Semakin hari, topik pembahasan mengenai LGBT semakin marak. Di media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, Line, dan lain-lain, orang-orang berlomba-lomba membagi berita atau menyerukan pendapatnya. Dan seperti yang sudah di dalam kandungan bisa kita tebak, poros ini terbagi dalam pro dan kontra.
Haruskah kita mengambil posisi untuk menyatakan sikap kita terhadap pemberitaan LGBT ini? Saya pernah menulis di post terdahulu kalau topik ini tidak terlalu penting menurut saya, karena saya tidak memandang adanya perbedaan yang berarti dari LGBT ini dengan saya sebagai hetero dalam hal mencintai. Tetapi, melihat banyaknya fitnah dan kedunguan tak berujung, saya pikir kita bisa membantu meluruskan atau setidaknya mengurangi polusi berita-berita yang beredar. Menolak segala bentuk penindasan yang dilakukan terhadap minoritas itu harus selalu dilakukan. Kali ini saya ingin membahas baik dari respon masyarakat serta apa yang mendasarinya mengenai LGBT.
gambar didapat dari jflag.org |
Karena saya lumayan aktif bermain Facebook, saya cukup familiar dengan status-status mayoritas teman yang bersuara mengenai LGBT ini. Tema ini menyeruak hangat dibicarakan tidak hanya di media sosial tetapi juga pertelevisian. Menurut saya, sejak kasus SGRC UI beberapa waktu lalu, isu LGBT perlahan tapi pasti ramai dibicarakan. Mayoritas dari mereka membuat bingkai berita yang menjatuhkan, seperti menyebut kelompok LGBT adalah sekte seks (I laughed my lungs out when I read this term), kegiatan yang haram, harus diperangi, disuruh untuk bertaubat dan disembuhkan, dan lain-lain. Tetapi sebenarnya, dari beberapa pernyataan, kita bisa lihat bahwa bentuk penerimaan dan penolakan masyarakat terhadap isu LGBT ini juga beragam. Ada yang sama sekali menolak dengan memakai dalih agama, ada yang menerima dan mengharuskan LGBT ini bertaubat dan disembuhan, ada yang menerima tetapi menolak mendukung legalitas perkawinan LGBT karena dalam agama apapun tidak ada sejarahnya, dan ada yang menerima secara pergaulan sosial.
Benang merah paling jelas yang menghubungkan semuanya ada di dalih agama yang dipakai. Baik masyarakat menengah atas ataupun bawah, memakai dalih agama sebagai cara berpikir rasional ketika dihadapkan dengan isu LGBT ini. Walaupun datang dari kelas yang berbeda, namun mereka memiliki dasar pegangan yang sama. Nah, terlepas dari beragam berbagai ekspresi menolak, saya menemukan lagi pertanyaan dari kaum yang anti LGBT ini. Mereka mempertanyakan perlakuan diskriminasi seperti apa yang dihadapi oleh LGBT. Contohnya ada di post Facebook satu ini. Sekali lagi, simbol yang berhubungan dengan agama dipakai sebagai perbandingan. Penulisnya membedakan diskriminasi yang terjadi terhadap muslimah yang berhijab tertutup, lalu mempertanyakan apa beban yang sudah dialami oleh LGBT. Mungkin si penulis belum pernah membaca atau menemukan Berita banyaknya pembunuhan yang terjadi pada LGBT. Diskriminasi yang dialami datang, yang satu karena memakai simbol yang bisa langsung terlihat sedangkan yang lain tidak. Tetapi, yang saya pelajari lagi (terlepas benar tidaknya tulisan yang dibagi oleh penulis di Facebook ttg hal itu), ternyata walaupun sama-sama tertindas, tidak lantas membuat orang menjadi memahami penindasan yang dialami oleh orang lain. Sehingga alih-alih mendukung, malah membandingkan penindasan mana yang paling parah diterima oleh suatu pihak. Seakan-akan menunjukan perangai 'aku-yang-lebih-menderita' atau playing victim.
Nah, saya tidak akan menangkis pandangan tersebut dengan argumen lain. Saya mau membahas dalih yang mendasari argumen para anti LGBT ini, yakni mayoritas agama. Kita juga tahu, bahwa dalam agama apapun LGBT ini diharamkan oleh agama. Tetapi tunggu dulu, apa yang diharamkan? orangnya kah? perilaku seksualnya kah? atau afeksi yang dilakukannya kah? Coba buka tautan ini untuk lebih jelasnya. Lewat fiqih atau hukum islam, LGBT dipandang secara konservatif. Sejauh ini yang dilarang merupakan liwath' atau aktivitas bersenggama yang dilakukan oleh pasangan gay. Karena memang secara kesehatan kegiatan dengan cara demikian akan membawa banyak penyakit dan kuman. Tetapi, sebenarnya, kegiatan seks dengan cara demikian tidak hanya dilakukan oleh pasangan gay saja. Hetero juga banyak yang melakukannya. Jadi sebenarnya, pesan yang turun ini tidak hanya berada dalam konteks diturunkan untuk kaum gay, namun sebagai peringatan kepada siapapun yang menganut orientasi seksual apapun untuk tidak melakukan kegiatan seks secara anal. Nah, apakah kamu bisa mencintai tanpa mengaharpkan seks? Itu persoalan lain, ya. Dan yang lainnya, karena pernikahan sejenis tidak diperbolehkan, maka kegiatan seksual mereka dinilai sebagai zina. Yah, ini juga berlaku pada yang hetero, kan. Kalau belum terikat pernikahan maka kegiatan seksual yang dilakukan (baik homoseks atau heteroseks) adalah zina. Lalu, bagaimana menyingkapi kaum LGBT? ah, repot sekali, terima saja mereka. Kenapa harus repot memikirkan hidup orang lain? Kenapa pula harus takut? Saya kenal dengan seorang gay yang relijius, ia memilih single dan mengadopsi anak perempuan. Sekarang ia bahagia menjadi single father. Thats it. Dia masih beribadah ke gereja dan berdoa, keluarga menerima.
Dalil agama yang menjadi pegangan para anti-LGBT bisa kita lihat dalam kacamata politis, lho. Isu LGBT ini seakan pas mengisi kekosongan masyarakat dalam hal mencari 'musuh bersama'. Setelah kubu Prabowo dan Jokowi mulai lenyap secara perlahan, isu LGBT seakan menjadi kapal baru untuk ditumpangi. Pemahaman masyarakat terhadap isu ini juga sangat rendah, mereka kebanyakan tidak mengenal perbedaan orientasi seksual dan penyimpangan seksual. Ketika dihadapkan oleh suau fakta, tidak akan diterima dan coba untuk diolah sama sekali. Mereka hanya mau membaca atau menerima hal yang sama dengan apa yang dipercayai. Tidak akan ada perkembangan. Terlebih ketika pemerintah ikut bermain di dalamnya, media pun ikut serta. Seolah, isu LGBT ini memang mempersatukan kita antar-ras, agama, budaya, sistem ekonomi dan lain-lain. Persis ketika zaman dahulu, ketika isu Cina, Asing, Komunis, didengungkan untuk membakar emosi untuk menyerang 'musuh bersama'. Setelah tidak lagi ampuh, maka LGBT kini menempati topik. Seperti yang Tom Bellstroff pernah bilang, isu anti-LGBT di Indonesia merupakan suatu petunjuk bahwa ideologi militeristik, fasisme, maskulinitas, dan patriarki mulai terancam. Jadi, walaupun benci setengah mati untuk mengakuinya, kita bisa bilang bahwa negeri kita masih kuat memegang ideologi demikian.
Jadi, apa yang sebenarnya mau saya bahas? hahaha. Well, saya ingin melihat isu LGBT ini dari sudut pandang ketiga. Saya ingin tahu mengapa masyarakat begitu intens menaruh perhatian terhadap masalah ini. Karena, ini adalah isu kelas menengah, di mana mereka terpapar oleh pemberitaan dari media luar negeri tentang pernikahan sejenis. Baik anti LGBT dan pro LGBT akhirnya bereaksi sehingga akhirnya meluas, ditambah dengan permasalahan yang pernah menimpa SGRC UI beberapa waktu yang lalu. Saya hanya ingin menambahkan, bahwa dalih agama yang menjadi pegangan paa anti LGBT ini pada akhirnya jauh dari kata toleransi. Seruan kebencian diperlihatkan dan mendapat dukungan. Ini bisa jadi menunjukan bahwa krisis kepercayaan terhadap sebuah rezim (dalam hal ini, pemerintahan Jokowi) sudah merosot, sehingga akhirnya para konservatif mencari kembali 'musuh bersama' untuk kembali bersatu.
Akhir kata saya berdoa agar kita senantiasa dijauhkan dari segala bentuk kedunguan, kesempitan hati dan pikiran, amin.
ucla.org |