Ketika kasus Ahok memenuhi layar kaca, media massa, dan media sosial, membaca karya Amartya Sen berjudul 'Kekerasan dan Identitas' keluaran Marjin Kiri, terasa sangat ideal. Perdebatan mengenai identitas seseorang, baik agama, suku, pekerjaan, dan lain lain, bisa memantik banyak hal, mulai dari rasa persaudaraan hingga permusuhan. Dalam level tertentu, perbedaan tersebut bisa memantik kekerasan seperti, pencabutan hak politik, hak bersosialisasi, perebutan hak akses ekonomi, bahkan pembunuhan dan genosida.
Kasus yang terjadi pada Ahok, pada permukannya, terbagi antara kelompok Islam ekstrim fundamentalis yang 'anti' terhadap Ahok, dengan kelompok 'pro' Ahok yang setia membela mantan Gubernur DKI Jakarta beragama Kristen keturunan Tionghoa tersebut. Gesek perbedaan identitas agama dan ras menjadi highlight kasus Ahok. Pemaknaan tunggal akan sebuah identitas, dianggap mampu membutakan manusia hanya dengan melihat dari agama atau ras saja. Padahal, tak semua Muslim mendukung kelompok fundamentalis tersebut dan tak sesama Tionghoa Kristen membela Ahok.
Sang penulis yang juga peraih Nobel di bidang ekonomi, Amartya Sen, seperti 'berani' melompat membahas permasalahan di luar 'rumahnya', yakni ranah sosial dan politik, ketika menulis buku ini. Sen sendiri pernah menyaksikan pembunuhan keji akibat identitas saat usianya baru menginjak 11 tahun. Saat itu, tahun 1944, terjadi bentrokan hebat antara kaum Muslim dan Hindu di India.
Bentrokan itu menyebabkan kaum Muslim India menjadi target pembunuhan karena dianggap biang kerok jatuhnya perekonomian India (familiar?). Salah satu korbannya, Kader Mia, seorang buruh yang kelaparan, terpaksa bekerja demi menuntaskan lapar dan memberi makan keluarganya. Kenekatannya keluar rumah saat kelompok Hindu bertebaran, membuatnya menjadi korban penusukan. Ia tergelepar di depan pintu rumah keluarga Sen mengharap pertolongan. Namun nahas, Kader Mia meninggal dalam perjalanannya menuju rumah sakit. Peristiwa tersebut membuat Sen trauma dan kebingungan, "Mengapa seseorang bisa berbuat sekeji itu hanya karena perbedaan identitas?"
Bentrokan itu menyebabkan kaum Muslim India menjadi target pembunuhan karena dianggap biang kerok jatuhnya perekonomian India (familiar?). Salah satu korbannya, Kader Mia, seorang buruh yang kelaparan, terpaksa bekerja demi menuntaskan lapar dan memberi makan keluarganya. Kenekatannya keluar rumah saat kelompok Hindu bertebaran, membuatnya menjadi korban penusukan. Ia tergelepar di depan pintu rumah keluarga Sen mengharap pertolongan. Namun nahas, Kader Mia meninggal dalam perjalanannya menuju rumah sakit. Peristiwa tersebut membuat Sen trauma dan kebingungan, "Mengapa seseorang bisa berbuat sekeji itu hanya karena perbedaan identitas?"
Penolakan Terhadap Identitas Tunggal
Dalam buku ini, Sen secara tegas mengkritik pemikiran tunggal terhadap identitas. Tak hanya itu, ia juga sangat passionate membahas tentang globalisasi, terorisme, Irak, dan keadaan masyarakat multikultural. Manusia, menurutnya, tak bisa hanya diafiliasikan hanya dengan satu identitas saja. Seorang Muslim, bisa berafiliasi dengan partai politiknya, hobinya, ras, pekerjaannya, dan lain-lain. Seorang pejabat Muslim bisa melakukan korupsi atau pemerkosaan, tanpa ia harus melepaskan identitas Muslimnya. Begitu pula dengan seorang Hutu. selain bagian dari suku yang membunuh suku Tutsi, ia bisa jadi adalah buruh, seorang ibu, seseorang dari Kigali, warga Rwanda, sekaligus warga dunia.
Sen juga mengkritik The Clash of Civilization dari Samuel Huntington, karena terpaku pada pengelompokan yang sederhana berkisar identitas. Menurutnya, teori bentrokan kebudayaan yang menjadi kerangka pemikiran Huntington menunjuk perbedaan agama sebagai hal yang membedakan kebudayaan. Ini merupakan bentuk kesembronoan Huntington, sebab hal tersebut memperkuat ketunggalan identitas, yang gagal melihat jikalau kerjasama antar kebudayaan yang selama ini terbangun juga berkontribusi membangun manusia.
Hal menarik lain yang saya temukan dalam buku ini adalah pembahasan mengenai fundamentalisme agama. Dari pembahasan tersebut, saya baru terpapar informasi jika konflik tak berkesudahan di Timur Tengah merupakan andil negara G-20 (kecuali Jepang) dalam perdagangan senjata. Layaknya bisnis pada umumnya, bisnis konflik ini mau tak mau harus terus dijalankan agar pihak-pihak 'elit' selalu untung. Namun, hal ini secara sederhana hanya dilihat atas perbedaan antara Sunni - Syiah.
Sen menawarkan solusi untuk menjernihkan pandangan dengan kembali memahamai afiliasi yang berbeda. Ia berkilah bahwa pengetahuan atau intelektualitas penting dimiliki agar dapat memahami identitas secara lebih komprehensif. Menurutnya dengan memahami perbedaan dan persamaan identitas dan afiliasi yang kompleks dan tak tunggal, akan menghindarkan dari bibit kekerasan. Dengan pemahaman atau intelektualitas dalam melihat perbedaan, kita akan lebih baik dalam melihat persoalan antara Barat dengan Islam.
Intelektualisme adalah Koentji? Hmmm....
Menurut saya, buku ini memang sangat personal bagi Sen. Namun begitu, saya bertanya-tanya sendiri ketika selesai menyelesaikan buku ini. Sen tidak menjawab mengapa kita sangat senang mengelompokkan diri berdasarkan identitas tertentu? Apa ada hubungannya dengan proses kognitif dan psikologi?
Lalu, apakah benar dengan mengikuti solusi Sen dengan bertumpu pada kemampuan intelektualitas, akan menjamin kita terhindar dari konflik dan kekerasan? Dan lagi, jika sumber utama konflik identitas yang terjadi merupakan akibat dari pemahaman tunggal terhadap identitas, bagaimana dengan keberhasilan gerakan perempuan seperti suffragette yang berangkat dari pemahaman identitas tunggal perempuan? Gerakan dimotori oleh identitas tunggal perempuan tersebut berhasil membawa pembaharuan dan kemajuan progresif dalam mengakomodir 'pertanyaan-pertanyaan' perempuan.
Amartya Sen |
Senada dengan Michael A. Peters, saya berpikir Sen 'menafikan' kontribusi perempuan dalam melakukan perubahan dengan berangkat dari identitas. Feminis dan filsuf yang bicara tentang identitas dan ketubuhan perempuan, seperti Luce Irigaray, Simone de Beauvoir, Kathy Acker, mampu menghadirkan wacana subjek yang terpinggirkan dalam ruang sosial dan politik. Dari sana, perubahan kebijakan politik dan berbagai gerakan perempuan lahir dan terus berkembang.
Walaupun Sen sejatinya adalah seorang ekonom, tentu bukan alasan ia tak memakai paradigma studi budaya (cultural study) dalam menjabarkan identitas tunggal. Keringnya paradigma studi budaya dalam teori Sen, menghasilkan pertanyaan akan pengaplikasian teorinya dalam bidang pendidikan dan juga politik. Bagaimana dan dengan cara apa teorinya tersebut bekerja dalam bentuk undang-undang dan kurikulum pendidikan?
Di sisi lain, Sen menyebutkan Sartre katika membahas perbedaan 'Barat' dan Islam ketika ia sendiri seharusnya bisa menyebut Frantz Fanon dan Edward Said dalam kontribusinya memaparkan orientalisme Barat dan Timur.
Jika kembali pada kasus Ahok, solusi rasionalitas dan intelektualitas Sen terhadap gesekan perbedaan pemaknaan identitas, menurut saya tak jauh berbeda dengan pendapat kelompok yang menyalahkan masyarakat miskin kota atas kalahnya Ahok di Pilkada DKI Jakarta. Juga, menyalahkan orang-orang miskin sebagai pendukung gerakan Islam ekstrim fundamentalis. Sen hanya makin mengentalkan suara sembrono, yang mengatakan masyarakat miskin kota seolah tak memiliki rasionalitas dan prioritas dalam mempertahankan basis materialnya. Dalam tahapan tertentu, Sen masih terjebak pemikiran 'elit' yang belum tepat memahami kompleksitas kelas dan sosio ekonomi masyarakat. Tentu kita tahu, gerakan intoleran itu tak hanya diisi oleh orang-orang miskin, tetapi juga kelas menengah Muslim, serta kelompok aristokrat. Orang miskin yang menjadi korban penggusuran Ahok, tak punya pilihan tapi harus menjalin kontrak politik dengan gubernur baru supaya akses ekonomi dan sosialnya kembali lagi. Di sana, sudahlah janji belum pasti ditepati, suara mereka diambil begitu saja dalam gelaran politik elektoral.
Di sisi lain, suara yang dikeluarkan oleh kelompok Islam fundamentalis tersebut, patut diwasadai. Gerakan intoleransi yang dibakar oleh semangat supremasi mayoritas, baik agama atau ras, berpotensi besar melahirkan opresi terhadap kelompok minoritas. Kemungkinan besar, suara intoleran tersebut makin menutup atau bahkan mencabut hak politik, sosial, maupun ekonomi kelompok minoritas di ruang publik. Pada taraf yang ekstrim, legitimasi untuk membunuh dan melenyapkan seseorang atas dasar ras, agama, atau ideologi politik semakin kencang, bahkan dianggap wajar dan perlu. Di sinilah kita kembali berhadapan dengan kemampuan pengaplikasian teori Sen, untuk menyembuhkan pemahaman akan identitas tunggal, yang juga kerap digunakan sebagai alasan kejatuhan ekonomi, pengangguran atau ketidakstabilan politik suatu negara.
Walaupun Sen sejatinya adalah seorang ekonom, tentu bukan alasan ia tak memakai paradigma studi budaya (cultural study) dalam menjabarkan identitas tunggal. Keringnya paradigma studi budaya dalam teori Sen, menghasilkan pertanyaan akan pengaplikasian teorinya dalam bidang pendidikan dan juga politik. Bagaimana dan dengan cara apa teorinya tersebut bekerja dalam bentuk undang-undang dan kurikulum pendidikan?
Di sisi lain, Sen menyebutkan Sartre katika membahas perbedaan 'Barat' dan Islam ketika ia sendiri seharusnya bisa menyebut Frantz Fanon dan Edward Said dalam kontribusinya memaparkan orientalisme Barat dan Timur.
Jika kembali pada kasus Ahok, solusi rasionalitas dan intelektualitas Sen terhadap gesekan perbedaan pemaknaan identitas, menurut saya tak jauh berbeda dengan pendapat kelompok yang menyalahkan masyarakat miskin kota atas kalahnya Ahok di Pilkada DKI Jakarta. Juga, menyalahkan orang-orang miskin sebagai pendukung gerakan Islam ekstrim fundamentalis. Sen hanya makin mengentalkan suara sembrono, yang mengatakan masyarakat miskin kota seolah tak memiliki rasionalitas dan prioritas dalam mempertahankan basis materialnya. Dalam tahapan tertentu, Sen masih terjebak pemikiran 'elit' yang belum tepat memahami kompleksitas kelas dan sosio ekonomi masyarakat. Tentu kita tahu, gerakan intoleran itu tak hanya diisi oleh orang-orang miskin, tetapi juga kelas menengah Muslim, serta kelompok aristokrat. Orang miskin yang menjadi korban penggusuran Ahok, tak punya pilihan tapi harus menjalin kontrak politik dengan gubernur baru supaya akses ekonomi dan sosialnya kembali lagi. Di sana, sudahlah janji belum pasti ditepati, suara mereka diambil begitu saja dalam gelaran politik elektoral.
Di sisi lain, suara yang dikeluarkan oleh kelompok Islam fundamentalis tersebut, patut diwasadai. Gerakan intoleransi yang dibakar oleh semangat supremasi mayoritas, baik agama atau ras, berpotensi besar melahirkan opresi terhadap kelompok minoritas. Kemungkinan besar, suara intoleran tersebut makin menutup atau bahkan mencabut hak politik, sosial, maupun ekonomi kelompok minoritas di ruang publik. Pada taraf yang ekstrim, legitimasi untuk membunuh dan melenyapkan seseorang atas dasar ras, agama, atau ideologi politik semakin kencang, bahkan dianggap wajar dan perlu. Di sinilah kita kembali berhadapan dengan kemampuan pengaplikasian teori Sen, untuk menyembuhkan pemahaman akan identitas tunggal, yang juga kerap digunakan sebagai alasan kejatuhan ekonomi, pengangguran atau ketidakstabilan politik suatu negara.
Akhir kata, jika benar kekerasan bisa dihindari mulai dari rasionalitas atau kemauan berpikir kita, di saat yang sama kita juga harus bisa menyadari bagaimana relasi identitas kita (ras, kelas, gender, kebangsaan, umur, agama, dll) bekerja. Apakah pandangan kita terhadap identitas tersebut merupakan konstruksi sosial atau apakah ia wujud esensialisme? Hal tersebut, menurut saya wajib untuk kembali diingat kembali setelah kita melewati masa modern yang dibentuk oleh Imanuel Kant dan Rene Descartes yang dualis dan agak 'ketinggalan jaman'.