Akhirnya selesai juga ngabisin halaman akhir buku ini, walau it took like 3 months long for me (qiqiqi). Walau begitu, aku senang ketemu buku ini. Penasaran karena pernah baca bagaimana Sudojojono "spill" akhlaknya Raden Saleh yang sombong, sok kebarat-baratan dan anti-Bekasi (LOL).
Buku "S.Sudjojono: Cerita Tentang Saya dan Orang-Orang Sekitar Saya" adalah otobiografi maestro lukis Indonesia beraliran ekspresionisme, Sindudarma Sudjojono. Salah satu lukisannya yang ikonik dan terkenal adalah “Kawan-Kawan Revolusi" (1947) yang kemudian dikoleksi Presiden Sukarno. Lukisan itu adalah potret 19 orang kawan seperjuangan Sudjojono, dari sesama seniman hingga tentara.
Sebagaimana otobiografi, Pak Djon (panggilan akrabnya) menulis sendiri riwayat hidupnya sejak lahir, proses memilih karir sebagai pelukis, menjaga eksistensi sebagai pelukis, hingga pengalaman dikeluarkan dari PKI dan menikah sama penyanyi seriosa, Rose Pandanwangi. Kisah terakhirnya itu, memang (menurutnya) sempat membuat gempar karena Pak Djon merasa orang-orang PKI seakan memframing dirinya seperti predator. Dia mikir mungkin hal itu terjadi, karena saat saling jatuh cinta dengan Rose, keduanya dalam posisi sudah menikah dan punya anak.
Tapi bagiku bagian menarik dari kisahnya tentu seputar proses melukis Beliau. Bagaimana dia membangun teknik melukis, menemukan gaya melukis, mengkritik aliran mooi indie Barat tapi juga terpengaruh dan susah lepas (mengakui), hingga bagaimana dia menilai karya rekan sejawatnya, misalnya Affandi.
Di lukisan berjudul "Selamat Jalan Pak" (1971), Pak Djon cerita ayahnya meninggal saat membawa keluarganya kabur dari tentara Belanda. Ayahnya terkena peluru di dada, darah mengucur seperti tumpah dari perut dan beliau meninggal di tengah-tengah sawah yang menguning. Karena saat itu masih dalam proses melarikan diri, Pak Djon terpaksa meninggalkan ayahnya yang sekarat dan lanjut berlari.
Pak Djon juga cerita bagaimana orang-orang Jepang ngeri melihat keindahan lukisan Affandi dari kemelaratan, kemiskinan, dan penderitaan manusia dalam "Dia Datang, Menunggu dan Pergi" (1944). Bagi Jepang, lukisan indah itu gak senafas dengan tujuan propaganda dan pembangunan Asia Timur Raya (ya tentu sajah).
Cerita lainnya adalah bagaimana Pak Djon dapat kesempatan untuk dekat dan belajar dari pelukis Jepang yang kelihatan ansos dan angkuh, namanya Chiyoji Yazaki. Dari sekian orang dari beragam kalangan yang diterima dengan dingin, Yazaki ternyata berkenan bicara dengan Pak Djon. Dia bahkan kasih Pak Djon seperangkat alat melukis cat pastel. Di masa itu juga, Pak Djon banyak belajar teknik melukis dari Yazaki, termasuk pakai warna pastel untuk menggambarkan suasana depresif di lukisannya. "Inilah Yazaki, ini Jepang Modern, ini guru saya," halaman 42. Selain Yazaki, Pak Djon juga belajar dari pelukis Pirngadie.
Aku punya impresi yang menyenangkan sama buku ini. Bikin bertanya juga, berapa banyak sih pelukis Indonesia yang menulis otobiografi? Dan dari tulisannya ini, Pak Djon terasa humoris gak neko-neko (apa adanya) dan punya prinsip kuat dalam bekerja.
Penasaran juga sih, kira-kira bagaimana hubungannya dengan Soeharto? Di buku ini, tone saat menyebut Dwipayana dan Soeharto pun "ramah" (Beliau sebutnya Saudara Dwipoyono dan Pak Harto). Aku membandingkan saat dia cerita soal Raden Saleh dan DN Aidit, yang bernada "no longer my bestie".
Dia juga beberapa kali menekankan dirinya gak nyambung dan gak ngerti dengan PKI, apalagi secara ideologi, "Saya hanya pelukis, bukan politikus", tapi ya Beliau bisa sempat duduk jadi anggota DPR dari PKI. Dirinya juga lebih terlihat seperti "pemikir" saat bergabung di Persagi (Perkumpulan Ahli Gambar Indonesia) dibandingkan PKI. Dan ajaib juga karena dia selamat dari serangan militer berkedok G30SPKI walau sempat diculik.
Nevertheles, I enjoyed this book so much!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar