Sabtu, 11 April 2020

Menjaga Kewarasan di Masa Pandemik Bersama Audre Lorde

Kecemasan dan keseringan bengong menjadi dua mood yang sering muncul saat pandemik ini.  Biasanya memang hal itu dampak lanjutan dari pemberitaan yang aku baca atau bahkan aku tulis sendiri.

Dan seperti kebanyakan teman-teman yang lain, aku juga mencari ketenangan. Mulai dari nonton film (ke sininya entah gak berhasil), chatting (ini malah seringnya nyeri hate), lalu baca buku (ini sering berakhir ketiduran haha). Jadilah aku kembali ke pangkuan blog ini untuk mulai lagi berbagi pengalaman membaca buku-buku yang menurutku asoy. 

A udre Lorde portrait by Amalia Nur Fitri, watercolor on paper, 2019



AUDRE LORDE - Your Silence Will Not Protect You (2017)


Buku ini aku dapat dari @transitsanta di akhir 2019 lalu. Aku ingat waktu itu (kalau gak salah) lagi main sama Pepe, Hanna, Norman, Ann, dan Charlie di Pasar Santa. Transit Santa saat itu dijaga Mbak Alien, dia bilang kawannya lagi flu makanya dia jaga sendirian. Aku juga bilang ke dia mau review bukunya pas libur Natal, tapi apa daya karena Luhut bengong berlebih, baru tergerak nulis di tengah pandemik. 

Aku bersyukur ambil buku ini karena berhasil menemukan idola berzodiak Aquarius lainnya ketenangan di balik kata-katanya. Gak hanya itu juga, kumpulan essay dan puisinya powerful dan empowering. Aku yakin, Rachel Vennya si selebgram itu pasti setuju sama pendapatku barusan karena beberapa kali aku perhatikan dia repost quotes-quotes Audre Lorde di instastorynya saat diserang haters. Kadang ada creditnya kadang nggak ada, tapi aku tahu kalau itu pecahan dari puisinya Lorde.

Menurutku di sinilah kekuatan Lorde, potongan kalimat-kalimat dari puisi dan essainya sangat familiar di sosial media. Di bagian pembukaan, Reni Eddo-Lodge bilang, feminis abad 21 yang punya akun medsos pasti pernah berpapasan dengan potongan kalimat-kalimat karya Lorde di dunia maya.

Misalnya saja, "I am deliberate and afraid of nothing,","Caring for myself is not self indulgence, it is self preservation, and that is an act of political werfare,","I am not free while any women is unfree, even if her shackles are very different from my own", bahkan kayak judul buku ini "your silence will not protect you." Kalau kamu buka Pinterest, pasti akan sangat banyak duplikasi kalimat tersebut ditempel dengan gambar-gambar unyu. 

Membaca kumpulan karya-karya Lorde di buku ini juga bikin aku tahu arti pentingnya reclaiming (cinta laura: apa bahasa indonesianya?) identitas kita dan mau menghadapi resiko dari keputusan tersebut. Dari essay dan puisinya, Lorde menyebut dirinya adalah seorang penulis, aktivis, sastrawan, ibu, lesbian, perempuan kulit hitam, feminis, sosialis, guru, dan lain-lain. Dia juga tegas menyorot masalah rasisme struktural, klasisme, seksisme, heteroseksime sebagai musuh sehari-hari di hidupnya.

Ada satu surat terbuka yang Lorde kirim ke Mary Daly, penulis buku Gyn/Ecology tahun 1979. Dalam surat itu, Lorde mengkritik buku Daly yang dinilainya enggan mengakui pengalaman rasisme perempuan kulit hitam. Surat ini baru dibalas Daly beberapa ribu tahun setelahnya, bisa dibaca di sini. Aku gak tahu lagi bagaimana kelanjutan hubungan mereka, tapi dari sana aku mengerti mengapa beberapa orang yang berasal dari kelompok minoritas (entah itu secara preferensi seksual, ekspresi gender, ras, kelas, dan lain-lain) marah atau menolak untuk menjelaskan atau mengajari bagaimana struktur ketidakadilan dan opresi bekerja menghajar mereka kepada kelompok mayoritas heteropatriarki ini. 

Lorde sudah fed up 'mengajari' para feminis kulit putih mengenai opresi kelas bercampur seksisme harian yang dialami sebagai perempuan berkulit hitam. Dalam essay-nya yang diberi judul Uses of Anger, Lorde menjelaskan, white feminism nggak bisa dimengerti hanya sebagai jenis feminisme yang diproduksi perempuan kulit putih, tetapi hal itu menjadi alat untuk berasumsi bagaimana seharusnya perempuan kulit hitam diterima dan diakui pengalamannya. 

Lorde bilang, white feminism selalu gagal melihat karya-karya feminis berkulit hitam dan baru mau didengarkan jika pandangannya bisa menopang pendapatnya mereka (di mana itu juga udah pernah dibicarakan, kata Lorde).

Dari beberapa karyanya, aku juga jadi tahu Lorde sering banget marah. Kita diajarkan marah sebagai emosi yang negatif, karena bisa melahirkan kekerasan.Tapi Lorde bilang, "anger can become what we do, yet not all we do." Kemarahan menjadi senjata politis, sebagaimana kita memandang hal itu sebagai sumber daya hidup kita. 

"I kept myself through feeling. If white fathers say 'I think therefore I am', the black mother whispers, 'I feel therefore I can be free'."

Dan menurutku itu hal yang huhu banget. Membaca karya Lorde jadi semacam terapi tersendiri karena aku bisa melihat perasaan  marah, sedih, kesepian, depressed, dan bingung menjadi lebih radikal.  

Sister Outsider 
We Were born in a poor time
never touching
each other's hunger
never
sharing our fear
the bread became enemy.

Now we raise our children
to respect themselves
as well as each other. 

Now you have made loneliness 
holy and useful
now 
your light shines very brightly
but i want you
to know
your darkness also 
rich
and beyond fear. 

Lalu ini, adalah baris akhir dari puisinya yang berjudul Equinox:

Today both children came home from school 
talking about spring and peace 
and I wonder if they will ever know it
I want to tell them that we have no right to spring
because our sisters and brothers are burning
because every year the oil grows thicker
and even the earth is crying 
because Black is beautiful but currently 
going out of style
that we must be very strong 
and love each other 
in order to go on living. 


Di saat kondisi serba mencekam dan penuh ketidakpastian seperti ini, mustahil untuk nggak marah dengan pemerintah yang lelet menghadapi krisis sejak banjir di awal 2020 sampai penyakit viral ini. 

Mustahil untuk nggak marah dengan masyarakat yang membunuh dan tidak menerima transpuan, serta para korban COVID-19. Para korban ini berhak mendapat kematian yang baik dengan ucapan selamat tinggal dikelilingi orang terkasih.

Marah dengan para konglomerat dan pengusaha zalim yang curi kesempatan memotong hak pekerja di tengah pandemik. Nggak terkecuali sedih melihat bagaimana pekerja sektor informal menjadi prioritas akhir bagi pemerintah, padahal 70% pekerja Indonesia diisi oleh mereka. Sedih dengan nasib sendiri yang diombang-ambing kondisi ekonomi dan ketidakpastian masa depan. 

How can I do with my anger and sadness in order to go on living?

Jumat, 03 April 2020

Lanjutan Review "Putih: Warna Kulit Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional" Dua Tahun Kemudian

Sebagai permulaan, tulisan ini sudah ada di draft blog sejak 2018 dan tidak kunjung diselesaikan karena pergulatan dengan laptop tua dan pecutan kerjaan. Walau pembahasan ini masih sangat nanggung, aku tetap keluarkan sekarang sebelum tulisan ini berkoreng koreng 😝.

Post ini adalah lanjutan dari catatan (panjang) soal asal usul hierarki kecantikan di Indonesia dari buku Putih: Warna Kulit Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional karya L. Ayu Saraswati. Karena pemaparannya seru, saya pikir akan lebih baik ditulis sebagai catatan pribadi. Sebelumnya saya menuliskannya di sini

Pembahasan terakhir itu, adalah pembentukan norma kecantikan di zaman Orba yang memakai kiasan spasial. Apa itu kiasan spasial? Kiasan spasial adalah penanda tempat yang ditempelkan untuk memberi perasaan atau kesan tertentu. Nah, dalam pembentukan citra kecantikan, kiasan spasial ditempelkan guna memberi perasaan kalau kecantikan yang hakiki dan superior itu asalnya dari tempat lain. 

terinspirasy dari mbak-mbak di iklan Garnier, by Amalia Nur Fitri, watercolor on paper, 2018.

Di post, terdahulu saya ketemu satu contohnya, yaitu iklan sabun Lux yang dibintangi Widyawati. Di latarnya, ada menara Eiffel dan dalam pesan iklannya (yang panjang banget sampai dua paragraf) tertulis, kira-kira, Widyawati akhirnya menemukan cara ampuh untuk terlihat cantik dan saran dari Paris dengan menggunakan Lux. Singkatnya, Paris ini digambarkan dalam iklan sebagai tempat modern di mana teknologi memutihkan kulit berasal. Secara tersirat tergambar pula kepercayaan Widyawati dengan orang Perancis sebab kecantikan mereka lah yang dianggap paling sempurna.

Dalam pembahasan buku Putih, ini masuk ke dalam pembahasan Bab Putih Kosmpolitan. Secara teoritis, "kosmpolitan" berakar dari kata kosmos yang berarti dunia dan polites berarti warga negara. Aura 'warga negara dunia' dibawa dalam istilah kosmopolitan.

Kalau kata antropolog Steven Vertovec dan sosiolog Robin Cohen, kosmopolitanisme mengacu pada "sesuatu secara bersamaan":

  1. melampaui model negara-bangsa yang tampaknya sudah usang
  2. mampu memediasi tindakan dan ideal yang berorientasi baik pada yang universal maupun partikular, yang global maupun yang lokal
  3. secara kulturan, anti esensialis
  4. mampu merepresentasikan aneka repetoar kompleks dari ikatan, identitas, dan kepentingan. 
Mungkin kalau mau dipersingkat lagi, kosmopolitanisme (sepertinya) juga menawarkan sebuah pengelolaan keragaman budaya dan politik. Kosmopolitanisme juga dianggap memunculkan sebuah imaji akan seseorang yang berpunya alias mereka yang bisa mengklaim diri sebagai 'warga dunia', berkat kemandiriannya, seleranya yang high class dan mihil, dan gaya hidupnya yang bisa menjelajahi bumi. 

Majalah Cosmopolitan dan Kecantikan 'Baru'


Menariknya, citra-citra di atas itulah, yang kemudian dibingkai oleh majalah Cosmopolitan dari segi konsumsinya! Tahu majalah itu tidak? 

sumber: ebooks gramedia

Cosmopolitan adalah majalah perempuan transnasional yang paling populer di Indonesia. Saya sendiri pernah coba-coba mengintip saat masih duduk di bangku SD, lalu diceramahi panjang lebar soal moral dan puber karena ketahuan oleh Tante dan Om. Jadi, majalah ini awalnya terbit di Amerika di tahun 1886 sebagai majalah sastra/fiksi.

Perubahan besar terjadi gila-gilaan di tahun 1965, saat Helen Gurley Brown jadi redaktur barunya. Ohya, dia ini juga pengarang terkenal Sex and the Single Girl. Dia mengambil langkah untuk memutar kemudi fokus majalah ke arah seksualitas perempuan, dengan slogan "fun, fearless, female".

Cosmopolitan hadir di Indonesia September 1997. Ini bisa jadi adalah bentuk terobosan karena mempromosikan perempuan yang percaya diri secara seksual. Walau sempat ditunjuk oleh sebuah organisasi Islam karena dianggap membuat perempuan mencintai seks, strategi marketing Cosmo dengan menjunjung kemandirian perempuan dalam hal seksualitas menjadikannya salah satu majalah tersukses dan populer di Indonesia.

Nah, di sini menarik pula membahas kalau pengadaptasian majalah Amerika ini ikut mengedarkan wacana kecantikan. Peredaran putih dari Amerika ke Indonesia melalui Cosmopolitan, turut mempertahankan nilai pentingnya 'putih' di aras global.

Di sisi lain, seprogresif apapun Cosmo melawan peran gender tradisional perempuan Indonesia ala state Ibuisme Orba, dengan menegaskan kemandirian dan seksualitas perempuan, ia tetap saja menguatkan peran-peran subordinat perempuan.

Buku ini, sudah banyak banget dibahas mendalam dan aku harus tutup sampai di sini. Tabik.