Sabtu, 05 Agustus 2017

Tentang Horor dan Sihir Perempuan

Kisah horor selalu punya magnet tersendiri. Bagi si pemberani maupun si penakut sekalipun, kisah horor selalu digandrungi karena punya sensasi katarsis berupa deg-degan, takut, dan histeris, lalu berganti rasa bahagia, plong, dan tenang. Atau malah parno sesudahnya?

Beberapa waktu lalu, saya menemukan kumpulan cerpen horor karya Intan Paramadhita. Buku ini direkomendasikan oleh teman baik saya, karena menurutnya Intan merupakan salah satu dari sedikit penulis horor Indonesia yang memakai perspektif feminis di dalamnya. Bagaimana cerita horor bisa disusupi perspektif feminis? Mengapa?

Gramedia Pustaka Utama
Jika merunut ke belakang, karya-karya bertema horor di Indonesia, baik berupa film, komik, novel, atau cerpen, hampir selalu memunculkan tokoh perempuan dalam dua tipe saja, yakni sosok tak berdaya dan hanya bisa berteriak, lalu mati, atau sosok hantu yang mengerikan seperti monster dan grotesque. Tipe demikian sangat populer, terutama pada film, di masa Orde Baru, yakni pada 1968 - 1998.

Hingga pada masa setelahnya, yakni pada 2000-an, penggambaran tersebut masih terus direproduksi, contohnya dalam film Jelangkung (2001). Dalam catatan Khrisna Sen, tokoh hantu perempuan dalam film horor Indonesia juga berkelindan dengan bagaimana seksualitas perempuan, yang masih dipandang problematis oleh budaya dan kultur kita. Sen melanjutkan, jika penokohan hantu dalam film horor, melambangkan feminitas yang dibungkam (silence). Maka dari itu, dalam film horor, hantu yang liyan ini adalah sosok pencetus ketakutan, penuh misteri, patut dikasihani, dan bahkan bahan mengundang tawa.

Suzzana dalam Sundel Bolong (1981)

Masih dalam film horor Indonesia, sosok hantu seperti kuntilanak, si manis jembatan Ancol, sundel bolong, wewe gombel, sampai Nyai Roro Kidul menjadi sebuah ikon tersendiri untuk Indonesia. Mereka semua punya latar belakang yang 'menyedihkan', seperti contohnya si Manis Jembatan Ancol, yang dikisahkan mati karena menjadi korban pembunuhan sekaligus pemerkosaan. Ia baru punya kekuatan untuk melawan dan balas dendam setelah menjadi hantu. Kekuatannya untuk melawan si pemerkosan dan pembunuhnya, baru diperoleh setelah ia mati, menjadi hantu, dan liyan. 


Di sisi lain, penggambaran atau representasi hantu-hantu tersebut berguna untuk merevisi sejarah dan membawa suara yang dibungkam. Dalam film Pocong (2006), Rudi Soedjarwo hendak mengingatkan kembali brutalitas dan kekerasan yang menimpa perempuan keturunan Tionghoa dalam Tragedi 1998. Karakter pocong yang dimunculkannya adalah mereka yang menjadi korban kekerasan tersebut. Walaupun begitu, suara korban dan monster, yang dimunculkan oleh Soedjarwo masih terkungkung oleh penggambaran misoginis terhadap perempuan dan nilai-nilai konservatif yang patriarkal. Ia masih menggunakan tubuh perempuan sebagai sumber siksaan dan kekerasan. Tak hanya permasalahan seksualitasnya saja, tubuh perempuan dalam film horor Indonesia menjadi arena di mana diskursus politis dan sejarah kembali dihidupkan kembali, namun dengan hierarki gender di dalamnya.


Feminitas, Horor, dan Karya Sastra


Sementara dalam Sihir Perempuan, Intan mengambarkan seksualitas perempuan dalam perspektif perempuan itu sendiri. Ia tak hanya membicarakan tokoh-tokohnya dan pengalaman yang dialami, namun juga memberikan sudut pandang perempuan di dalamnya. Hantu-hantu menyeramkan, perempuan yang dianggap gila atau sundal, diberikan suaranya sendiri sehingga tak lagi menjadi sebuah momok, namun sosok yang mengundang keberpihakan.

Perspektif feminis dari Intan Paramaditha, mengentalkan pengalaman spesifik yang dialami manusia. Secara tak langsung ia turut mengemukakan persoalan kelompok marjinal, seperi janda, orang-orang miskin desa/kota, dll, membongkar relasi kuasa dalam struktur pengetahuan masyarakat, dan mendekonstruksi falogosentrisme (pola pikiran dan bahasa dalam perspektif laki-laki).

Salah satu cerita yang saya sukai adalah "Pemintal Kegelapan". Cerpen tersebut bercerita tentang rasa ingin tahu anak perempuan terhadap sebuah dinding ruangan di loteng rumahnya. Ibunya bercerita, di atas sana tinggal hantu pemintal yang patah hati karena ditinggal lelaki yang dicintainya. Seiring berjalannya waktu, sang ibu menua dan jatuh sakit. Ia akhirnya bercerita pada anaknya jika hantu itu adalah dirinya sendiri. Pemintal Kegelapan menyiratkan rasa ngeri, pedih dan pemahaman terhadap penderitaan perempuan yang mengalami keterasingan karena tak lagi punya tempat terhormat di masyarakat.

foto dari Hauna Risadia
Selanjutnya kisah berjudul "Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari" dan "Mak Ipah dan Bunga-Bunga" juga jadi favorit saya. Dalam cerita-cerita itu, terasa usaha Intan melakukan de-demonisasi atau melepaskan label buruk pada perempuan yang dalam masyarakat patriarki dianggap gila, stress, dan dianggap jahat. Sudut pandang dan perspektif feminis oleh Intan, tak menampilkan tokoh-tokoh tersebut sebagai orang cacat yang membawa aib, namun mereka mengartikulasikan sendiri bagaimana pengalamannya dan malah betapa rasional hal-hal itu dilakukan. Namun, dalam pola pandang dan pikir patriarki, tokoh-tokoh ini adalah mereka yang dianggap gila oleh masyarakat.

Secara garis besar, kisah-kisah dalam cerpen Intan kelam. Namun betapa dekatnya kekelaman itu dengan realita. Sosok hantu dalam cerpennya seakan menjadi simbol atas kedudukan dan kehidupan perempuan dalam ruang budaya patriarki. Seperti hantu, perempuan seakan berada di dunia lain yang berbeda dengan manusia, kehilangan suaranya, dan menempati kedudukan sebagai liyan (the others). Perspektif feminis Intan, memberikan perempuan dan hantu-hantu tersebut suara, tanpa harus memperburuk tubuh perempuan sebagai sumber kekerasan, bahkan peletakan hierarki gender. Tak berlebihan jika harus menyebutkan, Sihir Perempuan sebagai kumpulan cerpen horor yang segar saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar