Kalau pernah nonton serial Hongkong berjudul Kera Sakti atau Journey to the West, pasti familiar dengan tokoh siluman babi bernama Chu Pat Kai (diperankan Wayne Lai). Ada sebuah quotes ikonik yang selalu diucapkannya berbunyi;
"Dari dulu begitulah cinta, deritanya tiada akhir. Kalau deritanya hilang, ingatan yang menyakitkan dan mengerikan tidak akan hilang"
Walau membuat dahi mengernyit, satu hal yang bisa disepakati dari petuah Pat Kai adalah cinta itu menyakitkan. Pernyataan itu berkembang lagi menjadi sebuah pertanyaan, "mengapa cinta menyakitkan?". Eva Illouz, profesor dan sosiolog dari Hebrew Unversity di Yerusalem, juga memiliki pertanyaan yang sama.
Dalam buku berjudul Why Love Hurts: A Sociological Explanation setebal 293 halaman, Illouz berusaha mencari dan menjabarkan pemikiran seputar ketimpangan cinta. Yang menarik, penelitian awal Illouz bermula dari kultur Freudian yang mendominasi dunia psikologi dan psikiatri. Dalam teori Freud, ketertarikan seksual manusia sangat tepat ditelaah dari pengalaman masa lalu. Ketertarikan seksual kita, menurut Frued, dibentuk saat masa awal kehidupan, terutama hubungan antara kita dengan orang tua.
Mungkin sebagian orang juga sempat familiar dengan ungkapan, pasangan yang kita pilih secara subskonsius mirip dengan orang tua kita. Freudian sendiri bilang, kisah cinta kita itu, merefleksikan bagaimana hubungan kita dengan orang tua. Kegagalan atau rasa sakit yang dialami karena hubungan romantik, tak bisa dipisahkan dari pengalaman psikis individu pada masa kecil. Oke, sampai sini saya mual.
Nah,Illouz berpendapat pengalaman menyakitkan dalam hubungan romantik tersebut (khususnya hubungan heteroseksual), gak bisa dilihat sebagai tanggung jawab individual. Yang salah, bukanlah kehidupan masa kecil yang disfungsional atau kegagalan memahami keadaan psikologis diri, tetapi seringnya disebabkan oleh tekanan dan kontradiksi tatanan sosial budaya yang membentuk identitas dan diri yang modern.
Illouz juga berkata bahwa kita masih hidup di era dimana tanggung jawab individual memegang kunci adiluhung. Hal ini, dikaitkan dengan satu ungkapan di abad 19 yang berbunyi, "kalau kamu miskin, itu tandanya kamu malas atau karena kurang ibadah". Padahal, kemiskinan dibentuk dari eksploitasi ekonomi sistematis. Dan kegagalan hidup tidak selalu disebabkan oleh lemahnya keadaan psikis kita, tetapi karena lika-liku kehidupan emosional kita terbentuk oleh pengaturan kelembagaan (institutional arrangements) yang patrialkal.
Dengan kacamata demikian, Illouz memandang Cinta, seperti halnya Marx memandang bentuk komoditas lain. Menurutnya, Cinta dibentuk dan diproduksi dari relasi sosial konkrit; Cinta punya sirkulasi sebuah pasar, yang berisi aktor-aktor tak setara, karena ketidaksetaraan tersebut, muncul pihak yang memiliki kapasitas lebih besar untuk mendefinisikan dirinya lebih dicintai daripada orang lain.
Illouz juga menyebut dirinya memandang cinta sebagai bentuk previlese untuk memahami proses modernitas. Hmm, di sinilah saya tertarik dengan idenya.
Illouz banyak mengambil contoh dari karya-karya sastra klasik modern Barat, beberapa di antaranya Wuthering Heights, Poor Folks, Indignation, dan lain-lain, untuk menggambarkan peristiwa nahas karena cinta. Menurutnya, penggambaran dari karya sastra modern tersebut, menggambarkan bagaimana Eropa Barat menyanjung bentuk-bentuk romantisisme, kejantanan, dan sopan santun laki-laki sebagai standar ideal pasangan. Sebaliknya, kelemahan perempuan diglorifikasi dan diakui, sebagai karakter yang menarik dan didambakan.
Inferioritas perempuan secara sosial, lantas ditukar dengan kesetiaan laki-laki, dimana laki-laki bisa menunjukan maskulinitas, kecakapan, dan kehormatannya. Kelemahan perempuan secara sosial dan kekuatan sosial laki-laki, diagungkan dan diromatisir dalam sastra modern, menjadi sifat-sifat manis, seperti protektif, lembut, dan gentle.
Dalam konteks masanya, perempuan selain memiliki inferioritas secara sosial, juga memiliki keterbatasan dalam hak-hak politik dan ekonomi. Dengan keberadaan laki-laki, mereka bisa mendapat kompensasi berupa perasaan dicintai sekaligus diagungkan dalam status moral sebagai ibu, sebagai perawat orang lain, sebagai istri, dan lain-lain. Ketimpangan sosial dikaburkan dengan cara tersebut, dan secara historis cinta sangat seduktif karena menutup atau mempercantik ketimpangan mendalam pada relasi gender.
Masa modern pasca Perang Dunia I perlahan mengubah "pasar cinta". Illouz melihat dalam empat dekade terakhir, hubungan romantik heteroseksual mengalami radikalisasi kebebasan dan kesetaraan, selaras dengan keterpisahan antara seksualitas dan emosi.
Mungkin sebagian orang juga sempat familiar dengan ungkapan, pasangan yang kita pilih secara subskonsius mirip dengan orang tua kita. Freudian sendiri bilang, kisah cinta kita itu, merefleksikan bagaimana hubungan kita dengan orang tua. Kegagalan atau rasa sakit yang dialami karena hubungan romantik, tak bisa dipisahkan dari pengalaman psikis individu pada masa kecil. Oke, sampai sini saya mual.
Nah,Illouz berpendapat pengalaman menyakitkan dalam hubungan romantik tersebut (khususnya hubungan heteroseksual), gak bisa dilihat sebagai tanggung jawab individual. Yang salah, bukanlah kehidupan masa kecil yang disfungsional atau kegagalan memahami keadaan psikologis diri, tetapi seringnya disebabkan oleh tekanan dan kontradiksi tatanan sosial budaya yang membentuk identitas dan diri yang modern.
"What is wrong are not dysfunctional childhood or insufficiently self-aware psyches, but the set of social and cultural tensions and contradictions that have come to structure modern selves and indentities" (Hal. 4)
Illouz juga berkata bahwa kita masih hidup di era dimana tanggung jawab individual memegang kunci adiluhung. Hal ini, dikaitkan dengan satu ungkapan di abad 19 yang berbunyi, "kalau kamu miskin, itu tandanya kamu malas atau karena kurang ibadah". Padahal, kemiskinan dibentuk dari eksploitasi ekonomi sistematis. Dan kegagalan hidup tidak selalu disebabkan oleh lemahnya keadaan psikis kita, tetapi karena lika-liku kehidupan emosional kita terbentuk oleh pengaturan kelembagaan (institutional arrangements) yang patrialkal.
Dengan kacamata demikian, Illouz memandang Cinta, seperti halnya Marx memandang bentuk komoditas lain. Menurutnya, Cinta dibentuk dan diproduksi dari relasi sosial konkrit; Cinta punya sirkulasi sebuah pasar, yang berisi aktor-aktor tak setara, karena ketidaksetaraan tersebut, muncul pihak yang memiliki kapasitas lebih besar untuk mendefinisikan dirinya lebih dicintai daripada orang lain.
Illouz juga menyebut dirinya memandang cinta sebagai bentuk previlese untuk memahami proses modernitas. Hmm, di sinilah saya tertarik dengan idenya.
Illouz banyak mengambil contoh dari karya-karya sastra klasik modern Barat, beberapa di antaranya Wuthering Heights, Poor Folks, Indignation, dan lain-lain, untuk menggambarkan peristiwa nahas karena cinta. Menurutnya, penggambaran dari karya sastra modern tersebut, menggambarkan bagaimana Eropa Barat menyanjung bentuk-bentuk romantisisme, kejantanan, dan sopan santun laki-laki sebagai standar ideal pasangan. Sebaliknya, kelemahan perempuan diglorifikasi dan diakui, sebagai karakter yang menarik dan didambakan.
Inferioritas perempuan secara sosial, lantas ditukar dengan kesetiaan laki-laki, dimana laki-laki bisa menunjukan maskulinitas, kecakapan, dan kehormatannya. Kelemahan perempuan secara sosial dan kekuatan sosial laki-laki, diagungkan dan diromatisir dalam sastra modern, menjadi sifat-sifat manis, seperti protektif, lembut, dan gentle.
Dalam konteks masanya, perempuan selain memiliki inferioritas secara sosial, juga memiliki keterbatasan dalam hak-hak politik dan ekonomi. Dengan keberadaan laki-laki, mereka bisa mendapat kompensasi berupa perasaan dicintai sekaligus diagungkan dalam status moral sebagai ibu, sebagai perawat orang lain, sebagai istri, dan lain-lain. Ketimpangan sosial dikaburkan dengan cara tersebut, dan secara historis cinta sangat seduktif karena menutup atau mempercantik ketimpangan mendalam pada relasi gender.
Masa modern pasca Perang Dunia I perlahan mengubah "pasar cinta". Illouz melihat dalam empat dekade terakhir, hubungan romantik heteroseksual mengalami radikalisasi kebebasan dan kesetaraan, selaras dengan keterpisahan antara seksualitas dan emosi.
"Heterosexuals romantic love, contains the two most important cultural revolutions of the twentieth century: the individualization of lifestyles and the intensification of emotional life projects; and the economization of social relationships, the pervasiveness of economics models to shape the self and its very emotions. Sex and sexuality became disentangled from moral norms and incorporated in individualized lifestyle and life projects, while capitalist cultural grammar has massively penetrated the realm of heterosexual romantic relationships." (Hal.9)
Jujur sajah, this book is not an easy read for me. Tapi sangat menarik dan seru banget karena Eva Illouz berusaha merancang ulang makna hasrat romantis (dalam hubungan hetero only), ironi, kultur hiperseksualitas dan lain-lain yang tercamput aduk melalui kacamata sosiologi-marxisme-feminisme.
Dari banyak konsep romansa yg ditawarin, Illouz jelasin ada cinta romantis rasional. Kata dia, cinta yang mengandalkan rasionalitas akan bersandar pada regulasi diri dan pilihan optimal, agar terhindar dari rasa sakit hubungan romantis. Dari titik itu, dia juga mengupas prototipe kultur cinta yang kebanyakan misoginis.
Jadi, kenapa cinta begitu menyakitkan? ( malah balik nanya).