Sebagae orang sok penting nan sok tahu, saya mau ikut berkomentar ria perihal dua kejadian yang sedang 'hot-hot-nya' dibicarakan di (ex) kampus saya. Coba kita kupas soal yang pertama, yaitu mengenai kegiatan SGRCUI (Support Group and Resource Center on Sexuality UI).
Saya memang bukan bagian dari SGRC sama sekali. Tapi saya tahu keberadaan mereka, saya tahu apa yang mereka coba perjuangkan, dan apa yang jadi concern mereka, yaitu merangkul minoritas yang ditindas masyarakat karena orientasi seksualnya, dan juga memberi konseling terkait LGBTQIA. Yang jadi masalah adalah, ketika komunitas ini menyelenggarakan seminar pendidikan seksualitas di UI dan juga promosi grup mereka di UI. Banyak jarkom menyebar dengan judul provokativ "DUKUNG UI MEMERANGI LGBT". Teman saya di kantor (yang juga alumni UI) tiba-tiba datang dengan wajah asem, berujar "SGRC ini apaan sih? seenaknya pake lambang UI. Emang udah dapet ijinnya??". Ia lalu menunjukan status temannya di Path yang berbunyi "Ini nih, kalo ada yang ketemu mereka di UI, jewer kupingnya. Bilangin, tobat lu tong".
Reaksi homofobik yang begitu deras datang ketika SGRCUI mempromosikan kegiatan positif mereka di UI dan website gubahannya yaitu, http://melela.org/. Mereka diserang karena pakai nama UI, yaiyalah itu karena pendirinya mahasiswa UI. Nama UI dipakai untuk menunjuk unsur tempat atau geografis, yaitu di Universitas Indonesia. Lalu, komentar "pakai lambang UI, emangnya udah dapet ijinnya?". Lah, komunitas ini bukannya sudah lama ada di UI? Komunitas ini juga sering mengadakan acara seminar mengenai kajian gender, anak, dan pencegahan pelecehan seksual, dll,yang memakai fasilitas UI, jadi acara mereka disetujui oleh UI. Ditambah, saya juga pernah lihat profil komunitas ini di buku BKUI tahun jebot. Itu, menandakan bahwa komunitas ini diakui berada di bawah naungan UI, mereka juga punya pusat studinya, kok di UI.
Saya kecewa sekali, melihat tanggapan pejabat UI menanggapi reaksi homofobik ini. Mereka mengklarifikasi bahwa SGRC ini tidak punya izin resmi sebagai pusat studi/UKM di tingkat fakultas atau UI, jadi penggunaan logo UI tidak diperbolehkan dalam segala bentuk aktivitasnya. Sungguh, rasanya sangat kecewa. Kampus dan dialektika kritik rasional itu harga mati. Kampus mestinya jadi tempat yang terbuka untuk segala bidang ilmu dan segala budaya akademis. Selain itu, kampus mestinya menjadi rumah untuk seseorang dapat diterima dan belajar, terlepas dari label apapun yang menempel oleh seseorang.
Menanggapi LGBTQIA sendiri, saya sebenranya tidak pernah memandang itu sebagai hal yang spesial. Karena, saya sendiri tidak mempermasalahkan apapun dari orang yang mencintai, mereka sama saja dengan saya yang punya preferensi mayoritas, hanya bedanya kepada pilihan subjeknya saja. Eh, malah semakin tidak ada bedanya, toh. Kita bisa tertawa melihat orang berhubungan seks dengan pohon atau orang yang menikahi peri, ini melihat orang saling mencitai kok ketar-ketir? Melihat LGBTQIA, tidak bisa dipandang sebatas, suka-tidak suka, setuju-tidak setuju, hal tersebut nyata terjadi di masyarakat kita, mereka ada, jadi tidak perlu memungkiri. Pendapat seperti itu tidak akan mempengaruhi realitas objektif yang ada.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, concern dari komunitas ini adalah memberi konseling. Buat kamu-kamu yang galau ditindas hanya karena preferensi seksual yang tidak mainstream, bisa datang ke SGRC dan curhat. Kalau niat positif itu dibelenggu, lantas harus kemana orang-orang ini membagi atau mengatasi masalahnya? mereka tidak mungkin datang ke Felix Siauw, kan.
32 Mahasiswa Sastra Arab Terancam Gagal Lulus
Kealayan kampus tidak berhenti di situ saja. Manajemen perkuliahan yang bobrok di FIB UI, menyebabkan 32 mahasiswa sastra Arab gagal lulus. Kaprodi-nya memberi pernyataan bahwa hal ini terlalu dibesar-besarkan, bisa diselesaikan secara internal. Menurut dedek junior di kampus, audiensi sudah dilakukan dan hasilnya tidak ada solusi. Keputusan apakah mereka bisa dapat lulus atau tidak, akhirnya bergantung pada rektor.
Banyak sekali pihak yang nyinyir dengan masalah yang menimpa mereka. Mungkin karena mereka anak-anak yang mengambil kuliah 3,5 tahun. Tapi hey, kalau kamu sendiri yang mengalaminya, saya yakin pasti habis air matamu menangisi nasib. Terlepas dari komentar miring anak-anak yang iri dengki karena mereka tidak bisa lulus dalam waktu 3,5 tahun, saya pikir kita tetap harus dukung mereka. Dengan memberi dukungan (apapun bentuknya) kita sadar bahwa ada ketidakadilan. Kebobrokan manajemen perkuliahan yang sering terjadi harus diubah. Jika kita diam saja, hal tersebut malah jadi lumrah.
Saya juga kecewa sekali dengan respon dari beberapa teman dan junior, yang menolak membantu. Alasan yang dikeluarkan tidak kalah norak, intinya tidak mau terjadi hal-hal buruk yang menimpa karena mereka juga mau lulus tahun ini. Ah, those bitches.
Ada pula yang berkomentar, 'jika publik tahu kalau manajemen studi di FIB UI jelek, lalu bakal jadi membaik? kecuali kita punya kekuatan yang besar untuk melawan'. Cih, ongol-ongol seperti itu yang seharusnya kita libas. Justru dengan kritik, terbukti perbaikan terjadi di kampus. Yang perlu diingat sekali lagi kawan, kampus UI secara perlahan namun pasti sedang mengukuhkan diri menjadi teknokrat. Banyak sekali kebijakan yang dibuat tidak untuk memudahkan mahasiwa untuk belajar atau menjadi kritis, sebaliknya membuai dengan layanan-layanan berbau konsumerisme secara terang-terangan di kampus. Secara perlahan pula, akan membuai mahasiswa menjadi apatis, hanya peduli terhadap kinfolk cafe. Semestinya, pendidikan tinggi yang kita jalani bertahun-tahun dengan biaya yang tinggi ini, menjadikan kita sadar terhadap keadaan sosial kita juga.
Mungkin saya masih bisa menerima alasan yang (menurut mereka) bijak, untuk membantu dengan cara yang lain. Tapi tidak dengan alasan takut dijerat UU ITE, takut terkena masalah, susah cari kerja, susah cari pacar. Lebih baik, tidak usah kuliah saja sekalian, kok seperti itu respon yang diberikan ketika melihat korban dari kebobrokan fakultas kalian?
Tunggu saja saya akan buat GafatarUI.