Senin, 18 September 2023

Reading Junji Ito's Comics in Endonesyan

Komiknya Junji Ito, mangaka horor asal Jepang, sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia sejak akhir tahun lalu (kalau gak salah).

Aku antusias banget karena selain harganya jadi lebih murah, komiknya jadi gampang didapatkan di mana-mana, gak hanya Kinokuniya. 

Sampai saat ini, aku udah menyelesaikan semua seri Tomie dan Uzumaki. Dan oh wow..Aku pikir itu adalah dua karya terbaik Ito. Tapi kali ini, aku mau bahas komiknya yang lain, yaitu Souichi's Convinient Curses, Fragment of Horror, Best of the Best dan Hellstar Remina. 

Aku bakal bahas satu per satu di sini hehe. Hitung-hitung review sekenanya dan mengisi entri tahun 2023 di blog yang sudah bersarang laba-laba.

Here we go:

1. Souichi's Convinient Curses


I have finished reading this months ago. Komik ini berisi kumpulan cerita Souichi, anak SD yang jahil banget dan terobsesi sama ilmu nujum. He is real bokem (bocah kematian), tipikal misfit freak gak punya temen dan jahil parah.

Untungnya Junji Ito gak bikin Souichi ini ala-ala "orang jahat adalah misfit yang tersakiti" lalu berubah jadi sosok Joker cilik wkwk. Souichi emang kesepian, aneh, gak bisa bersosialisasi tapi iseng dan songong jadi dia sial melulu.

Ada kisah dia mau ngerjain cewek yang nolak perasaannya dengan foto diem-diem cewek tersebut pas mau berenang di danau angker. Bener-bener anak brengsek, tapi untungnya Souichi dapat ganjaran, dia dikejar-kejar makhluk penunggu danau itu.


Cerita lainnya yang kocak buatku adalah asal usul kenapa Souichi begitu. Kata orang-orang, neneknya persis sama tingkahnya kayak dia tapi nenek hilang entah kemana sehingga keluarga sudah anggap nenek meninggal. Walau Souichi ini nakal banget, kakeknya sayang sama dia. Saking sayangnya, si kakek bahkan sampe bangkit lagi dari kubur cuma buat lanjutin bikinin mainan Souichi yang janji dia selesein! 


Menurutku, komik ini gak serem sama sekali. Sempat kesal juga sama tingkahnya yang jahil dan gak mampunya dia meregulasi emosi. Emang dasar bokem. 

2. Fragments of Horror 

Fragments of Horror adalah kumpulan 8 kisah horor pendek Junji Ito yang ditulis di kisaran tahun 2009 sampe 2013. Ada kisah yang lumayan ikonik dan populer di sini, seperti Tomio - Red Turtleneck dan Whispering Woman. 

Gentle Goodbye adalah salah satu kisah favoritku. Kisahnya bittersweet sekali alih-alih horor, aku sampe nangis bacanya. Bikin merenung dan mikir gimana cara tiap orang memproses duka dan menghadapi mati/kehilangan abadi (gaada yang pernah siap). Hal terbaik yang bisa kita lakukan selama diberi kesempatan bersama orang tersayang adalah, saling menunjukan kasih sayang. Kenanglah dan rawat dengan baik di ingatan jika mereka sudah tiada. 

Whispering Woman pilu sekali. Di sini aku mikir, Junji Ito lumayan ngerti gimana dinamika kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Mungkin dia riset atau dia dapat insight dari orang-orang terdekatnya. Kejadian kekerasan terhadap perempuan yang digambarkan di sini, juga apa yang seringnya terjadi di masyarakat. Misalnya berpikir ga boleh ikut campur masalah KDRT padahal mah kalau sudah tau ada orang butuh bantuan ya bantuin lah! Syukurnya, di sini Junji Ito bisa bikin korban balas dendam ke pelaku dan enablernya! Aku suka sekali dan puas sama endingnya. 


Kalau yang Tomio - Red Turtleneck, lumayan familiar ceritanya. Pesan moral yang mungkin mau disampaikan Ito barangkali, "jangan selingkuh kalau gak mau apes dan trauma seumur hidup" (wkwkw) (sotoy). 

Di Fragment Horror ini tuh, kisah horror yang terjadi berasal dari tingkah aku manusia yang ajaib dan di luar nurul. Maksudnya, bukan dari penampakan hantu menjijikan atau monster gore, tapi karena fenomena sosial, halusinasi, obsesi atau penghianatan, sampai pengabaian dari kekerasan. Suka banget!

3. Junji Ito Best of the Best


Kumpulan 10 cerita horor dan 4 gambar dari No Longer Human dan Uzumaki. Kalau dibandingkan sama 2 komik sebelumnya, komik ini bikin lemes dan bergidik karena visual yang buatku mayan goredan dan disturbing. Beberapa kali, istirahat dulu karena ngerasa too much #lemah. 

Cerita pertama juga sudah bikin lemes, watdefak. Aku gak nyangka Junji Ito can go this far. Menurutku, kalau kamu sotoy kayak aku (penakut tapi suka horror) jangan baca komik ini sambil makan. 

Di sini, Junji Ito juga bikin adaptasi berdasarkan cerita dari penulis kisah misteri klasik jepang, Edogawa Ranpo. Edogawa Ranpo adalah penulis kisah detektif, Kogoro Akechi. Ini juga yang menginspirspirasi banget penulis Detective Conan yang kita tahu itu. Selain Ranpo, Ito juga adaptasi cerita dari Robert Hichens. 

Di buku ini, Dia juga menceritakan awal mula ketertarikannya dengan horor sejak kecil. Semuanya gak lepas dari pengaruh 2 kakak perempuannya (namanya gak disebut, tapi di-addressnya dengan: dua kakakku yang baik hati). Dari penggambaran Ito soal dirinya ini, kita juga jadi nangkep kalo selera humornya Ito tuh self deprecating gitu, tapi wholesome. Pribadi yang rajin, humble dan kocak. 


4. Hellstar Remina 


Junji Ito kelihatannya ngerti soal misoginisme yah. Maksudnya dia mengerti bagaimana masyarakat patriarkis melihat perempuan sebagai objek. Hellstar Remina cukup oke menggambarkan masyarakat misoginis ini, membenci eksistensi perempuan yang gak salah apa-apa. Bikin lemes juga karena beberapa bagian terasa familiar karena menyaksikan di keseharian. 

Sempat mikir apakah Hellstar Remina ini adalah kisah horror karena menjadi perempuan feminin? Being demonized by the entire world without having done anything other than being a woman?


Selain itu dia juga nyentil sedikit miliuner egois. Kisahnya mengingatkan ke tragedi kapal selam yang ditumpangin orang-orang kaya dan implosif di dalam laut. 

Selebihnya, saat lihat review orang-orang lain, banyak yang pakai istilah Lovecratian (diambil dari nama penulis Amrik, HP Lovecraft) untuk buku ini. Menggambarkan subgenre horror dari makhluk asing (otherwordly) yang punya anatomi menakutkan dan gak natural. Penggambaran planet yang memangsa alam semesta dan punya udara beracun mematikan, Remina, memang cocok disebut Lovecratian.

Endingnya, aku gatau bisa dikatakan apa. Yang aku tangkap, malah itulah horror sebenarnya. Hopelesness, uncertainty, bleak future, somehow ini khas Junji Ito juga. Jadi, aku pikir oke deh. 

Dengan ini, udah baca 6 komik terjemahan bahasa Indonesyanya, termasuk Tomie dan Uzumaki (BEST!!). Will be reading other Junji Ito's work later, sebab so fun 🤙🏻🔥

Sabtu, 15 Mei 2021

The Bell Jar dan Energi "Racist White Feminist" Sylvia Plath

I Finished reading "The Bell Jar" Sylvia Plath last month (kalau gak salah). Tapi kesan-kesannya belum sempet dibahas dengan pede dan propper. So here goes.

Oh ya, aku tertarik baca Sylvia Plath karena rekomendasi mikro-influencer di ige dan teman, juga pingin baca sesuatu yang depresif ☺.

Novel yang jadi bacaan wajib anak SMA di AS ini, dinilai jadi semi otobiografi karena kesamaan latar belakang tokoh dengan penulisnya, terutama bagian pekerjaan sebagai penulis dan gangguan mental health yang diderita. Plath meninggal sebulan setelah novel ini diluncurkan tahun 1963.


"The Bell Jar" bercerita tentang perempuan usia 19 tahun bernama Esther Greenwood. Dia pinter secara akademis dan karir kepenulisan serta kuliah di univ bergengsi AS. Dia juga jadi anak magang di majalah terkenal di New York.

Esther develop perasaan depresif dan suicidal setelah mengalami sex assault dan penolakan untuk program menulis. Kejadian itu berakumulasi dengan seksisme harian yang dialaminya, baik dari laki-laki cishet yang ditemuinya sampai ibunya sendiri. 

Dia menjalani hari tanpa motivasi, penuh kesedihan dan putus asa, lalu merasa susah napas dan terkurung. Persis seperti dalam Bell Jar alias toples. 

Aku harus bilang, walau dalam beberapa dan banyak hal, bisa relate dengan pemikiran hampa dan pengalaman seksisme Greenwood, tapi stereotip rasis yang secara gamblang dilakukannya sepanjang cerita, parah dan serius bener. 

Stereotip rasis ini bisa dilihat sepanjang novelnya. Mulai dari penggambaran, "Chinese staring idiotically", "ugly Mexicans", "ugly Indians", "big, smudgy-eyed Chinese woman staring idiotically into my face,", "dusky as a bleached-blonde negress", hingga adegan Greenwood nendang (assault) Black man for no apparent reason pas dia dirawat di mental institution. Banyak momen "hah, kok gini??" saat aku menyelesaikan Bell Jar. 

Tapi aku sendiri suka sih dengan kepenulisan poetry prose dan ending ceritanya, di mana Greenwood bisa kembali ke tengah-tengah masyarakat dan dinilai "fit" buat sekolah lagi. 

Aku juga suka metafora fig tree-nya yang terkenal, "saw my life branching out before me like the green fig tree in the story. From the tip of every branch, like a fat purple fig, a wonderful future beckoned and winked. One fig was a husband and a happy home and children, and another fig was a famous poet, and another fig was a brilliant professor, and another fig was Ee Gee, the amazing editor, and another fig was Europe and Africa and South America, and another fig was Constantin and Socrates and Attila and a pack of other lovers with queer names and offbeat professions, and another fig was an Olympic lady crew champion, and beyond and above these figs were many more figs I couldn’t quite make out. I saw myself sitting in the crotch of this fig tree, starving to death, just because I couldn’t make up my mind which of the figs I would choose. I wanted each and every one of them, but choosing one meant losing all the rest, and, as I sat there, unable to decide, the figs began to wrinkle and go black, and, one by one, they plopped to the ground at my feet.” 

Dia juga mendapatkan "sanity" dengan menolak standar moral perempuan saat itu, aborsi, gak virgin, dan berkarir alias gak mau jadi istri submisif.

Kalo jaman sekarang, Esther punya potensi menjadi white feminist girlboss dan girlbossifying media industry kayaknya, heu. The Bell Jar is problematic and its everyone's fave. Aku pikir, kita mesti rajin cari tahu referensi karya dari genre ini lebi baik lagi, alias yang gak rasis. 

Jumat, 14 Mei 2021

Pak Djon dan Orang-Orang di Sekitarnya

Akhirnya selesai juga ngabisin halaman akhir buku ini, walau it took like 3 months long for me (qiqiqi). Walau begitu, aku senang ketemu buku ini. Penasaran karena pernah baca bagaimana Sudojojono "spill" akhlaknya Raden Saleh yang sombong, sok kebarat-baratan dan anti-Bekasi (LOL). 

Buku "S.Sudjojono: Cerita Tentang Saya dan Orang-Orang Sekitar Saya" adalah otobiografi maestro lukis Indonesia beraliran ekspresionisme, Sindudarma Sudjojono. Salah satu lukisannya yang ikonik dan terkenal adalah “Kawan-Kawan Revolusi" (1947) yang kemudian dikoleksi Presiden Sukarno. Lukisan itu adalah potret 19 orang kawan seperjuangan Sudjojono, dari sesama seniman hingga tentara.

"Kawan Revolusi" (1947) karya S.Sudjojono sumber: Indonesian Visual Art Archive

Sebagaimana otobiografi, Pak Djon (panggilan akrabnya) menulis sendiri riwayat hidupnya sejak lahir, proses memilih karir sebagai pelukis, menjaga eksistensi sebagai pelukis, hingga pengalaman dikeluarkan dari PKI dan menikah sama penyanyi seriosa, Rose Pandanwangi. Kisah terakhirnya itu, memang (menurutnya) sempat membuat gempar karena Pak Djon merasa orang-orang PKI seakan memframing dirinya seperti predator. Dia mikir mungkin hal itu terjadi, karena saat saling jatuh cinta dengan Rose, keduanya dalam posisi sudah menikah dan punya anak.

Tapi bagiku bagian menarik dari kisahnya tentu seputar proses melukis Beliau. Bagaimana dia membangun teknik melukis, menemukan gaya melukis, mengkritik aliran mooi indie Barat tapi juga terpengaruh dan susah lepas (mengakui), hingga bagaimana dia menilai karya rekan sejawatnya, misalnya Affandi.

Di lukisan berjudul "Selamat Jalan Pak" (1971), Pak Djon cerita ayahnya meninggal saat membawa keluarganya kabur dari tentara Belanda. Ayahnya terkena peluru di dada, darah mengucur seperti tumpah dari perut dan beliau meninggal di tengah-tengah sawah yang menguning. Karena saat itu masih dalam proses melarikan diri, Pak Djon terpaksa meninggalkan ayahnya yang sekarat dan lanjut berlari. 

Pak Djon juga cerita bagaimana orang-orang Jepang ngeri melihat keindahan lukisan Affandi dari kemelaratan, kemiskinan, dan penderitaan manusia dalam "Dia Datang, Menunggu dan Pergi" (1944). Bagi Jepang, lukisan indah itu gak senafas dengan tujuan propaganda dan pembangunan Asia Timur Raya (ya tentu sajah).

Cerita lainnya adalah bagaimana Pak Djon dapat kesempatan untuk dekat dan belajar dari pelukis Jepang yang kelihatan ansos dan angkuh, namanya Chiyoji Yazaki. Dari sekian orang dari beragam kalangan yang diterima dengan dingin, Yazaki ternyata berkenan bicara dengan Pak Djon. Dia bahkan kasih Pak Djon seperangkat alat melukis cat pastel. Di masa itu juga, Pak Djon banyak belajar teknik melukis dari Yazaki, termasuk pakai warna pastel untuk menggambarkan suasana depresif di lukisannya. "Inilah Yazaki, ini Jepang Modern, ini guru saya," halaman 42. Selain Yazaki, Pak Djon juga belajar dari pelukis Pirngadie. 

Aku punya impresi yang menyenangkan sama buku ini. Bikin bertanya juga, berapa banyak sih pelukis Indonesia yang menulis otobiografi? Dan dari tulisannya ini, Pak Djon terasa humoris gak neko-neko (apa adanya) dan punya prinsip kuat dalam bekerja. 

Penasaran juga sih, kira-kira bagaimana hubungannya dengan Soeharto? Di buku ini, tone saat menyebut Dwipayana dan Soeharto pun "ramah" (Beliau sebutnya Saudara Dwipoyono dan Pak Harto). Aku membandingkan saat dia cerita soal Raden Saleh dan DN Aidit, yang bernada "no longer my bestie". 

Dia juga beberapa kali menekankan dirinya gak nyambung dan gak ngerti dengan PKI, apalagi secara ideologi, "Saya hanya pelukis, bukan politikus", tapi ya Beliau bisa sempat duduk jadi anggota DPR dari PKI. Dirinya juga lebih terlihat seperti "pemikir" saat bergabung di Persagi (Perkumpulan Ahli Gambar Indonesia) dibandingkan PKI. Dan ajaib juga karena dia selamat dari serangan militer berkedok G30SPKI walau sempat diculik. 

Nevertheles, I enjoyed this book so much!

Sabtu, 25 Juli 2020

Bagaimana Bahasa yang Jahat Menurut Ben Anderson?

Its been awhile for me to read and throwing book reviews because I have not found the one that really strike my attention nor motivation.

I have finished reading this book months ago, and I wanna share my view about it in here, karena kayaknya di sini udah kelamaan kosong konten.

Aku beli buku Joss Wibisono berjudul Maksud Politik Jahat: Benedict Anderson tentang Bahasa dan Kuasa di Post Santa dua bulan lalu. Saat itu lagi pingin banget baca sesuatu soal Ben Anderson, terutama dari kacamata orang lain.

Buku ini sendiri isinya adalah review mengenai tulisan dan gagasan Anderson dari teman dekatnya, Joss Wibisono. Joss sendiri adalah seorang penulis dan wartawan lepas yang tinggal di Belanda. Lebih spesifik lagi, di sini Joss melihat bagaimana Anderson berpikir mengenai bahasa, penggunaannya, politik yang melatarbelakanginya dan sejarah yang ikut nempel bersamanya.

Dari teropongnya juga, Joss memperhatikan Anderson belum pernah menulis artikel apapun yang berhubungan dengan perempuan atau Kartini. Alasan kenapa Anderson gak pernah menulis soal perempuan sepanjang karir akademisinya, sayangnya gak terjawab dalam buku ini.

Sedangkan mengenai Kartini, Joss berasumsi, Anderson mungkin saja berpikir tokoh yang berperan besar menerbitkan dan menerjemahkan tulisan Kartini adalah politikus Belanda, J.H Abendanon. Mungkin ada proses seleksi di belakang prosesnya, mana surat yang boleh diterbitkan, seperti apa pandangannya, bagaimana mengeditnya, dan bias lainnya. Masih dari pendapatnya, Joss berpikir, bisa saja surat-surat Kartini yang kita baca dan kita jadikan quotes berulang-ulang tiap tahun di hari jadinya, berbeda sekali dengan Kartini yang benar-benar ada.

Dari situ Joss masuk ke pembahasan politik terjemahan dan penyimpangan sistematis dengan mengambil kasus penerjemahan buku dari Bapak Bangsa Filipina, Jose Rizal berjudul Noli Me Tangere yang dilakukan Leon Maria Gueterro.

Penerjemahan buku Rizal didorong untuk dapat hadiah dari sayembara tahun 1960-an. Saat itu Gueterro masih menjabat sebagai duta besar Inggris untuk Filipina, dia bisa berbahasa Inggris dan Spanyol lancar.

Anderson sendiri saat itu mencatat ada tujuh penyimpangan yang doi temukan saat membaca karya Noli Me Tangere versi terjemahan Gueterro. Penyimpangan itu adalah, demodernisasi, penyingkiran peran pembaca, penghilangan bahasa Tagalog, pembuangan istilah atau adegan yang dianggap tidak senonoh, penyingkiran lokasi, penyingkiran unsur dan faktor Eropa, serta anakronisme.

Anderson bilang, apa yang dilakukan oleh Guetereo (dengan posisinya sebagai pejabat) secara tidak langsung menunjukan kebangkitan "nasionalisme resmi". Sebuah penokohan dilihat sebagai pahlawan, harus dihormati dan dilihat, belum tentu didengar apalagi dibaca pemikirannya. Lucunya, saat itu Filipina juga mengalami pergantian bahasa pengantar, dari Bahasa Spanyol menjadi Inggris-Amerika.

"Pergantian bahasa ini menyebabkan orang Filipina punya jati diri yang lain sebagai sebuah bangsa yang merdeka." Anderson, halaman 89.

Balik lagi ke masalah terjemahan surat Kartini, Joss melihat usaha terjemahan dengan maksud politis juga dilakukan oleh "Empat Saudara", Sulastin Sutrisno dan Armijn Pane. Menurut dia, judul "Habis Gelap Terbitlah Terang" cukup melenceng dari arti aslinya.

Bagian menarik lainnya adalah gimana Anderson menolak menggunakan EYD saat berbahasa Indonesia karena benci Orde Baru. Joss menulis, sampai akhir hayatnya dia berbahasa Indonesia dengan ejaan Suwandi. Aku pribadi juga pernah ditunjukin tulisan Anderson dengan ejaan jadul pas dia kirim email, bener kok #funfact.

Bab lainnya dari buku ini menceritakan bagaimana pengalaman dan perasaan Anderson saat dilarang memasuki Indonesia selama sekitar 3 dekade, keprihatinan bahasa, serta arti bahasa bagi dia.

Kalau mau memberi rating ala-ala influencer (hihi), aku berikan buku ini 3 dari 5 poin. Aku suka pemaparannya, tapi ngerasa agak risih di beberapa bagian dengan cara menulis Joss.

Setelah ngobrol dengan Pepe, aku nemuin istilah yang tepat, yaitu romantisir dan dramatis. Gak apa-apa sebenarnya, tapi ini jadi bikin bertanya lagi, bisa nggak ya kita mengkritik karya Anderson atau bahkan posisinya dia sebagai Indonesianis laki-laki cis kulit putih? Terlepas memang cara menulis Anderson sampai hari ini, adalah tulisan akademisi ter-humble dan ternyaman yang aku baca. Menurut Pepe juga, sudah jarang akademisi terkenal bisa humble tapi kerjanya detail dan bagus. 

Di sisi lain, dari buku ini aku juga menangkap rasa kagum seorang teman yang kehilangan partner berdiskusi santai tapi serius, kawan berbagi musik kesukaan, hingga berbagi asumsi mengenai tokoh-tokoh sejarah dan penokohan dalam buku sastra. Serta makin menguatkan kalau gak hanya dikagumi, Anderson juga sosok banyak disayangi orang.

Sabtu, 11 April 2020

Menjaga Kewarasan di Masa Pandemik Bersama Audre Lorde

Kecemasan dan keseringan bengong menjadi dua mood yang sering muncul saat pandemik ini.  Biasanya memang hal itu dampak lanjutan dari pemberitaan yang aku baca atau bahkan aku tulis sendiri.

Dan seperti kebanyakan teman-teman yang lain, aku juga mencari ketenangan. Mulai dari nonton film (ke sininya entah gak berhasil), chatting (ini malah seringnya nyeri hate), lalu baca buku (ini sering berakhir ketiduran haha). Jadilah aku kembali ke pangkuan blog ini untuk mulai lagi berbagi pengalaman membaca buku-buku yang menurutku asoy. 

A udre Lorde portrait by Amalia Nur Fitri, watercolor on paper, 2019



AUDRE LORDE - Your Silence Will Not Protect You (2017)


Buku ini aku dapat dari @transitsanta di akhir 2019 lalu. Aku ingat waktu itu (kalau gak salah) lagi main sama Pepe, Hanna, Norman, Ann, dan Charlie di Pasar Santa. Transit Santa saat itu dijaga Mbak Alien, dia bilang kawannya lagi flu makanya dia jaga sendirian. Aku juga bilang ke dia mau review bukunya pas libur Natal, tapi apa daya karena Luhut bengong berlebih, baru tergerak nulis di tengah pandemik. 

Aku bersyukur ambil buku ini karena berhasil menemukan idola berzodiak Aquarius lainnya ketenangan di balik kata-katanya. Gak hanya itu juga, kumpulan essay dan puisinya powerful dan empowering. Aku yakin, Rachel Vennya si selebgram itu pasti setuju sama pendapatku barusan karena beberapa kali aku perhatikan dia repost quotes-quotes Audre Lorde di instastorynya saat diserang haters. Kadang ada creditnya kadang nggak ada, tapi aku tahu kalau itu pecahan dari puisinya Lorde.

Menurutku di sinilah kekuatan Lorde, potongan kalimat-kalimat dari puisi dan essainya sangat familiar di sosial media. Di bagian pembukaan, Reni Eddo-Lodge bilang, feminis abad 21 yang punya akun medsos pasti pernah berpapasan dengan potongan kalimat-kalimat karya Lorde di dunia maya.

Misalnya saja, "I am deliberate and afraid of nothing,","Caring for myself is not self indulgence, it is self preservation, and that is an act of political werfare,","I am not free while any women is unfree, even if her shackles are very different from my own", bahkan kayak judul buku ini "your silence will not protect you." Kalau kamu buka Pinterest, pasti akan sangat banyak duplikasi kalimat tersebut ditempel dengan gambar-gambar unyu. 

Membaca kumpulan karya-karya Lorde di buku ini juga bikin aku tahu arti pentingnya reclaiming (cinta laura: apa bahasa indonesianya?) identitas kita dan mau menghadapi resiko dari keputusan tersebut. Dari essay dan puisinya, Lorde menyebut dirinya adalah seorang penulis, aktivis, sastrawan, ibu, lesbian, perempuan kulit hitam, feminis, sosialis, guru, dan lain-lain. Dia juga tegas menyorot masalah rasisme struktural, klasisme, seksisme, heteroseksime sebagai musuh sehari-hari di hidupnya.

Ada satu surat terbuka yang Lorde kirim ke Mary Daly, penulis buku Gyn/Ecology tahun 1979. Dalam surat itu, Lorde mengkritik buku Daly yang dinilainya enggan mengakui pengalaman rasisme perempuan kulit hitam. Surat ini baru dibalas Daly beberapa ribu tahun setelahnya, bisa dibaca di sini. Aku gak tahu lagi bagaimana kelanjutan hubungan mereka, tapi dari sana aku mengerti mengapa beberapa orang yang berasal dari kelompok minoritas (entah itu secara preferensi seksual, ekspresi gender, ras, kelas, dan lain-lain) marah atau menolak untuk menjelaskan atau mengajari bagaimana struktur ketidakadilan dan opresi bekerja menghajar mereka kepada kelompok mayoritas heteropatriarki ini. 

Lorde sudah fed up 'mengajari' para feminis kulit putih mengenai opresi kelas bercampur seksisme harian yang dialami sebagai perempuan berkulit hitam. Dalam essay-nya yang diberi judul Uses of Anger, Lorde menjelaskan, white feminism nggak bisa dimengerti hanya sebagai jenis feminisme yang diproduksi perempuan kulit putih, tetapi hal itu menjadi alat untuk berasumsi bagaimana seharusnya perempuan kulit hitam diterima dan diakui pengalamannya. 

Lorde bilang, white feminism selalu gagal melihat karya-karya feminis berkulit hitam dan baru mau didengarkan jika pandangannya bisa menopang pendapatnya mereka (di mana itu juga udah pernah dibicarakan, kata Lorde).

Dari beberapa karyanya, aku juga jadi tahu Lorde sering banget marah. Kita diajarkan marah sebagai emosi yang negatif, karena bisa melahirkan kekerasan.Tapi Lorde bilang, "anger can become what we do, yet not all we do." Kemarahan menjadi senjata politis, sebagaimana kita memandang hal itu sebagai sumber daya hidup kita. 

"I kept myself through feeling. If white fathers say 'I think therefore I am', the black mother whispers, 'I feel therefore I can be free'."

Dan menurutku itu hal yang huhu banget. Membaca karya Lorde jadi semacam terapi tersendiri karena aku bisa melihat perasaan  marah, sedih, kesepian, depressed, dan bingung menjadi lebih radikal.  

Sister Outsider 
We Were born in a poor time
never touching
each other's hunger
never
sharing our fear
the bread became enemy.

Now we raise our children
to respect themselves
as well as each other. 

Now you have made loneliness 
holy and useful
now 
your light shines very brightly
but i want you
to know
your darkness also 
rich
and beyond fear. 

Lalu ini, adalah baris akhir dari puisinya yang berjudul Equinox:

Today both children came home from school 
talking about spring and peace 
and I wonder if they will ever know it
I want to tell them that we have no right to spring
because our sisters and brothers are burning
because every year the oil grows thicker
and even the earth is crying 
because Black is beautiful but currently 
going out of style
that we must be very strong 
and love each other 
in order to go on living. 


Di saat kondisi serba mencekam dan penuh ketidakpastian seperti ini, mustahil untuk nggak marah dengan pemerintah yang lelet menghadapi krisis sejak banjir di awal 2020 sampai penyakit viral ini. 

Mustahil untuk nggak marah dengan masyarakat yang membunuh dan tidak menerima transpuan, serta para korban COVID-19. Para korban ini berhak mendapat kematian yang baik dengan ucapan selamat tinggal dikelilingi orang terkasih.

Marah dengan para konglomerat dan pengusaha zalim yang curi kesempatan memotong hak pekerja di tengah pandemik. Nggak terkecuali sedih melihat bagaimana pekerja sektor informal menjadi prioritas akhir bagi pemerintah, padahal 70% pekerja Indonesia diisi oleh mereka. Sedih dengan nasib sendiri yang diombang-ambing kondisi ekonomi dan ketidakpastian masa depan. 

How can I do with my anger and sadness in order to go on living?

Jumat, 03 April 2020

Lanjutan Review "Putih: Warna Kulit Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional" Dua Tahun Kemudian

Sebagai permulaan, tulisan ini sudah ada di draft blog sejak 2018 dan tidak kunjung diselesaikan karena pergulatan dengan laptop tua dan pecutan kerjaan. Walau pembahasan ini masih sangat nanggung, aku tetap keluarkan sekarang sebelum tulisan ini berkoreng koreng 😝.

Post ini adalah lanjutan dari catatan (panjang) soal asal usul hierarki kecantikan di Indonesia dari buku Putih: Warna Kulit Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional karya L. Ayu Saraswati. Karena pemaparannya seru, saya pikir akan lebih baik ditulis sebagai catatan pribadi. Sebelumnya saya menuliskannya di sini

Pembahasan terakhir itu, adalah pembentukan norma kecantikan di zaman Orba yang memakai kiasan spasial. Apa itu kiasan spasial? Kiasan spasial adalah penanda tempat yang ditempelkan untuk memberi perasaan atau kesan tertentu. Nah, dalam pembentukan citra kecantikan, kiasan spasial ditempelkan guna memberi perasaan kalau kecantikan yang hakiki dan superior itu asalnya dari tempat lain. 

terinspirasy dari mbak-mbak di iklan Garnier, by Amalia Nur Fitri, watercolor on paper, 2018.

Di post, terdahulu saya ketemu satu contohnya, yaitu iklan sabun Lux yang dibintangi Widyawati. Di latarnya, ada menara Eiffel dan dalam pesan iklannya (yang panjang banget sampai dua paragraf) tertulis, kira-kira, Widyawati akhirnya menemukan cara ampuh untuk terlihat cantik dan saran dari Paris dengan menggunakan Lux. Singkatnya, Paris ini digambarkan dalam iklan sebagai tempat modern di mana teknologi memutihkan kulit berasal. Secara tersirat tergambar pula kepercayaan Widyawati dengan orang Perancis sebab kecantikan mereka lah yang dianggap paling sempurna.

Dalam pembahasan buku Putih, ini masuk ke dalam pembahasan Bab Putih Kosmpolitan. Secara teoritis, "kosmpolitan" berakar dari kata kosmos yang berarti dunia dan polites berarti warga negara. Aura 'warga negara dunia' dibawa dalam istilah kosmopolitan.

Kalau kata antropolog Steven Vertovec dan sosiolog Robin Cohen, kosmopolitanisme mengacu pada "sesuatu secara bersamaan":

  1. melampaui model negara-bangsa yang tampaknya sudah usang
  2. mampu memediasi tindakan dan ideal yang berorientasi baik pada yang universal maupun partikular, yang global maupun yang lokal
  3. secara kulturan, anti esensialis
  4. mampu merepresentasikan aneka repetoar kompleks dari ikatan, identitas, dan kepentingan. 
Mungkin kalau mau dipersingkat lagi, kosmopolitanisme (sepertinya) juga menawarkan sebuah pengelolaan keragaman budaya dan politik. Kosmopolitanisme juga dianggap memunculkan sebuah imaji akan seseorang yang berpunya alias mereka yang bisa mengklaim diri sebagai 'warga dunia', berkat kemandiriannya, seleranya yang high class dan mihil, dan gaya hidupnya yang bisa menjelajahi bumi. 

Majalah Cosmopolitan dan Kecantikan 'Baru'


Menariknya, citra-citra di atas itulah, yang kemudian dibingkai oleh majalah Cosmopolitan dari segi konsumsinya! Tahu majalah itu tidak? 

sumber: ebooks gramedia

Cosmopolitan adalah majalah perempuan transnasional yang paling populer di Indonesia. Saya sendiri pernah coba-coba mengintip saat masih duduk di bangku SD, lalu diceramahi panjang lebar soal moral dan puber karena ketahuan oleh Tante dan Om. Jadi, majalah ini awalnya terbit di Amerika di tahun 1886 sebagai majalah sastra/fiksi.

Perubahan besar terjadi gila-gilaan di tahun 1965, saat Helen Gurley Brown jadi redaktur barunya. Ohya, dia ini juga pengarang terkenal Sex and the Single Girl. Dia mengambil langkah untuk memutar kemudi fokus majalah ke arah seksualitas perempuan, dengan slogan "fun, fearless, female".

Cosmopolitan hadir di Indonesia September 1997. Ini bisa jadi adalah bentuk terobosan karena mempromosikan perempuan yang percaya diri secara seksual. Walau sempat ditunjuk oleh sebuah organisasi Islam karena dianggap membuat perempuan mencintai seks, strategi marketing Cosmo dengan menjunjung kemandirian perempuan dalam hal seksualitas menjadikannya salah satu majalah tersukses dan populer di Indonesia.

Nah, di sini menarik pula membahas kalau pengadaptasian majalah Amerika ini ikut mengedarkan wacana kecantikan. Peredaran putih dari Amerika ke Indonesia melalui Cosmopolitan, turut mempertahankan nilai pentingnya 'putih' di aras global.

Di sisi lain, seprogresif apapun Cosmo melawan peran gender tradisional perempuan Indonesia ala state Ibuisme Orba, dengan menegaskan kemandirian dan seksualitas perempuan, ia tetap saja menguatkan peran-peran subordinat perempuan.

Buku ini, sudah banyak banget dibahas mendalam dan aku harus tutup sampai di sini. Tabik.

















Selasa, 05 Februari 2019

Mengapa 'Cinta-Cintaan' di Era Modern Sangat Menyebalkan? Saya Mencoba Cari Tahu Melalui Eva Illouz


Kalau pernah nonton serial Hongkong berjudul Kera Sakti atau Journey to the West, pasti familiar dengan tokoh siluman babi bernama Chu Pat Kai (diperankan Wayne Lai). Ada sebuah quotes ikonik yang selalu diucapkannya berbunyi;
"Dari dulu begitulah cinta, deritanya tiada akhir. Kalau deritanya hilang, ingatan yang menyakitkan dan mengerikan tidak akan hilang"
Walau membuat dahi mengernyit, satu hal yang bisa disepakati dari petuah Pat Kai adalah cinta itu menyakitkan. Pernyataan itu berkembang lagi menjadi sebuah pertanyaan, "mengapa cinta menyakitkan?". Eva Illouz, profesor dan sosiolog dari Hebrew Unversity di Yerusalem, juga memiliki pertanyaan yang sama. 


Dalam buku berjudul Why Love Hurts: A Sociological Explanation setebal 293 halaman, Illouz berusaha mencari dan menjabarkan pemikiran seputar ketimpangan cinta. Yang menarik, penelitian awal Illouz bermula dari kultur Freudian yang mendominasi dunia psikologi dan psikiatri. Dalam teori Freud, ketertarikan seksual manusia sangat tepat ditelaah dari pengalaman masa lalu. Ketertarikan seksual kita, menurut Frued, dibentuk saat masa awal kehidupan, terutama hubungan antara kita dengan orang tua.

Mungkin sebagian orang juga sempat familiar dengan ungkapan, pasangan yang kita pilih secara subskonsius mirip dengan orang tua kita. Freudian sendiri bilang, kisah cinta kita itu, merefleksikan bagaimana hubungan kita dengan orang tua. Kegagalan atau rasa sakit yang dialami karena hubungan romantik, tak bisa dipisahkan dari pengalaman psikis individu pada masa kecil. Oke, sampai sini saya mual.

Nah,Illouz berpendapat pengalaman menyakitkan dalam hubungan romantik tersebut (khususnya hubungan heteroseksual), gak bisa dilihat sebagai tanggung jawab individual. Yang salah, bukanlah kehidupan masa kecil yang disfungsional atau kegagalan memahami keadaan psikologis diri, tetapi seringnya disebabkan oleh tekanan dan kontradiksi tatanan sosial budaya yang membentuk identitas dan diri yang modern.

"What is wrong are not dysfunctional childhood or insufficiently self-aware psyches, but the set of social and cultural tensions and contradictions that have come to structure modern selves and indentities" (Hal. 4)

Illouz juga berkata bahwa kita masih hidup di era dimana tanggung jawab individual memegang kunci adiluhung. Hal ini, dikaitkan dengan satu ungkapan di abad 19 yang berbunyi, "kalau kamu miskin, itu tandanya kamu malas atau karena kurang ibadah". Padahal, kemiskinan dibentuk dari eksploitasi ekonomi sistematis. Dan kegagalan hidup tidak selalu disebabkan oleh lemahnya keadaan psikis kita, tetapi karena lika-liku kehidupan emosional kita terbentuk oleh pengaturan kelembagaan (institutional arrangements) yang patrialkal.

Dengan kacamata demikian, Illouz memandang Cinta, seperti halnya Marx memandang bentuk komoditas lain. Menurutnya, Cinta dibentuk dan diproduksi dari relasi sosial konkrit; Cinta punya sirkulasi sebuah pasar, yang berisi aktor-aktor tak setara, karena ketidaksetaraan tersebut, muncul  pihak yang memiliki kapasitas lebih besar untuk mendefinisikan dirinya lebih dicintai daripada orang lain.

Illouz juga menyebut dirinya memandang cinta sebagai bentuk previlese untuk memahami proses modernitas. Hmm, di sinilah saya tertarik dengan idenya.

Illouz banyak mengambil contoh dari karya-karya sastra klasik modern Barat, beberapa di antaranya Wuthering Heights, Poor Folks, Indignation, dan lain-lain, untuk menggambarkan peristiwa nahas karena cinta. Menurutnya, penggambaran dari karya sastra modern tersebut, menggambarkan bagaimana Eropa Barat menyanjung bentuk-bentuk romantisisme, kejantanan, dan sopan santun laki-laki sebagai standar ideal pasangan. Sebaliknya, kelemahan perempuan diglorifikasi dan diakui, sebagai karakter yang menarik dan didambakan.

Inferioritas perempuan secara sosial, lantas ditukar dengan kesetiaan laki-laki, dimana laki-laki bisa menunjukan maskulinitas, kecakapan, dan kehormatannya. Kelemahan perempuan secara sosial dan kekuatan sosial laki-laki, diagungkan dan diromatisir dalam sastra modern, menjadi sifat-sifat manis, seperti protektif, lembut, dan gentle.

Dalam konteks masanya, perempuan selain memiliki inferioritas secara sosial, juga memiliki keterbatasan dalam hak-hak politik dan ekonomi. Dengan keberadaan laki-laki, mereka bisa mendapat kompensasi berupa perasaan dicintai sekaligus diagungkan dalam status moral  sebagai ibu, sebagai perawat orang lain, sebagai istri, dan lain-lain. Ketimpangan sosial dikaburkan dengan cara tersebut, dan secara historis cinta sangat seduktif karena menutup atau mempercantik ketimpangan mendalam pada relasi gender.

Masa modern pasca Perang Dunia I perlahan mengubah "pasar cinta". Illouz melihat dalam empat dekade terakhir, hubungan romantik heteroseksual mengalami radikalisasi kebebasan dan kesetaraan, selaras dengan keterpisahan antara seksualitas dan emosi.

"Heterosexuals romantic love, contains the two most important cultural revolutions of the twentieth century: the individualization of lifestyles and the intensification of emotional life projects; and the economization of social relationships, the pervasiveness of economics models to shape the self and its very emotions. Sex and sexuality became disentangled from moral norms  and incorporated in individualized lifestyle and life projects, while capitalist cultural grammar has massively penetrated the realm of heterosexual romantic relationships." (Hal.9)

Jujur sajah, this book is not an easy read for me. Tapi sangat menarik dan seru banget karena Eva Illouz berusaha merancang ulang makna hasrat romantis (dalam hubungan hetero only), ironi, kultur hiperseksualitas dan lain-lain yang tercamput aduk melalui kacamata sosiologi-marxisme-feminisme.

Dari banyak konsep romansa yg ditawarin, Illouz jelasin ada cinta romantis rasional. Kata dia, cinta yang mengandalkan rasionalitas akan bersandar pada regulasi diri dan pilihan optimal, agar terhindar dari rasa sakit hubungan romantis. Dari titik itu, dia juga mengupas prototipe kultur cinta yang kebanyakan misoginis. 

Jadi, kenapa cinta begitu menyakitkan? ( malah balik nanya).