Sabtu, 15 Mei 2021

The Bell Jar dan Energi "Racist White Feminist" Sylvia Plath

I Finished reading "The Bell Jar" Sylvia Plath last month (kalau gak salah). Tapi kesan-kesannya belum sempet dibahas dengan pede dan propper. So here goes.

Oh ya, aku tertarik baca Sylvia Plath karena rekomendasi mikro-influencer di ige dan teman, juga pingin baca sesuatu yang depresif ☺.

Novel yang jadi bacaan wajib anak SMA di AS ini, dinilai jadi semi otobiografi karena kesamaan latar belakang tokoh dengan penulisnya, terutama bagian pekerjaan sebagai penulis dan gangguan mental health yang diderita. Plath meninggal sebulan setelah novel ini diluncurkan tahun 1963.


"The Bell Jar" bercerita tentang perempuan usia 19 tahun bernama Esther Greenwood. Dia pinter secara akademis dan karir kepenulisan serta kuliah di univ bergengsi AS. Dia juga jadi anak magang di majalah terkenal di New York.

Esther develop perasaan depresif dan suicidal setelah mengalami sex assault dan penolakan untuk program menulis. Kejadian itu berakumulasi dengan seksisme harian yang dialaminya, baik dari laki-laki cishet yang ditemuinya sampai ibunya sendiri. 

Dia menjalani hari tanpa motivasi, penuh kesedihan dan putus asa, lalu merasa susah napas dan terkurung. Persis seperti dalam Bell Jar alias toples. 

Aku harus bilang, walau dalam beberapa dan banyak hal, bisa relate dengan pemikiran hampa dan pengalaman seksisme Greenwood, tapi stereotip rasis yang secara gamblang dilakukannya sepanjang cerita, parah dan serius bener. 

Stereotip rasis ini bisa dilihat sepanjang novelnya. Mulai dari penggambaran, "Chinese staring idiotically", "ugly Mexicans", "ugly Indians", "big, smudgy-eyed Chinese woman staring idiotically into my face,", "dusky as a bleached-blonde negress", hingga adegan Greenwood nendang (assault) Black man for no apparent reason pas dia dirawat di mental institution. Banyak momen "hah, kok gini??" saat aku menyelesaikan Bell Jar. 

Tapi aku sendiri suka sih dengan kepenulisan poetry prose dan ending ceritanya, di mana Greenwood bisa kembali ke tengah-tengah masyarakat dan dinilai "fit" buat sekolah lagi. 

Aku juga suka metafora fig tree-nya yang terkenal, "saw my life branching out before me like the green fig tree in the story. From the tip of every branch, like a fat purple fig, a wonderful future beckoned and winked. One fig was a husband and a happy home and children, and another fig was a famous poet, and another fig was a brilliant professor, and another fig was Ee Gee, the amazing editor, and another fig was Europe and Africa and South America, and another fig was Constantin and Socrates and Attila and a pack of other lovers with queer names and offbeat professions, and another fig was an Olympic lady crew champion, and beyond and above these figs were many more figs I couldn’t quite make out. I saw myself sitting in the crotch of this fig tree, starving to death, just because I couldn’t make up my mind which of the figs I would choose. I wanted each and every one of them, but choosing one meant losing all the rest, and, as I sat there, unable to decide, the figs began to wrinkle and go black, and, one by one, they plopped to the ground at my feet.” 

Dia juga mendapatkan "sanity" dengan menolak standar moral perempuan saat itu, aborsi, gak virgin, dan berkarir alias gak mau jadi istri submisif.

Kalo jaman sekarang, Esther punya potensi menjadi white feminist girlboss dan girlbossifying media industry kayaknya, heu. The Bell Jar is problematic and its everyone's fave. Aku pikir, kita mesti rajin cari tahu referensi karya dari genre ini lebi baik lagi, alias yang gak rasis. 

Jumat, 14 Mei 2021

Pak Djon dan Orang-Orang di Sekitarnya

Akhirnya selesai juga ngabisin halaman akhir buku ini, walau it took like 3 months long for me (qiqiqi). Walau begitu, aku senang ketemu buku ini. Penasaran karena pernah baca bagaimana Sudojojono "spill" akhlaknya Raden Saleh yang sombong, sok kebarat-baratan dan anti-Bekasi (LOL). 

Buku "S.Sudjojono: Cerita Tentang Saya dan Orang-Orang Sekitar Saya" adalah otobiografi maestro lukis Indonesia beraliran ekspresionisme, Sindudarma Sudjojono. Salah satu lukisannya yang ikonik dan terkenal adalah “Kawan-Kawan Revolusi" (1947) yang kemudian dikoleksi Presiden Sukarno. Lukisan itu adalah potret 19 orang kawan seperjuangan Sudjojono, dari sesama seniman hingga tentara.

"Kawan Revolusi" (1947) karya S.Sudjojono sumber: Indonesian Visual Art Archive

Sebagaimana otobiografi, Pak Djon (panggilan akrabnya) menulis sendiri riwayat hidupnya sejak lahir, proses memilih karir sebagai pelukis, menjaga eksistensi sebagai pelukis, hingga pengalaman dikeluarkan dari PKI dan menikah sama penyanyi seriosa, Rose Pandanwangi. Kisah terakhirnya itu, memang (menurutnya) sempat membuat gempar karena Pak Djon merasa orang-orang PKI seakan memframing dirinya seperti predator. Dia mikir mungkin hal itu terjadi, karena saat saling jatuh cinta dengan Rose, keduanya dalam posisi sudah menikah dan punya anak.

Tapi bagiku bagian menarik dari kisahnya tentu seputar proses melukis Beliau. Bagaimana dia membangun teknik melukis, menemukan gaya melukis, mengkritik aliran mooi indie Barat tapi juga terpengaruh dan susah lepas (mengakui), hingga bagaimana dia menilai karya rekan sejawatnya, misalnya Affandi.

Di lukisan berjudul "Selamat Jalan Pak" (1971), Pak Djon cerita ayahnya meninggal saat membawa keluarganya kabur dari tentara Belanda. Ayahnya terkena peluru di dada, darah mengucur seperti tumpah dari perut dan beliau meninggal di tengah-tengah sawah yang menguning. Karena saat itu masih dalam proses melarikan diri, Pak Djon terpaksa meninggalkan ayahnya yang sekarat dan lanjut berlari. 

Pak Djon juga cerita bagaimana orang-orang Jepang ngeri melihat keindahan lukisan Affandi dari kemelaratan, kemiskinan, dan penderitaan manusia dalam "Dia Datang, Menunggu dan Pergi" (1944). Bagi Jepang, lukisan indah itu gak senafas dengan tujuan propaganda dan pembangunan Asia Timur Raya (ya tentu sajah).

Cerita lainnya adalah bagaimana Pak Djon dapat kesempatan untuk dekat dan belajar dari pelukis Jepang yang kelihatan ansos dan angkuh, namanya Chiyoji Yazaki. Dari sekian orang dari beragam kalangan yang diterima dengan dingin, Yazaki ternyata berkenan bicara dengan Pak Djon. Dia bahkan kasih Pak Djon seperangkat alat melukis cat pastel. Di masa itu juga, Pak Djon banyak belajar teknik melukis dari Yazaki, termasuk pakai warna pastel untuk menggambarkan suasana depresif di lukisannya. "Inilah Yazaki, ini Jepang Modern, ini guru saya," halaman 42. Selain Yazaki, Pak Djon juga belajar dari pelukis Pirngadie. 

Aku punya impresi yang menyenangkan sama buku ini. Bikin bertanya juga, berapa banyak sih pelukis Indonesia yang menulis otobiografi? Dan dari tulisannya ini, Pak Djon terasa humoris gak neko-neko (apa adanya) dan punya prinsip kuat dalam bekerja. 

Penasaran juga sih, kira-kira bagaimana hubungannya dengan Soeharto? Di buku ini, tone saat menyebut Dwipayana dan Soeharto pun "ramah" (Beliau sebutnya Saudara Dwipoyono dan Pak Harto). Aku membandingkan saat dia cerita soal Raden Saleh dan DN Aidit, yang bernada "no longer my bestie". 

Dia juga beberapa kali menekankan dirinya gak nyambung dan gak ngerti dengan PKI, apalagi secara ideologi, "Saya hanya pelukis, bukan politikus", tapi ya Beliau bisa sempat duduk jadi anggota DPR dari PKI. Dirinya juga lebih terlihat seperti "pemikir" saat bergabung di Persagi (Perkumpulan Ahli Gambar Indonesia) dibandingkan PKI. Dan ajaib juga karena dia selamat dari serangan militer berkedok G30SPKI walau sempat diculik. 

Nevertheles, I enjoyed this book so much!