Jumat, 27 November 2015

"Kita Semua Buruh!" Membicarakan Buruh Setelah Gajian Pertama Kali

Saya gak akan membahas teori a, b, c mengenai ekonomi. Apalagi membahas mengenai beberapa prediksi mengenai ketahan perekonomian NKRI terkait peraturan perundangan PP no 78 mengenai buruh. Fokus saya di sini ingin memberi alteratif pandangan lain mengenai demo buruh yang terjadi pada tanggal 24-27 November 2015. 



Bisa jadi, pandangan saya ini juga bersinggungan dengan pengalaman bahwa saya dan dua adik kembar saya bekerja sebagai buruh. Saya hanya tidak habis pikir dengan sekelompok manusia yang memaki dan mengecilkan usaha buruh melalui demo dan perjuangan selama tiga hari ini. Bahkan lucu dan bodohnya, saya menemukan sesama buruh menyinyir perjuangan teman-temannya untuk turun ke jalan. Apakah mereka tidak tahu mereka itu juga buruh? Tapi sebenarnya, apa sih pengertian buruh itu?

Menurut wikipedia, buruh adalah tenaga kerja, karyawan atau pekerja berupa manusia yang mengguakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan, baik berupa uang maupun bentuk lainnya dari pemberi kerja, pengusaha, atau pun majikan. 

Intinya adalah, selama Anda tidak memiliki dan menguasai alat produksi sendiri, dan menerima upah dari tenaga yang dikeluarkan, maka Anda adalah buruh. Anda yang bekerja di perusahaan mulitansional dan gedung-gedung pencakar langit Jakarta, jika Anda demikian, maka Anda juga buruh. Anda hanya memakai baju berkerah, berkancing, bergincu, dan berpantofel saja. Kita semua buruh.

Aksi buruh dari tanggal 24-27 November kemarin adalah untuk menuntut dicabutnya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Peraturan tersebut dinilai tidak adil, karena perwakilan buruh tidak dihadirkan dalam pembahasan tersebut. Yang terlibat hanya perwakilan dari pengusaha dan pemerintah (biasanya yang hadir adalah bupati atau walikota), sedangkan perwakilan dari buruh tidak dihadirkan sama sekali. Peraturan ini juga mengancam UMR yang selama ini sudah  berlaku di beberapa kota, bahkan ada kemungkinan untuk turun. UMR akan dipukul rata senilai Rp. 2.050.000,-.

Tentu saja hal tersebut bermasalah, karena kebutuhan dasar di tiap daerah akan berbeda nominalnya. Kenapa UMR sebesar (kira-kira) Rp. 2.000.000-an di daerah Surabaya sudah cukup karena memang nilai itu sudah cukup untuk kebutuhan di Surabaya, dan tentunya akan berbeda di kota lain. Ini penjelasan lebih lanjut mengenai demo buruh 24-27 November

Selebih itu, kita harus malu karena tanpa harus berpanas-panasan di jalan dan berdemo, kita sudah bisa menikmati perjuangan mereka. Kebijakan seperti UMR, fasilitas kantor, cuti, cuti hamil, cuti haid, 8 jam kerja, THR, dan hari libur nasional bisa didapatkan karena usaha mereka turun ke jalanan. Hal-hal yang kamu nikmati berkat perjuangan teman buruh yang lain

Masihkah kamu merasa tidak mau disamakan oleh buruh? 

Adalah hal yang sangat menyedihkan bila kamu tidak peduli dengan perjuangan mereka, terlebih lagi jika kamu malah menyindir karena macet yang harus kamu lalui. Kamu harus ingat bahwa ketika kamu menyinyir mereka dari dalam kantor tinggi yang nyaman, kamu turut menikmati pula perjuangan mereka. 


B

Kamis, 05 November 2015

Marketing, Sayang Anak, dan Biskuit Basi

Sejak beberapa hari lalu, saya harus mulai mengubah kebiasaan untuk bangun pagi. Bersiap-siap, lalu pergi berdesakan di bawah naungan ketek para buruh perusahaan di kopaja atau kereta. Menghabiskan waktu lima jam di perjalanan membuat saya sering berpikir tentang kesia-siaan. Dalam lima jam, saya bisa membuat setidaknya satu lukisan jadi secara utuh, membaca beberapa ratus halaman, atau setidaknya menghapal lirik lagu-lagu Big Bang yang baru-itu tidur. Tapi yang terjadi hanya berdiri terpekur melihat kemacetan berkilo-kilo meter dan curi-curi pandang obrolan orang lain di aplikasi messanger-nya. Ya, saya se-creepy itu.

Menghadapi pekerjaan baru ada keasyikan tersendiri. Saya suka dengan apa yang dikerjakan. Namun, di sisi lain, saya menyadari satu hal. Suka menulis dan membuat tulisan menarik adalah dua hal yang sangat berbeza. Tapi kali ini, saya mau membahas ranah marketing yang saya hadapi, bukan soal saya becus nulis atau enggak, tapi analisa ompong tentang konsumerime. Jadi, tolong dipisahkan saja, ehem. 

Di marketing, suka atau enggak, kita harus mengajak orang lain untuk menjadi konsumtif. Jaya Suprana pernah mengatakan bahwa ilmu marketing mengembangkan pengertian konsumen menjadi pembeli produk, jika orang tersebut berkali-kali menggunakan atau mengkonsumsi produk atau jasa tertentu, berarti dia adalah pelanggan (customer). Jadi dalam marketing, ada pembeli, pelanggan, dan penjual.

Menariknya lagi, selain tiga kategori di atas, ada lagi istilah, yang disebut oleh Jaya Suprana dengan konsum-teroris. Konsum-teroris ini adalah golongan homo-economicus yang belum tentu seorang, pembeli, pelanggan, atau penjual. Tapi, sosok informal-nya sangat sangat vital. Konsum-teror ini bergerak secara gerilya dalam sepak terjang konsumtif. Golongan ini dipegang oleh kaum yang sering dianggap sepele, yaitu anak-anak! Kita bisa lihat berbagai iklan dari produk atau jasa tertentu yan memakai anak-anak di dalamnya. Dari otomotif, sandang, pangan, papan, obat-obatan, kosmetik, sampai iklan pariwisata pasti ada anak-anak.


Iklan mobil Evalia (credit to:www.nissanbarupromo.com)

Konsep iklan yang bagus memang harus menyentuh target secara emosional, lalu direlasikan secara paksa oleh logika. Dalam strategi pemasaran, rasa bersalah merupakan konsep ampuh untuk membidik sasaran pembeli maupun calon pelanggan. Kembali lagi ke iklan, jika kita lihat iklan mobil terbaru, pasti kita mendapati ada anak-anak di sana. Anak-anak tertawa riang, tidur pulas, atau bercanda gurau di dalam mobil yang lapang dan nyaman. Mobil atau otomotif yang sudah jelas sasaran pembelinya bukan anak-anak, malah semarak membuat iklan seperti itu. Iklan itu dibuat apalagi kalau bukan untuk berkata, "Ayo, beli mobil ini untuk anak-anak Anda!", dan pada akhirnya, pemasar akan menteror nurani konsumtif orang tua dan melahirkan rasa 'bersalah'. Rasa 'bersalah' inilah mengahdirkan rasa dosa orangtua jika mereka tidak berhasil mengabulkan permintaan apapun dari anak-anaknya. Hal ini tidak hanya terjadi pada produk otomotif, tapi juga produk atau jasa lain.

Ini juga adalah buah analisis yang sangat disederhanakan. Maaf ya, memang tujuan saya dari awal adalah berbagi ide saja hehe. Tapi, dengan mudahnya orangtua mengabulkan permintaan anak-anaknya yang tidak relevan atau bahkan tidak perlu, akan melahirkan pula generasi konsumtif liar. Pengaruh anak-anak ini sangat kompleks, karena perilaku orangtua secara tidak langsung juga melanggengkan konsum-teror. Ya, memang, sih, perilaku konsumtif itu adalah bagian hakiki dari mekanisme pasar. Jika tidak ada perilaku konsumtif, semua perilaku produktif akan bertepuk sebelah tangan. Tidak akan ada produsen yang mampu bertahan tanpa adanya konsumen.Tapi, segala hal yang berlebihan juga tidak baik. Sikap konsumtif berlebihan, ngawur, enggak sadar realita akan kebutuhan dan manfaat produk, akan menjadi ancaman bagi kesejahteraan individu atau masyarakat.

Yang saya amati dari pengalaman cetek ini, perilaku konsumtif adalah perilaku sosial. Perilaku sosial adalah tanggung jawab dari budi pekerti. Anak-anak harus dididik dan dibina untuk berperilaku konsumtif secara terkendali secara mental, yakni sadar atas kebutuhan secara tepat! Tidak cuma anak-anak, kita juga harus mulai mampu melepaskan diri dari belenggu perilaku sok-gengsi. Sok-gengsi itu pupuk penyubur perilaku konsumtif !!!

Begitulah sekelumit analisis saya mengenai pembudidayaan sikap konsumtif. Jika tepat lahan, pupuk, dan musimnya, niscaya, pribadi kritis, selektif, waspada, dan bijaksana akan berkembang. Sekian, saya harus keluar membeli diapet sebelum warung tutup  segera tidur.