Kamis, 02 Februari 2017

"Kerja, Kerja, Kerja" Ala Ivan Denisovich di dalam Kamp Penjara

Karena alasan teknis, saya kembali jarang menulis di blog lagi. Padahal, ada banyak pengalaman membaca dari beberapa buku yang mau saya bagikan. Walaupun nggak membahas seluk beluk Pilkada Jakarta serta tetek bengeknya yang saat ini sedang hot dibahas di media arus utama, saya yakin apa yang saya tulis  masih ada relevansinya dengan kehidupan kita sehari-hari. 

Tahun 2016 bulan September lalu, saya baru membaca lagi Sehari dalam Kehidupan Ivan Denisovitch karya Aleksander Solzhenitsin. 

Aleksandr Solzhenitsin, 2016, watercolour on paper, by: Amalia Nur Fitri
Sejujurnya, agak malu karena saya baru memahami sepenuh hati makna dan isi cerita ini baru di pembacaan kedua. Mungkin karena kondisi sekarang berbeda, sehingga cara pikir Shukov alias Ivan Denisovitch begitu mudah diikuti oleh saya saat ini dibanding waktu kuliah dulu (maca cyih?).

Sehari dalam Kehidupan Ivan Denisovitch mengisahkan keseharian dan keadaan Ivan Denisovich alias Shukov di dalam kamp Gulag tahun 1950-an. Ia ditangkap setelah dituduh berkhianat dan membantu para tentara Jerman oleh NKVD (Народный комиссариат внутренних делNarodnyi Komissariat Vnutrennikh Del) atau semacam badan intelijen dalam negeri Uni Soviet. Karena lebih takut mati (atau tidak mengerti), Shukov mengikuti ancaman NKVD dengan menandatangani surat sebagai pengakuan penghianatannya.  Karena hal tersebut, ia harus menjalani hukuman 10 tahun di kamp Gulag. Pada novel ini dikisahkan, delapan tahun sudah ia menghabiskan hidupnya di dalam kamp. 

Di kamp penjara, Shukov bertemu tahanan lain. Mulai dari kapten angkatan laut Soviet, Baptis, anak petani kaya raya, hingga anak muda 16 tahun yang dijebloskan ke penjara hanya karena mencuri susu (untuk para pemberontak). Mereka semua menjalani hukuman di atas berpuluh tahun atas (tuduhan) kejahatan yang dilakukan. Jadi, apa saja yang dilalui para tahanan di dalam penjara pada masa Stalin? 

Sepanjang waktu, mereka semua bekerja, bekerja, dan bekerja di bawah suhu 0 derajat celcius, bahkan minus. Membangun tembok ini-itu, mengurus kolhoz, merapikan benteng, dengan cepat tanpa banyak omong. Yang senantiasa terbayang di benak adalah bagaimana tubuh tidak beku, pekerjaan selesai, makan, lalu istrahat, dan pastinya harus tetap hidup. Ditambah lagi, para opsir/sipir penjara yang tak henti memantau dan mengamati. Terkadang, tanpa alasan khusus opsir penjara melakukan kekerasan fisik serta mengancam. Kalau berani melawan, siap-siaplah diisolasi selama 10 hari. Walaupun terbebas dari pekerjaan 'rodi', selama masa isolasi, jatah makanan yang sudah sedikit semakin dikurangi. Ditambah lagi, tidak diperkenankan bertemu dengan siapapun di dalam sel isolasi, sehingga ketika sakit dan kelaparan tidak ada seorang pun yang tahu bahkan berani untuk peduli. Maka banyak tahanan isolasi berakhir mati. Siapapun yang melihat tahanan diseret ke ruang isolasi, otomatis berbisik mengucapkan perpisahan di dalam hati. 

Bagaimana jika terus patuh pada opsir dan terus bekerja dengan baik? Syukur jika dapat bertahan lebih lama atau mungkin bisa pula mati lelah. Pilihan yang ada memang hanya itu, hidup atau mati. Di novel ini, disiplin dan etos kerja dijunjung tinggi supaya bisa bertahan hidup di dalam kamp. Mungkin, sampai pada tahap dipaksa untuk disiplin dan bekerja keras agar tetap hidup.

Shukov sendiri merupakan warga biasa Uni Soviet, bukan berasal dari kalangan cendikia, kaya raya, atau tentara. Pun, bukan seorang yang religius.Dalam dialog dengan Aloyshka, seorang Baptis, Shukov berkata bahwa ia percaya keberadaan Tuhan namun menolak menyembah dan percaya konsep surga/neraka.

 "Jiwamu ingin berdoa kepada Tuhan. Nah, mengapa kau tidak menurutiNya?" 

"Aku akan katakan apa sebabnya, Alyoshka. Karena semua doa ini sama saja dengan pengaduan-pengaduan yang kita sampaikan kepada orang-orang atasan---tidak sampai atau kembali dengan catatan 'Ditolak'!" (hal164) dan,

"..yang harus kau ketahui adalah kau boleh berdoa semaumu, tetapi mereka tidak akan mengurangi hukumanmu sedikitpun dan kau harus menjalaninya tiap hari, dan tanda bangun dibunyikan sampai lampu-lampu mati." (hal. 167)

Shukov menguji rasionalitas beragama yang dijalankan Alyoshka. Namun, perbincangan tersebut juga menyibak hal yang ternyata belum berani diakuinya bahkan berusaha ditepisnya.

Dia sendiri tidak tahu lagi apakah masih ingin bebas atau tidak. Mula-mula dia ingin sekali hidup sekali tiap hari menghitung berapa lama lagi dia menjalani hukumannya. Lalu menjadi bosan. Dan lama kelamaan dia tahu, bahwa mungkin dia tidak diizinkan pulang ke rumah. Dan dia tidak tahu sebenarnya mana tempat yang paling baik baginya. Di rumah atau di sini. 

Apa yang dikatakan Alyoska benar. Dan suara atau matanya tidak dapat didengar atau dilihat,bahwa dia senang tinggal di penjara (hal. 170). Shukov pada akhirnya menghormati Alyoshka, ia mengapresiai caranya untuk membantu tahanan lain, padahal Alyoshka sebetulnya juga butuh bantuan.

Shukov sebagai tokoh protagonis mungkin bisa atau tidak mewakili sang pengarang, yakni Aleksandr Solzhenitsin. Solzhenitsin sendiri ditangkap karena dituduh menghina Stalin sehingga ia dijebloskan ke kamp penjara di daerah Karaganda, Kazakhstan Utara. Setelah delapan tahun berada di sana dan juga karena kematian Stalin, ia dibebaskan. Lalu menetap di daerah Rayzan dan menghabiskan waktu menjadi guru ilmu alam dan matematika di kesehariannya. Di masa pemerintahan Stalin, standar-standar realisme sosialis dalam sebuah karya sudah ditetapkan seperti sebuah template. Yakni sosok pahlawan yang rela berkorban untuk negara. Menurut saya, tak heran jika Solzhenitsin akhirnya diciduk karena dianggap menghina Stalin. Dalam novel ini, misalnya, sosok Shukov sebagai seorang petani yang tak bisa baca tulis, mengkritik Stalin. Sangat jauh dari apa yang digadang-gadangkan oleh pembesar Partai Komunis tentang sosok 'hero' yang ideal.

Novel ini menghadirkan emosi yang agak lambat. Namun, setelahnya akan sangat asyik membacanya. Penggambaran tentang persaudaraan sesama tahanan, perjuangan hidup dengan makan roti yang membeku, kantung baju yang bolong, usaha menyembunyikan stok makanan, hingga keberadaan tokoh-tokoh lain saling memberi nafas tersendiri.

Mungkin pada waktu tertentu, manusia perlu ditampar oleh absurditas kejahatan dan penderitaan, hingga tahap berlebihan (dan tidak perlu), hanya untuk menjadi diri yang paling produktif. Apakah proses itu dapat membuat kita bisa mengapresiasi kebaikan setelah bertahan dalam penderitaan? Dapat mensyukuri keindahan setelah menyaksikan kedegilan? atau dapat menikmati kebahagiaan setelah melewati keputusasaan? Itu semua adalah perkara yang berbeda lagi.

Ini adalah barisan kalimat favorit saya dalam novel, yang juga jadi penutup cerita: 

"Shukov tidur dan dia betul-betul merasa senang. Hari ini dia sangat beruntung. Dia tidak dimasukan ke dalam sel, regunya tidak digiring ke luar untuk bekerja di Pembangunan Masyarakat Sosialis.

Dia berhasil mendapat semangkok bubur tambahan siang hari. Kepala regu mendapat penilaian yang baik untuk pekerjaannya. Dia merasa senang membangun tembok itu. Merekatidak menemukan potongan besi baja itu waktu pemeriksaan. Caesar telah memberi upah malam itu. Dai telah membeli tembakau. Dan dia sudah sembuh. Tidak ada yang merusak hari itu, hampir merupakan hari bahagia. 

Ada tiga ribu enam ratus lima puluh tiga hari seperti ini dalam hukumannya,mulai tanda bangun dibunyikan sampai lampu-lampu mati...." (hal. 170)

Novel ditutup dengan perasaan sia-sia nan sepi lewat penantian hari esok dan rasa syukur Shukov atas hari tersebut di dalam kamp penjara.

Nah, bagaimana dengan ambisi produktif dan jargon "kerja, kerja. kerja" Anda sekalian? 

Gambar diunduh dari www.bukalapak.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar