonial. Nyaman, dalam arti mudah mengikuti alur penjelasan karena saya merasa direpresentasikan dan 'terhubung'. Dari sana, saya belajar bahwa segala yang kita konsumsi, baik tren, budaya, maupun ilmu pengetahuan, tak luput dari misi kolonial melanggengkan paradigma maskulin nan patriarkis. Hal tersebut dipermulus lewat kapitalisme, semua bisa dikomodifikasikan lewat kapitalisme, salah satunya konsumsi (simbol agama) hijab. Itu pula jadi salah satu alasan panjang saya melepas hijab. Eits, namun bukan berarti (semua) perempuan berhijab adalah perempuan teropresi (pengalaman perempuan menghadapi opresi patriarki berbeda-beda, jadi jangan digeneralisir). Kesimpulannya, dengan berangkat dari wacana feminisme pascakolonial saya sadar akan ambivalensi (bahkan hibriditas diri) diri dan masyarakat. Dengan menyadari itu, saya berharap tidak terjerumus menjadi subjek yang hanya mengkonsumsi, serta bisa senantiasa sadar (dan mampu) untuk  memaknai ulang diri sebagai perempuan dari negara dunia ketiga yang kompleks. Dan dengan demikian, saya masih harus belajar banyak lagi.


Balik lagi ke perkenalan awal. Apakah Ivan Turgenev lebih feminis dibandingkan Ayu Utami? Tidak juga, ada kritik untuk beliau mengenai pembentukan subjektifitas perempuan. Namun, saat berkenalan dengan Dar'ya dan Natal'ya, saya terinspirasi untuk belajar feminisme lebih dalam lagi, walaupun nggak rajin. Itu juga disebabkan oleh kesamaan latar belakang dengan kondisi keluarga. Saya terdorong untuk jadi sosok mandiri, sukses, dan cerdas (seenggaknya tidak mudah diperdaya oleh orang lain) (aslay) seperti Dar'ya dan Natal'ya. 







"Kerja, Kerja, Kerja" Ala Ivan Denisovich di dalam Kamp Penjara

Karena alasan teknis, saya kembali jarang menulis di blog lagi. Padahal, ada banyak pengalaman membaca dari beberapa buku yang mau saya bagikan. Walaupun nggak membahas seluk beluk Pilkada Jakarta serta tetek bengeknya yang saat ini sedang hot dibahas di media arus utama, saya yakin apa yang saya tulis  masih ada relevansinya dengan kehidupan kita sehari-hari. 

Tahun 2016 bulan September lalu, saya baru membaca lagi Sehari dalam Kehidupan Ivan Denisovitch karya Aleksander Solzhenitsin. 

Aleksandr Solzhenitsin, 2016, watercolour on paper, by: Amalia Nur Fitri
Sejujurnya, agak malu karena saya baru memahami sepenuh hati makna dan isi cerita ini baru di pembacaan kedua. Mungkin karena kondisi sekarang berbeda, sehingga cara pikir Shukov alias Ivan Denisovitch begitu mudah diikuti oleh saya saat ini dibanding waktu kuliah dulu (maca cyih?).

Sehari dalam Kehidupan Ivan Denisovitch mengisahkan keseharian dan keadaan Ivan Denisovich alias Shukov di dalam kamp Gulag tahun 1950-an. Ia ditangkap setelah dituduh berkhianat dan membantu para tentara Jerman oleh NKVD (Народный комиссариат внутренних делNarodnyi Komissariat Vnutrennikh Del) atau semacam badan intelijen dalam negeri Uni Soviet. Karena lebih takut mati (atau tidak mengerti), Shukov mengikuti ancaman NKVD dengan menandatangani surat sebagai pengakuan penghianatannya.  Karena hal tersebut, ia harus menjalani hukuman 10 tahun di kamp Gulag. Pada novel ini dikisahkan, delapan tahun sudah ia menghabiskan hidupnya di dalam kamp. 

Di kamp penjara, Shukov bertemu tahanan lain. Mulai dari kapten angkatan laut Soviet, Baptis, anak petani kaya raya, hingga anak muda 16 tahun yang dijebloskan ke penjara hanya karena mencuri susu (untuk para pemberontak). Mereka semua menjalani hukuman di atas berpuluh tahun atas (tuduhan) kejahatan yang dilakukan. Jadi, apa saja yang dilalui para tahanan di dalam penjara pada masa Stalin? 

Sepanjang waktu, mereka semua bekerja, bekerja, dan bekerja di bawah suhu 0 derajat celcius, bahkan minus. Membangun tembok ini-itu, mengurus kolhoz, merapikan benteng, dengan cepat tanpa banyak omong. Yang senantiasa terbayang di benak adalah bagaimana tubuh tidak beku, pekerjaan selesai, makan, lalu istrahat, dan pastinya harus tetap hidup. Ditambah lagi, para opsir/sipir penjara yang tak henti memantau dan mengamati. Terkadang, tanpa alasan khusus opsir penjara melakukan kekerasan fisik serta mengancam. Kalau berani melawan, siap-siaplah diisolasi selama 10 hari. Walaupun terbebas dari pekerjaan 'rodi', selama masa isolasi, jatah makanan yang sudah sedikit semakin dikurangi. Ditambah lagi, tidak diperkenankan bertemu dengan siapapun di dalam sel isolasi, sehingga ketika sakit dan kelaparan tidak ada seorang pun yang tahu bahkan berani untuk peduli. Maka banyak tahanan isolasi berakhir mati. Siapapun yang melihat tahanan diseret ke ruang isolasi, otomatis berbisik mengucapkan perpisahan di dalam hati. 

Bagaimana jika terus patuh pada opsir dan terus bekerja dengan baik? Syukur jika dapat bertahan lebih lama atau mungkin bisa pula mati lelah. Pilihan yang ada memang hanya itu, hidup atau mati. Di novel ini, disiplin dan etos kerja dijunjung tinggi supaya bisa bertahan hidup di dalam kamp. Mungkin, sampai pada tahap dipaksa untuk disiplin dan bekerja keras agar tetap hidup.

Shukov sendiri merupakan warga biasa Uni Soviet, bukan berasal dari kalangan cendikia, kaya raya, atau tentara. Pun, bukan seorang yang religius.Dalam dialog dengan Aloyshka, seorang Baptis, Shukov berkata bahwa ia percaya keberadaan Tuhan namun menolak menyembah dan percaya konsep surga/neraka.

 "Jiwamu ingin berdoa kepada Tuhan. Nah, mengapa kau tidak menurutiNya?" 

"Aku akan katakan apa sebabnya, Alyoshka. Karena semua doa ini sama saja dengan pengaduan-pengaduan yang kita sampaikan kepada orang-orang atasan---tidak sampai atau kembali dengan catatan 'Ditolak'!" (hal164) dan,

"..yang harus kau ketahui adalah kau boleh berdoa semaumu, tetapi mereka tidak akan mengurangi hukumanmu sedikitpun dan kau harus menjalaninya tiap hari, dan tanda bangun dibunyikan sampai lampu-lampu mati." (hal. 167)

Shukov menguji rasionalitas beragama yang dijalankan Alyoshka. Namun, perbincangan tersebut juga menyibak hal yang ternyata belum berani diakuinya bahkan berusaha ditepisnya.

Dia sendiri tidak tahu lagi apakah masih ingin bebas atau tidak. Mula-mula dia ingin sekali hidup sekali tiap hari menghitung berapa lama lagi dia menjalani hukumannya. Lalu menjadi bosan. Dan lama kelamaan dia tahu, bahwa mungkin dia tidak diizinkan pulang ke rumah. Dan dia tidak tahu sebenarnya mana tempat yang paling baik baginya. Di rumah atau di sini. 

Apa yang dikatakan Alyoska benar. Dan suara atau matanya tidak dapat didengar atau dilihat,bahwa dia senang tinggal di penjara (hal. 170). Shukov pada akhirnya menghormati Alyoshka, ia mengapresiai caranya untuk membantu tahanan lain, padahal Alyoshka sebetulnya juga butuh bantuan.

Shukov sebagai tokoh protagonis mungkin bisa atau tidak mewakili sang pengarang, yakni Aleksandr Solzhenitsin. Solzhenitsin sendiri ditangkap karena dituduh menghina Stalin sehingga ia dijebloskan ke kamp penjara di daerah Karaganda, Kazakhstan Utara. Setelah delapan tahun berada di sana dan juga karena kematian Stalin, ia dibebaskan. Lalu menetap di daerah Rayzan dan menghabiskan waktu menjadi guru ilmu alam dan matematika di kesehariannya. Di masa pemerintahan Stalin, standar-standar realisme sosialis dalam sebuah karya sudah ditetapkan seperti sebuah template. Yakni sosok pahlawan yang rela berkorban untuk negara. Menurut saya, tak heran jika Solzhenitsin akhirnya diciduk karena dianggap menghina Stalin. Dalam novel ini, misalnya, sosok Shukov sebagai seorang petani yang tak bisa baca tulis, mengkritik Stalin. Sangat jauh dari apa yang digadang-gadangkan oleh pembesar Partai Komunis tentang sosok 'hero' yang ideal.

Novel ini menghadirkan emosi yang agak lambat. Namun, setelahnya akan sangat asyik membacanya. Penggambaran tentang persaudaraan sesama tahanan, perjuangan hidup dengan makan roti yang membeku, kantung baju yang bolong, usaha menyembunyikan stok makanan, hingga keberadaan tokoh-tokoh lain saling memberi nafas tersendiri.

Mungkin pada waktu tertentu, manusia perlu ditampar oleh absurditas kejahatan dan penderitaan, hingga tahap berlebihan (dan tidak perlu), hanya untuk menjadi diri yang paling produktif. Apakah proses itu dapat membuat kita bisa mengapresiasi kebaikan setelah bertahan dalam penderitaan? Dapat mensyukuri keindahan setelah menyaksikan kedegilan? atau dapat menikmati kebahagiaan setelah melewati keputusasaan? Itu semua adalah perkara yang berbeda lagi.

Ini adalah barisan kalimat favorit saya dalam novel, yang juga jadi penutup cerita: 

"Shukov tidur dan dia betul-betul merasa senang. Hari ini dia sangat beruntung. Dia tidak dimasukan ke dalam sel, regunya tidak digiring ke luar untuk bekerja di Pembangunan Masyarakat Sosialis.

Dia berhasil mendapat semangkok bubur tambahan siang hari. Kepala regu mendapat penilaian yang baik untuk pekerjaannya. Dia merasa senang membangun tembok itu. Merekatidak menemukan potongan besi baja itu waktu pemeriksaan. Caesar telah memberi upah malam itu. Dai telah membeli tembakau. Dan dia sudah sembuh. Tidak ada yang merusak hari itu, hampir merupakan hari bahagia. 

Ada tiga ribu enam ratus lima puluh tiga hari seperti ini dalam hukumannya,mulai tanda bangun dibunyikan sampai lampu-lampu mati...." (hal. 170)

Novel ditutup dengan perasaan sia-sia nan sepi lewat penantian hari esok dan rasa syukur Shukov atas hari tersebut di dalam kamp penjara.

Nah, bagaimana dengan ambisi produktif dan jargon "kerja, kerja. kerja" Anda sekalian? 

Gambar diunduh dari www.bukalapak.com