Sebagai permulaan, tulisan ini sudah ada di draft blog sejak 2018 dan tidak kunjung diselesaikan karena pergulatan dengan laptop tua dan pecutan kerjaan. Walau pembahasan ini masih sangat nanggung, aku tetap keluarkan sekarang sebelum tulisan ini berkoreng koreng 😝.
Post ini adalah lanjutan dari catatan (panjang) soal asal usul hierarki kecantikan di Indonesia dari buku Putih: Warna Kulit Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional karya L. Ayu Saraswati. Karena pemaparannya seru, saya pikir akan lebih baik ditulis sebagai catatan pribadi. Sebelumnya saya menuliskannya di sini.
Pembahasan terakhir itu, adalah pembentukan norma kecantikan di zaman Orba yang memakai kiasan spasial. Apa itu kiasan spasial? Kiasan spasial adalah penanda tempat yang ditempelkan untuk memberi perasaan atau kesan tertentu. Nah, dalam pembentukan citra kecantikan, kiasan spasial ditempelkan guna memberi perasaan kalau kecantikan yang hakiki dan superior itu asalnya dari tempat lain.
Di post, terdahulu saya ketemu satu contohnya, yaitu iklan sabun Lux yang dibintangi Widyawati. Di latarnya, ada menara Eiffel dan dalam pesan iklannya (yang panjang banget sampai dua paragraf) tertulis, kira-kira, Widyawati akhirnya menemukan cara ampuh untuk terlihat cantik dan saran dari Paris dengan menggunakan Lux. Singkatnya, Paris ini digambarkan dalam iklan sebagai tempat modern di mana teknologi memutihkan kulit berasal. Secara tersirat tergambar pula kepercayaan Widyawati dengan orang Perancis sebab kecantikan mereka lah yang dianggap paling sempurna.
Dalam pembahasan buku Putih, ini masuk ke dalam pembahasan Bab Putih Kosmpolitan. Secara teoritis, "kosmpolitan" berakar dari kata kosmos yang berarti dunia dan polites berarti warga negara. Aura 'warga negara dunia' dibawa dalam istilah kosmopolitan.
Kalau kata antropolog Steven Vertovec dan sosiolog Robin Cohen, kosmopolitanisme mengacu pada "sesuatu secara bersamaan":
Cosmopolitan adalah majalah perempuan transnasional yang paling populer di Indonesia. Saya sendiri pernah coba-coba mengintip saat masih duduk di bangku SD, lalu diceramahi panjang lebar soal moral dan puber karena ketahuan oleh Tante dan Om. Jadi, majalah ini awalnya terbit di Amerika di tahun 1886 sebagai majalah sastra/fiksi.
Perubahan besar terjadi gila-gilaan di tahun 1965, saat Helen Gurley Brown jadi redaktur barunya. Ohya, dia ini juga pengarang terkenal Sex and the Single Girl. Dia mengambil langkah untuk memutar kemudi fokus majalah ke arah seksualitas perempuan, dengan slogan "fun, fearless, female".
Cosmopolitan hadir di Indonesia September 1997. Ini bisa jadi adalah bentuk terobosan karena mempromosikan perempuan yang percaya diri secara seksual. Walau sempat ditunjuk oleh sebuah organisasi Islam karena dianggap membuat perempuan mencintai seks, strategi marketing Cosmo dengan menjunjung kemandirian perempuan dalam hal seksualitas menjadikannya salah satu majalah tersukses dan populer di Indonesia.
Nah, di sini menarik pula membahas kalau pengadaptasian majalah Amerika ini ikut mengedarkan wacana kecantikan. Peredaran putih dari Amerika ke Indonesia melalui Cosmopolitan, turut mempertahankan nilai pentingnya 'putih' di aras global.
Di sisi lain, seprogresif apapun Cosmo melawan peran gender tradisional perempuan Indonesia ala state Ibuisme Orba, dengan menegaskan kemandirian dan seksualitas perempuan, ia tetap saja menguatkan peran-peran subordinat perempuan.
Kalau kata antropolog Steven Vertovec dan sosiolog Robin Cohen, kosmopolitanisme mengacu pada "sesuatu secara bersamaan":
- melampaui model negara-bangsa yang tampaknya sudah usang
- mampu memediasi tindakan dan ideal yang berorientasi baik pada yang universal maupun partikular, yang global maupun yang lokal
- secara kulturan, anti esensialis
- mampu merepresentasikan aneka repetoar kompleks dari ikatan, identitas, dan kepentingan.
Mungkin kalau mau dipersingkat lagi, kosmopolitanisme (sepertinya) juga menawarkan sebuah pengelolaan keragaman budaya dan politik. Kosmopolitanisme juga dianggap memunculkan sebuah imaji akan seseorang yang berpunya alias mereka yang bisa mengklaim diri sebagai 'warga dunia', berkat kemandiriannya, seleranya yang high class dan mihil, dan gaya hidupnya yang bisa menjelajahi bumi.
Majalah Cosmopolitan dan Kecantikan 'Baru'
Menariknya, citra-citra di atas itulah, yang kemudian dibingkai oleh majalah Cosmopolitan dari segi konsumsinya! Tahu majalah itu tidak?
![]() |
sumber: ebooks gramedia |
Perubahan besar terjadi gila-gilaan di tahun 1965, saat Helen Gurley Brown jadi redaktur barunya. Ohya, dia ini juga pengarang terkenal Sex and the Single Girl. Dia mengambil langkah untuk memutar kemudi fokus majalah ke arah seksualitas perempuan, dengan slogan "fun, fearless, female".
Cosmopolitan hadir di Indonesia September 1997. Ini bisa jadi adalah bentuk terobosan karena mempromosikan perempuan yang percaya diri secara seksual. Walau sempat ditunjuk oleh sebuah organisasi Islam karena dianggap membuat perempuan mencintai seks, strategi marketing Cosmo dengan menjunjung kemandirian perempuan dalam hal seksualitas menjadikannya salah satu majalah tersukses dan populer di Indonesia.
Nah, di sini menarik pula membahas kalau pengadaptasian majalah Amerika ini ikut mengedarkan wacana kecantikan. Peredaran putih dari Amerika ke Indonesia melalui Cosmopolitan, turut mempertahankan nilai pentingnya 'putih' di aras global.
Di sisi lain, seprogresif apapun Cosmo melawan peran gender tradisional perempuan Indonesia ala state Ibuisme Orba, dengan menegaskan kemandirian dan seksualitas perempuan, ia tetap saja menguatkan peran-peran subordinat perempuan.
Buku ini, sudah banyak banget dibahas mendalam dan aku harus tutup sampai di sini. Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar