I Finished reading "The Bell Jar" Sylvia Plath last month (kalau gak salah). Tapi kesan-kesannya belum sempet dibahas dengan pede dan propper. So here goes.
Oh ya, aku tertarik baca Sylvia Plath karena rekomendasi mikro-influencer di ige dan teman, juga pingin baca sesuatu yang depresif ☺.
Novel yang jadi bacaan wajib anak SMA di AS ini, dinilai jadi semi otobiografi karena kesamaan latar belakang tokoh dengan penulisnya, terutama bagian pekerjaan sebagai penulis dan gangguan mental health yang diderita. Plath meninggal sebulan setelah novel ini diluncurkan tahun 1963.
"The Bell Jar" bercerita tentang perempuan usia 19 tahun bernama Esther Greenwood. Dia pinter secara akademis dan karir kepenulisan serta kuliah di univ bergengsi AS. Dia juga jadi anak magang di majalah terkenal di New York.
Esther develop perasaan depresif dan suicidal setelah mengalami sex assault dan penolakan untuk program menulis. Kejadian itu berakumulasi dengan seksisme harian yang dialaminya, baik dari laki-laki cishet yang ditemuinya sampai ibunya sendiri.
Dia menjalani hari tanpa motivasi, penuh kesedihan dan putus asa, lalu merasa susah napas dan terkurung. Persis seperti dalam Bell Jar alias toples.
Aku harus bilang, walau dalam beberapa dan banyak hal, bisa relate dengan pemikiran hampa dan pengalaman seksisme Greenwood, tapi stereotip rasis yang secara gamblang dilakukannya sepanjang cerita, parah dan serius bener.
Stereotip rasis ini bisa dilihat sepanjang novelnya. Mulai dari penggambaran, "Chinese staring idiotically", "ugly Mexicans", "ugly Indians", "big, smudgy-eyed Chinese woman staring idiotically into my face,", "dusky as a bleached-blonde negress", hingga adegan Greenwood nendang (assault) Black man for no apparent reason pas dia dirawat di mental institution. Banyak momen "hah, kok gini??" saat aku menyelesaikan Bell Jar.
Tapi aku sendiri suka sih dengan kepenulisan poetry prose dan ending ceritanya, di mana Greenwood bisa kembali ke tengah-tengah masyarakat dan dinilai "fit" buat sekolah lagi.
Aku juga suka metafora fig tree-nya yang terkenal, "saw my life branching out before me like the green fig tree in the story. From the tip of every branch, like a fat purple fig, a wonderful future beckoned and winked. One fig was a husband and a happy home and children, and another fig was a famous poet, and another fig was a brilliant professor, and another fig was Ee Gee, the amazing editor, and another fig was Europe and Africa and South America, and another fig was Constantin and Socrates and Attila and a pack of other lovers with queer names and offbeat professions, and another fig was an Olympic lady crew champion, and beyond and above these figs were many more figs I couldn’t quite make out. I saw myself sitting in the crotch of this fig tree, starving to death, just because I couldn’t make up my mind which of the figs I would choose. I wanted each and every one of them, but choosing one meant losing all the rest, and, as I sat there, unable to decide, the figs began to wrinkle and go black, and, one by one, they plopped to the ground at my feet.”
Dia juga mendapatkan "sanity" dengan menolak standar moral perempuan saat itu, aborsi, gak virgin, dan berkarir alias gak mau jadi istri submisif.
Kalo jaman sekarang, Esther punya potensi menjadi white feminist girlboss dan girlbossifying media industry kayaknya, heu. The Bell Jar is problematic and its everyone's fave. Aku pikir, kita mesti rajin cari tahu referensi karya dari genre ini lebi baik lagi, alias yang gak rasis.