Menjaga supaya nggak bertambah bosan, di tengah keseharian yang sudah membosankan, saya beralih membaca lagi literatur klasik.
Untuk mendapatkan buku-buku tersebut sekarang sudah nggak lagi susah, atau harus ke penjual buku di daerah Senen atau pesan dulu di Barel UI. Di Gramedia, koleksi buku sastra dunia ternyata lumayan cihuy.
Dari situ, saya pilih cerita dari Ryonosuke Akutagawa dengan judul Kappa. Pilihan ini jatuh jelas karena halamannya paling tipis (aku pemalas profesional) dan profil singkat penulis yang tertera di punggung buku buat saya penasaran. Dia seperti tipe penulis bertipe nihilis yang menggemari satir, I could already felt his bitterness towards the world (sotoy). Menebak kalau Akutagawa punya arus negatif yang deras dan sok tahu mati-matian, saya pilih Kappa.
Ternyata, hanya cukup waktu 1 jam saja untuk menghabiskan Kappa. Entah karena bukunya sangat tipis (kurang dari 100 halaman saja!) atau memang ceritanya sangat seru sehingga saya tidak berhenti sebentar pun, atau memang bisa jadi karena keduanya. Terlepas dari itu, berkenalan dengan Akutagawa lewat karyanya yang satu ini sangat asyik.
Secara garis besar, Kappa berkisah tentang pasien Rumah Sakit Jiwa yang mengaku bertemu dan tinggal di negeri para Kappa. Pernah tahu atau dengar tentang Kappa sebelumnya? Kalau mencari gambarnya di Google, Kappa kira-kira berwujud seperti ini:
Gambar diunduh dari www.scaryforkids.com |
Dalam mitos tradisional Jepang, Kappa adalah siluman yang tinggal di daerah sungai. Bentuknya kurang lebih ya seperti di gambar di atas. Mereka tngginya seperti anak umur 10 tahun, tubuhnya dilapisi lendir, kepalanya berbentuk cekung mangkok, dan berparuh. Jadi, si tokoh Aku terjebak di negeri Kappa selama beberapa lama. Dan dalam kurun waktu tersebut, ia berkenalan dan hidup bersama Kappa-Kappa. Hingga si tokoh utama belajar bahasa Kappa sampai fasih (yang menurut saya mendekati bahasa Perancis).
Di negeri Kappa, teknologi sudah jauh lebih efisien dan maju. Pembangunan dan Sumber Daya Alam membuat mereka berkecukupan untuk sebuah bangsa. Mereka sama saja seperti manusia. Ada yang berprofesi sebagai pengusaha, penyair, mahasiswa, dan lain-lain. Agama yang dianut pun, ada yang menganut Kristen, Islam, Hindu, Budha, dan Shinto. Yang berbeda, Kappa mengenal agama Modernisme atau pemujaan hidup. Menarik sekali ketika si tokoh utama dibawa berkeliling ke tempat peribadatannya, yang merupakan gedung mewah dan megah di kota Kappa. Pemuja hidup ini menyembah pohon yang diletakan di altar.
Tidak hanya itu, agama Modernisme ini memiliki nabi-nabinya sendiri yang lucunya bukan berasal kaum Kappa, melainkan kaum manusia. Sang tokoh utama, mengenalinya sebagai Tolstoy, Nietzsche, Doppo Kunikida, Wagner, dan Strindberg.
Cerita berakhir ketika sang tokoh utama ingin kabur dari dunia Kappa tersebut, dengan bantuan Kappa bernama Bag yang berprofesi sebagai nelayan. Kappa bernama Bag, dikenal sebagai Kappa yang sudah 'merdeka' dalam hidup karena lepas dari semua keinginan bersifat keduniaan dan hidup secukupnya dengan tenang dan damai.
Setelah kembali ke dunia manusia, si tokoh utama juga mengalami penyesuaian kembali. Menurutnya, hidup di dunia Kappa jauh lebih mudah, manusia lebih jahat. Ia menjadi takut dan sangat membenci manusia. Si tokoh utama bercerita, setia malam Kappa-Kappa tersebut setia menemui dan menemainya sepanjang malam di rumah sakit. Ia juga bercerita dibawakan bunga dan berbagai kado oleh Kappa. Nah, oleh si dokter jiwa hal tersebut dicatat sebagai delusi si tokoh utama, karena ia tidak menemukan dan melihat apapun yang diceritakan oleh si tokoh utama (Di bagian akhir ini saya teringat juga ending dari salah satu cerita pendek Haruki Muakami berjudul Super Frog Saves Tokyo).
Menganalisis dari berbagai sudut pandang, mudah saja dilakukan pada cerita pendek Kappa ini. Mulai dari kritik sosial bahkan mungkin penggambaran diri sang penulis sendiri. Atau mungkin juga merupakan penggambaran cita-cita masyarakat nihilis ideal versinya. Menyingkirkan analisis yang berteori-teori yang rumit (saya pemalas profesional (2)), saya sangat menikmati Kappa. Ini adalah buku yang buat saya terbahak untuk pertama kali, setelah sekian lama (kurang hiburan).
Sangat seru melihat bagaimana simulakra ala Akutagawa berlangsung di dunia Kappa. Mulai dari menyaksikan bahasa mereka, budaya, hukum, undang-undang yang berlaku, hingga sistem moral yang ada. Dia sengaja membuat kita menjauhkan dan langung membedakan diri dengan para Kappa. Tapi semakin lama, sebetulnya Kappa adalah manusia itu sendiri.
Buku ini bisa jadi bahan dongeng untuk anak-anak SD, begitu pikir saya.
Setelah kembali ke dunia manusia, si tokoh utama juga mengalami penyesuaian kembali. Menurutnya, hidup di dunia Kappa jauh lebih mudah, manusia lebih jahat. Ia menjadi takut dan sangat membenci manusia. Si tokoh utama bercerita, setia malam Kappa-Kappa tersebut setia menemui dan menemainya sepanjang malam di rumah sakit. Ia juga bercerita dibawakan bunga dan berbagai kado oleh Kappa. Nah, oleh si dokter jiwa hal tersebut dicatat sebagai delusi si tokoh utama, karena ia tidak menemukan dan melihat apapun yang diceritakan oleh si tokoh utama (Di bagian akhir ini saya teringat juga ending dari salah satu cerita pendek Haruki Muakami berjudul Super Frog Saves Tokyo).
Menganalisis dari berbagai sudut pandang, mudah saja dilakukan pada cerita pendek Kappa ini. Mulai dari kritik sosial bahkan mungkin penggambaran diri sang penulis sendiri. Atau mungkin juga merupakan penggambaran cita-cita masyarakat nihilis ideal versinya. Menyingkirkan analisis yang berteori-teori yang rumit (saya pemalas profesional (2)), saya sangat menikmati Kappa. Ini adalah buku yang buat saya terbahak untuk pertama kali, setelah sekian lama (kurang hiburan).
Sangat seru melihat bagaimana simulakra ala Akutagawa berlangsung di dunia Kappa. Mulai dari menyaksikan bahasa mereka, budaya, hukum, undang-undang yang berlaku, hingga sistem moral yang ada. Dia sengaja membuat kita menjauhkan dan langung membedakan diri dengan para Kappa. Tapi semakin lama, sebetulnya Kappa adalah manusia itu sendiri.
Gambar diunduh dari www.bukalapak.com |
Buku ini bisa jadi bahan dongeng untuk anak-anak SD, begitu pikir saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar