Minggu, 06 Agustus 2017

Amartya Sen, Ketiadaan Perempuan dan Ahok

Ketika kasus Ahok memenuhi layar kaca, media massa, dan media sosial, membaca karya Amartya Sen berjudul 'Kekerasan dan Identitas' keluaran Marjin Kiri, terasa sangat ideal. Perdebatan mengenai identitas seseorang, baik agama, suku, pekerjaan, dan lain lain, bisa memantik banyak hal, mulai dari rasa persaudaraan hingga permusuhan. Dalam level tertentu, perbedaan tersebut bisa memantik kekerasan seperti, pencabutan hak politik, hak bersosialisasi, perebutan hak akses ekonomi, bahkan pembunuhan dan genosida.



Kasus yang terjadi pada Ahok, pada permukannya, terbagi antara kelompok Islam ekstrim fundamentalis yang 'anti' terhadap Ahok, dengan kelompok 'pro' Ahok yang setia membela mantan Gubernur DKI Jakarta beragama Kristen keturunan Tionghoa tersebut. Gesek perbedaan identitas agama dan ras menjadi highlight kasus Ahok. Pemaknaan tunggal akan sebuah identitas, dianggap mampu membutakan manusia hanya dengan melihat dari agama atau ras saja. Padahal, tak semua Muslim mendukung kelompok fundamentalis tersebut dan tak sesama Tionghoa Kristen membela Ahok.

Sang penulis yang juga peraih Nobel di bidang ekonomi, Amartya Sen, seperti 'berani' melompat membahas permasalahan di luar 'rumahnya', yakni ranah sosial dan politik, ketika menulis buku ini. Sen sendiri pernah menyaksikan pembunuhan keji akibat identitas saat usianya baru menginjak 11 tahun. Saat itu, tahun 1944, terjadi bentrokan hebat antara kaum Muslim dan Hindu di India.

Bentrokan itu menyebabkan kaum Muslim India menjadi target pembunuhan karena dianggap biang kerok jatuhnya perekonomian India (familiar?). Salah satu korbannya, Kader Mia, seorang buruh yang kelaparan, terpaksa bekerja demi menuntaskan lapar dan memberi makan keluarganya. Kenekatannya keluar rumah saat kelompok Hindu bertebaran, membuatnya menjadi korban penusukan. Ia tergelepar di depan pintu rumah keluarga Sen mengharap pertolongan. Namun nahas, Kader Mia meninggal dalam perjalanannya menuju rumah sakit. Peristiwa tersebut membuat Sen trauma dan kebingungan, "Mengapa seseorang bisa berbuat sekeji itu hanya karena perbedaan identitas?"

Penolakan Terhadap Identitas Tunggal


Dalam buku ini, Sen secara tegas mengkritik pemikiran tunggal terhadap identitas. Tak hanya itu, ia juga sangat passionate membahas tentang globalisasi, terorisme, Irak, dan keadaan masyarakat multikultural. Manusia, menurutnya, tak bisa hanya diafiliasikan hanya dengan satu identitas saja. Seorang Muslim, bisa berafiliasi dengan partai politiknya, hobinya, ras, pekerjaannya, dan lain-lain. Seorang pejabat Muslim bisa melakukan korupsi atau pemerkosaan, tanpa ia harus melepaskan identitas Muslimnya. Begitu pula dengan seorang Hutu. selain bagian dari suku yang membunuh suku Tutsi, ia bisa jadi adalah buruh, seorang ibu, seseorang dari Kigali, warga Rwanda, sekaligus warga dunia. 

Sen juga mengkritik The Clash of Civilization dari Samuel Huntington, karena terpaku pada pengelompokan yang sederhana berkisar identitas. Menurutnya, teori bentrokan kebudayaan yang menjadi kerangka pemikiran Huntington menunjuk perbedaan agama sebagai hal yang membedakan kebudayaan. Ini merupakan bentuk kesembronoan Huntington, sebab hal tersebut memperkuat ketunggalan identitas, yang gagal melihat jikalau kerjasama antar kebudayaan yang selama ini terbangun juga berkontribusi membangun manusia. 

Hal menarik lain yang saya temukan dalam buku ini adalah pembahasan mengenai fundamentalisme agama. Dari pembahasan tersebut, saya baru terpapar informasi jika konflik tak berkesudahan di Timur Tengah merupakan andil negara G-20 (kecuali Jepang) dalam perdagangan senjata. Layaknya bisnis pada umumnya, bisnis konflik ini mau tak mau harus terus dijalankan agar pihak-pihak 'elit' selalu untung. Namun, hal ini secara sederhana hanya dilihat atas perbedaan antara Sunni - Syiah. 


Sen menawarkan solusi untuk menjernihkan pandangan dengan kembali memahamai afiliasi yang berbeda. Ia berkilah bahwa pengetahuan atau intelektualitas penting dimiliki agar dapat memahami identitas secara lebih komprehensif. Menurutnya dengan memahami perbedaan dan persamaan identitas dan afiliasi yang kompleks dan tak tunggal, akan menghindarkan dari bibit kekerasan. Dengan pemahaman atau intelektualitas dalam melihat perbedaan, kita akan lebih baik dalam melihat persoalan antara Barat dengan Islam. 

Intelektualisme adalah Koentji? Hmmm....


Menurut saya, buku ini memang sangat personal bagi Sen. Namun begitu, saya bertanya-tanya sendiri ketika selesai menyelesaikan buku ini. Sen tidak menjawab mengapa kita sangat senang mengelompokkan diri berdasarkan identitas tertentu? Apa ada hubungannya dengan proses kognitif dan psikologi? 

Lalu, apakah benar dengan mengikuti solusi Sen dengan bertumpu pada kemampuan intelektualitas, akan menjamin kita terhindar dari konflik dan kekerasan? Dan lagi, jika sumber utama konflik identitas yang terjadi merupakan akibat dari pemahaman tunggal terhadap identitas, bagaimana dengan keberhasilan gerakan perempuan seperti suffragette yang berangkat dari pemahaman identitas tunggal perempuan? Gerakan dimotori oleh identitas tunggal perempuan tersebut berhasil membawa pembaharuan dan kemajuan progresif dalam mengakomodir 'pertanyaan-pertanyaan' perempuan.

Amartya Sen
Senada dengan Michael A. Peters, saya berpikir Sen 'menafikan' kontribusi perempuan dalam melakukan perubahan dengan berangkat dari identitas. Feminis dan filsuf yang bicara tentang identitas dan ketubuhan perempuan, seperti Luce Irigaray, Simone de Beauvoir, Kathy Acker, mampu menghadirkan wacana subjek yang terpinggirkan dalam ruang sosial dan politik. Dari sana, perubahan kebijakan politik dan berbagai gerakan perempuan lahir dan terus berkembang.

Walaupun Sen sejatinya adalah seorang ekonom, tentu bukan alasan ia tak memakai paradigma studi budaya (cultural study) dalam menjabarkan identitas tunggal. Keringnya paradigma studi budaya dalam teori Sen, menghasilkan pertanyaan akan pengaplikasian teorinya dalam bidang pendidikan dan juga politik. Bagaimana dan dengan cara apa teorinya tersebut bekerja dalam bentuk undang-undang dan kurikulum pendidikan?

Di sisi lain, Sen menyebutkan Sartre katika membahas perbedaan 'Barat' dan Islam ketika ia sendiri seharusnya bisa menyebut Frantz Fanon dan Edward Said dalam kontribusinya memaparkan orientalisme Barat dan Timur.

Jika kembali pada kasus Ahok, solusi rasionalitas dan intelektualitas Sen terhadap gesekan perbedaan pemaknaan identitas, menurut saya tak jauh berbeda dengan pendapat kelompok yang menyalahkan masyarakat miskin kota atas kalahnya Ahok di Pilkada DKI Jakarta. Juga, menyalahkan orang-orang miskin sebagai pendukung gerakan Islam ekstrim fundamentalis. Sen hanya makin mengentalkan suara sembrono, yang mengatakan masyarakat miskin kota seolah tak memiliki rasionalitas dan prioritas dalam mempertahankan basis materialnya. Dalam tahapan tertentu, Sen masih terjebak pemikiran 'elit' yang belum tepat memahami kompleksitas kelas dan sosio ekonomi masyarakat. Tentu kita tahu, gerakan intoleran itu tak hanya diisi oleh orang-orang miskin, tetapi juga kelas menengah Muslim, serta kelompok aristokrat. Orang miskin yang menjadi korban penggusuran Ahok, tak punya pilihan tapi harus menjalin kontrak politik dengan gubernur baru supaya akses ekonomi dan sosialnya kembali lagi. Di sana, sudahlah janji belum pasti ditepati, suara mereka diambil begitu saja dalam gelaran politik elektoral. 

Di sisi lain, suara yang dikeluarkan oleh kelompok Islam fundamentalis tersebut, patut diwasadai. Gerakan intoleransi yang dibakar oleh semangat supremasi mayoritas, baik agama atau ras, berpotensi besar melahirkan opresi terhadap kelompok minoritas. Kemungkinan besar, suara intoleran tersebut makin menutup atau bahkan mencabut hak politik, sosial, maupun ekonomi kelompok minoritas di ruang publik. Pada taraf yang ekstrim, legitimasi untuk membunuh dan melenyapkan seseorang atas dasar ras, agama, atau ideologi politik semakin kencang, bahkan dianggap wajar dan perlu. Di sinilah kita kembali berhadapan dengan kemampuan pengaplikasian teori Sen, untuk menyembuhkan pemahaman akan identitas tunggal, yang juga kerap digunakan sebagai alasan kejatuhan ekonomi, pengangguran atau ketidakstabilan politik suatu negara. 

Akhir kata, jika benar kekerasan bisa dihindari mulai dari rasionalitas atau kemauan berpikir kita, di saat yang sama kita juga harus bisa menyadari bagaimana relasi identitas kita (ras, kelas, gender, kebangsaan, umur, agama, dll) bekerja. Apakah pandangan kita terhadap identitas tersebut merupakan konstruksi sosial atau apakah ia wujud esensialisme? Hal tersebut, menurut saya wajib untuk kembali diingat kembali setelah kita melewati masa modern yang dibentuk oleh Imanuel Kant dan Rene Descartes yang dualis dan agak 'ketinggalan jaman'. 

Sabtu, 05 Agustus 2017

Tentang Horor dan Sihir Perempuan

Kisah horor selalu punya magnet tersendiri. Bagi si pemberani maupun si penakut sekalipun, kisah horor selalu digandrungi karena punya sensasi katarsis berupa deg-degan, takut, dan histeris, lalu berganti rasa bahagia, plong, dan tenang. Atau malah parno sesudahnya?

Beberapa waktu lalu, saya menemukan kumpulan cerpen horor karya Intan Paramadhita. Buku ini direkomendasikan oleh teman baik saya, karena menurutnya Intan merupakan salah satu dari sedikit penulis horor Indonesia yang memakai perspektif feminis di dalamnya. Bagaimana cerita horor bisa disusupi perspektif feminis? Mengapa?

Gramedia Pustaka Utama
Jika merunut ke belakang, karya-karya bertema horor di Indonesia, baik berupa film, komik, novel, atau cerpen, hampir selalu memunculkan tokoh perempuan dalam dua tipe saja, yakni sosok tak berdaya dan hanya bisa berteriak, lalu mati, atau sosok hantu yang mengerikan seperti monster dan grotesque. Tipe demikian sangat populer, terutama pada film, di masa Orde Baru, yakni pada 1968 - 1998.

Hingga pada masa setelahnya, yakni pada 2000-an, penggambaran tersebut masih terus direproduksi, contohnya dalam film Jelangkung (2001). Dalam catatan Khrisna Sen, tokoh hantu perempuan dalam film horor Indonesia juga berkelindan dengan bagaimana seksualitas perempuan, yang masih dipandang problematis oleh budaya dan kultur kita. Sen melanjutkan, jika penokohan hantu dalam film horor, melambangkan feminitas yang dibungkam (silence). Maka dari itu, dalam film horor, hantu yang liyan ini adalah sosok pencetus ketakutan, penuh misteri, patut dikasihani, dan bahkan bahan mengundang tawa.

Suzzana dalam Sundel Bolong (1981)

Masih dalam film horor Indonesia, sosok hantu seperti kuntilanak, si manis jembatan Ancol, sundel bolong, wewe gombel, sampai Nyai Roro Kidul menjadi sebuah ikon tersendiri untuk Indonesia. Mereka semua punya latar belakang yang 'menyedihkan', seperti contohnya si Manis Jembatan Ancol, yang dikisahkan mati karena menjadi korban pembunuhan sekaligus pemerkosaan. Ia baru punya kekuatan untuk melawan dan balas dendam setelah menjadi hantu. Kekuatannya untuk melawan si pemerkosan dan pembunuhnya, baru diperoleh setelah ia mati, menjadi hantu, dan liyan. 


Di sisi lain, penggambaran atau representasi hantu-hantu tersebut berguna untuk merevisi sejarah dan membawa suara yang dibungkam. Dalam film Pocong (2006), Rudi Soedjarwo hendak mengingatkan kembali brutalitas dan kekerasan yang menimpa perempuan keturunan Tionghoa dalam Tragedi 1998. Karakter pocong yang dimunculkannya adalah mereka yang menjadi korban kekerasan tersebut. Walaupun begitu, suara korban dan monster, yang dimunculkan oleh Soedjarwo masih terkungkung oleh penggambaran misoginis terhadap perempuan dan nilai-nilai konservatif yang patriarkal. Ia masih menggunakan tubuh perempuan sebagai sumber siksaan dan kekerasan. Tak hanya permasalahan seksualitasnya saja, tubuh perempuan dalam film horor Indonesia menjadi arena di mana diskursus politis dan sejarah kembali dihidupkan kembali, namun dengan hierarki gender di dalamnya.


Feminitas, Horor, dan Karya Sastra


Sementara dalam Sihir Perempuan, Intan mengambarkan seksualitas perempuan dalam perspektif perempuan itu sendiri. Ia tak hanya membicarakan tokoh-tokohnya dan pengalaman yang dialami, namun juga memberikan sudut pandang perempuan di dalamnya. Hantu-hantu menyeramkan, perempuan yang dianggap gila atau sundal, diberikan suaranya sendiri sehingga tak lagi menjadi sebuah momok, namun sosok yang mengundang keberpihakan.

Perspektif feminis dari Intan Paramaditha, mengentalkan pengalaman spesifik yang dialami manusia. Secara tak langsung ia turut mengemukakan persoalan kelompok marjinal, seperi janda, orang-orang miskin desa/kota, dll, membongkar relasi kuasa dalam struktur pengetahuan masyarakat, dan mendekonstruksi falogosentrisme (pola pikiran dan bahasa dalam perspektif laki-laki).

Salah satu cerita yang saya sukai adalah "Pemintal Kegelapan". Cerpen tersebut bercerita tentang rasa ingin tahu anak perempuan terhadap sebuah dinding ruangan di loteng rumahnya. Ibunya bercerita, di atas sana tinggal hantu pemintal yang patah hati karena ditinggal lelaki yang dicintainya. Seiring berjalannya waktu, sang ibu menua dan jatuh sakit. Ia akhirnya bercerita pada anaknya jika hantu itu adalah dirinya sendiri. Pemintal Kegelapan menyiratkan rasa ngeri, pedih dan pemahaman terhadap penderitaan perempuan yang mengalami keterasingan karena tak lagi punya tempat terhormat di masyarakat.

foto dari Hauna Risadia
Selanjutnya kisah berjudul "Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari" dan "Mak Ipah dan Bunga-Bunga" juga jadi favorit saya. Dalam cerita-cerita itu, terasa usaha Intan melakukan de-demonisasi atau melepaskan label buruk pada perempuan yang dalam masyarakat patriarki dianggap gila, stress, dan dianggap jahat. Sudut pandang dan perspektif feminis oleh Intan, tak menampilkan tokoh-tokoh tersebut sebagai orang cacat yang membawa aib, namun mereka mengartikulasikan sendiri bagaimana pengalamannya dan malah betapa rasional hal-hal itu dilakukan. Namun, dalam pola pandang dan pikir patriarki, tokoh-tokoh ini adalah mereka yang dianggap gila oleh masyarakat.

Secara garis besar, kisah-kisah dalam cerpen Intan kelam. Namun betapa dekatnya kekelaman itu dengan realita. Sosok hantu dalam cerpennya seakan menjadi simbol atas kedudukan dan kehidupan perempuan dalam ruang budaya patriarki. Seperti hantu, perempuan seakan berada di dunia lain yang berbeda dengan manusia, kehilangan suaranya, dan menempati kedudukan sebagai liyan (the others). Perspektif feminis Intan, memberikan perempuan dan hantu-hantu tersebut suara, tanpa harus memperburuk tubuh perempuan sebagai sumber kekerasan, bahkan peletakan hierarki gender. Tak berlebihan jika harus menyebutkan, Sihir Perempuan sebagai kumpulan cerpen horor yang segar saat ini.