Saat pertama kali menemukan buku ini, saya berpikir jika bahasannya pasti akan mudah berelasi dengan pengalaman sebagian besar perempuan. Tentu tak hanya perempuan Indonesia saja, mungkin juga dengan sebagian besar perempuan di muka bumi, wk.
Memasuki masa adolescent, remaja putra apalagi putri, biasanya mulai sangat sadar dengan penampilan tubuhnya. Rasa nggak pede hadir dan menggerogoti badan, kadang bertambah parah saat mulai naksir-naksir anak orang (masalah percintaan). 'Beban' untuk selalu tampil cantik lantas dipikul dan jadi tugas yang entah kapan bisa selesai. Usaha menjadi chakep dengan punya kulit terang pun dilakukan. Nah, produk-produk kosmetik pemutih kulit yang bejibun jenisnya di pasaran, sudah menunggu-nunggu buat dipilih.
Tak jarang juga, usaha ini dilakukan supaya lebih mudah masuk ke bursa kerja, sebab kriteria 'berpenampilan menarik' memang dekat diartikan dengan punya kulit terang. Media-media (yang hampir semua terobsesi juga dengan penampilan perempuan), baik tulis, cetak, radio, televisi, serta lingkungan sosial (misalnya keluarga atau pertemanan), juga kerap berbicara dan menggambarkan bagaimana (penting dan) mudahnya kehidupan bagi orang-orang cantik berkulit terang.
Lihat saja iklan yang pernah dibuat Pond's berjudul Love Conquers All yang dibuat beberapa tahun lalu itu. Kulit putih nan cantik, bahkan digambarkan mampu menggagalkan upaya penggusuran! Kurang spektakuler apa cobak.
Dalam beberapa kasus, obsesi punya kulit putih ini juga sangat membahayakan. Vice pernah mencatat, kalau bisnis memutihkan kulit seperti skin bleaching (pemutihan kulit), pengelupasan kulit dengan zat kimia, laser, krim, losion, obat, sampai suntik putih bisa mendatangkan resiko kesehatan yang nggak main-main. Hal terburuknya, kena kanker kulit atau gagal ginjal. Mungkin bagi orang yang punya kemampuan finansial mumpuni, merawat kulit dengan bahan-bahan aman sembari ditangani dokter profesional mudah saja dilakukan. Tapi bagaimana dengan mereka yang datang dengan kemampuan ekonomi pas-pasan dan mencekik?
Usaha keluar dari lingkaran kemiskinan dengan pekerjaan bagus, mau tak mau menceburkan mereka ke bahan-bahan kimia berbahaya seperti mercury, kadmium, bahkan arsenik supaya bisa tampil menarik sesuai standar penyedia lowongan kerja. Mau bagaimana lagi? produk pemutih tak bermerk dan berbahaya itu yang bisa dijangkau, sih. Kalau sudah begitu, susah untuk tidak meneropong lebih jauh perkawinan kapitalisme dan misoginisme dalam industri kosmetik yang diakibatkan norma kecantikan ini.
Buku Ni Luh Ayu Saraswati berjudul Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional terbitan Marjin Kiri, jadi sangat seru dan tentunya bermanfaat untuk dibaca. Buku yang diganjar penghargaan Gloria Anzaldua ini adalah buku pertama yang secara spesifik meneliti akar hierarki kecantikan di Indonesia. Di sini, penulis juga mematahkan teori bahwa obsesi memiliki kulit putih disebabkan oleh kolonialisme Eropa di Indonesia.
Nah, untuk melacak peredaran citra kecantikan di Indonesia tersebut, penulis menggunakan pendekatan sejarah. Ia membagi periodisasi waktu menjadi tiga bagian; masa pre-kolonial, masa kolonial, dan pasca-kolonial. Selain pendekatan tersebut, pisau analisa "afek" atau emosi, juga digunakan untuk mengeksplorasi bagaimana cara-cara emosi manusia dibuat 'terlihat' dan diedarkan melalui citra-citra kecantikan, sehingga standar kecantikan tertentu bisa berkelana secara transnasional (melintasi batas georafi negara). Akhirnya, persoalan memiliki kulit cerah tak lagi soal 'pilihan personal' saja, tapi bersinggungan dengan pembentukan hierarki ras, gender, dan warna kulit, serta produksi afek yang kolektif di Indonesia.
Memasuki masa adolescent, remaja putra apalagi putri, biasanya mulai sangat sadar dengan penampilan tubuhnya. Rasa nggak pede hadir dan menggerogoti badan, kadang bertambah parah saat mulai naksir-naksir anak orang (masalah percintaan). 'Beban' untuk selalu tampil cantik lantas dipikul dan jadi tugas yang entah kapan bisa selesai. Usaha menjadi chakep dengan punya kulit terang pun dilakukan. Nah, produk-produk kosmetik pemutih kulit yang bejibun jenisnya di pasaran, sudah menunggu-nunggu buat dipilih.
Tak jarang juga, usaha ini dilakukan supaya lebih mudah masuk ke bursa kerja, sebab kriteria 'berpenampilan menarik' memang dekat diartikan dengan punya kulit terang. Media-media (yang hampir semua terobsesi juga dengan penampilan perempuan), baik tulis, cetak, radio, televisi, serta lingkungan sosial (misalnya keluarga atau pertemanan), juga kerap berbicara dan menggambarkan bagaimana (penting dan) mudahnya kehidupan bagi orang-orang cantik berkulit terang.
Lihat saja iklan yang pernah dibuat Pond's berjudul Love Conquers All yang dibuat beberapa tahun lalu itu. Kulit putih nan cantik, bahkan digambarkan mampu menggagalkan upaya penggusuran! Kurang spektakuler apa cobak.
![]() |
Checking Myself, by Amalia Nur Fitri, copyleft |
Usaha keluar dari lingkaran kemiskinan dengan pekerjaan bagus, mau tak mau menceburkan mereka ke bahan-bahan kimia berbahaya seperti mercury, kadmium, bahkan arsenik supaya bisa tampil menarik sesuai standar penyedia lowongan kerja. Mau bagaimana lagi? produk pemutih tak bermerk dan berbahaya itu yang bisa dijangkau, sih. Kalau sudah begitu, susah untuk tidak meneropong lebih jauh perkawinan kapitalisme dan misoginisme dalam industri kosmetik yang diakibatkan norma kecantikan ini.
Oke, kembali lagi ke pembahasan bukunya...
Buku Ni Luh Ayu Saraswati berjudul Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional terbitan Marjin Kiri, jadi sangat seru dan tentunya bermanfaat untuk dibaca. Buku yang diganjar penghargaan Gloria Anzaldua ini adalah buku pertama yang secara spesifik meneliti akar hierarki kecantikan di Indonesia. Di sini, penulis juga mematahkan teori bahwa obsesi memiliki kulit putih disebabkan oleh kolonialisme Eropa di Indonesia.
![]() |
diambil dar akun twitter @marjinkiri |
Nah, untuk melacak peredaran citra kecantikan di Indonesia tersebut, penulis menggunakan pendekatan sejarah. Ia membagi periodisasi waktu menjadi tiga bagian; masa pre-kolonial, masa kolonial, dan pasca-kolonial. Selain pendekatan tersebut, pisau analisa "afek" atau emosi, juga digunakan untuk mengeksplorasi bagaimana cara-cara emosi manusia dibuat 'terlihat' dan diedarkan melalui citra-citra kecantikan, sehingga standar kecantikan tertentu bisa berkelana secara transnasional (melintasi batas georafi negara). Akhirnya, persoalan memiliki kulit cerah tak lagi soal 'pilihan personal' saja, tapi bersinggungan dengan pembentukan hierarki ras, gender, dan warna kulit, serta produksi afek yang kolektif di Indonesia.
Mulai dari Ramayana, Penjajahan, hingga Femina
1. Masa Pre-kolonial
Ni Luh Ayu mengawali pencarian dengan meneliti epos Ramayana. Karya ini dipilih sebab selain populer, penulisannya juga memiliki tujuan politis tersendiri. Di India Kuno, di mana karya Ramayana lahir, epos tersebut dibacakan dan disebarkan untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual raja-raja dan rakyat suku Arya (hal. 36). Rama direpresentasikan mengambil bagian dalam penyebaran budaya Arya di India Selatan. Sementara di Indonesia, Ramayana digunakan untuk menghidupkan kembali ajaran Hinduisme, yang mulai kalah saing dengan ajaran Budhisme pada abad ke-7. Teks ini memang ditulis untuk dan oleh elite istana, yang didominasi laki-laki pula.
Epos Ramayana yang diadopsi dari India Kuno ini juga disebut oleh sejarawan Lurie Sears, sebagai situs 'kontestasi dan akomodasi', dalam artian, seniman Jawa Kuno mengadopsi dan mengadaptasi konsep-konsep tertentu dari tempat lain untuk melejitkan kapital budayanya sendiri. Dengan demikian, Ramayana versi Jawa yang diadaptasi dari India, turut membawa standar kecantikan India Kuno ke Jawa, dan diadaptasi dalam konteks Jawa.
Standar kecantikan India Kuno dalam Ramayana, terlihat dari metafora-metafora dalam menggambarkan wajah Sinta yang 'seterang bulan purnama'. Tak hanya wajahnya saja, giginya pun dijelaskan 'putih bak kristal'. Sementara itu, untuk menggambarkan hal-hal bermakna negatif, seperti duka, bahaya, kesedihan, kejahatan, kehilangan, dan lain-lain, di dalam teks Ramayana, digunakan penggambaran warna hitam atau gelap sebagai penandanya. Misalnya saat menggambarkan hukuman yang jatuh kepada seorang perempuan karena memakan daging Dewa Wisnu. Kulitnya digambarkan berubah menjadi 'sehitam celak'.
Warnaisasi (diskriminasi berdasarkan warna kulit) tersebut, merupakan awal dan gerbang bagaimana benih-benih preferensi akan kulit terang dibangun. Warnaisasi di masa pre-kolonial, belum berkiblat pada ras tertentu. Dalam arti, preferensi 'kulit terang' yang disebutkan dalam Ramayana, bukan mengacu pada kulit terang Kaukasia. Namun, penggambaran warna gelap-terang tersebut, ditandai oleh emosi atau afek tertentu. Seperti putih, membawa citra positif seperti kebaikan, kelembutan, kecantikan, dan lain-lain. Sebaliknya, gelap atau hitam, membawa emosi yang negatif.
Warnaisme ini, baru menemui paduan 'kliknya' dalam membentuk hierarki kecantikan gender, dan ras, saat masa penjajahan Eropa dan Jepang di Nusantara.
2. Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
A. Penjajahan Belanda
Di masa ini, preferensi kulit terang beririsan dengan identitas kebangsaan dan politik. Warna kulit terang (putih) 'masih' menjadi idaman dan primadona. Yang berbeda, saat masa ini, ada dua kategori ideal kecantikan, 'putih Eropa' dan 'putih Jepang'.
Pada periode kolonial Belanda yang puncaknya ada di tahun 1900 - 1942, perempuan Kaukasia berkulit terang menjadi 'teladan' kecantikan. Dalam membangun konstruksi kecantikan tersebut, melebur pula proyek rasial kolonialisme yang menempatkan Eropa sebagai ras yang superior dibandingkan dengan ras lain, selain menandakan pula kulit terang berkaitan dengan status yang lebih tinggi (punya akses sosial dan ekonomi lebih luas).
Proyek-proyek rasial ini mencangkup sistem izin dan tinggal, sistem budi daya, dan penegakan hukum Salah satu kebijakan kolonial yang menjadi proyek rasial adalah Sistem Tanam Paksa tahun 1830. Belanda memperkaya diri sendiri dengan merampas tanah dan hak pekerja. Mereka memiskinkan pribumi dengan mewajibkan mereka membayar sewa dan membagi dua per lima hasil tani mereka. Sebagai tambahan, kebijakan kolonial ini juga merupakan pengenalan masyarakat Hindia, khususnya kaum buruh, kepada "uang" sebagai alat tukar. (hal. 72)
Selain Sistem Tanam Paksa, proyek rasial juga diwujudkan di bidang hukum. Sejak 1854, orang Eropa dan non-Eropa diberikan dua kitab undang-undang hukum terpisah dan berbeda (kewargaan, perdagangan, perdata, dan pidana). Dari berbagai proyek rasial tersebut, mau tak mau 'menampilkan' keeropaan makin penting di Hindia. Jika ingin punya kehidupan lebih baik atau (kalau beruntung) diakui oleh elit kolonial, paling tidak seseorang harus menampilkan keeropaannya.
Walau konsep keeropaan tak jelas, tapi hal itu akhirnya dibangun secara kasat mata. Nah, perempuan Belanda yang kena getahnya di sini. Mereka terdorong untuk menghias diri dan keluargnya dengan artefak-artefak budaya. Mereka belajar dari manual-manual kolonial, komoditas mana yang tepat mereka kenakan serta berprilaku yang pantas (Schulte 1997, 26).
Beban menjunjung "prestise kulit putih" terletak di pundak mereka. Sejarawan Elsbeth Lochter-Scholten menambahkan juga, manual-manual yang ditulis untuk perempuan kulit putih di Hindia dan menunjukan bahwa perempuan kulit putih dianjurkan untuk bereaksi lewat "tindak tanduk bijak dan terkendali", dan saat menghadapi para pembantu mereka harus "tenang, jaga diri, tak pernah marah, selalu tegas, dan lebih unggul". Emosi yang tak pantas dapat menurunkan prestise mereka.
Di sanalah emosionologi kolonial bekerja. Ia menjadi sebuah aparatus afektif (yang penting) untuk menandai identitas seseorang, sebuah identitas yang diregulasi dan diekspresikan melalui emosi. Kolonialisme bergantung pada kemampuan perempuan Belanda untuk memamerkan tanda-tanda prestise kulit putih tidak hanya pada penanda material dan kultural, tetapi juga kecenderungan psikologis dan emosional yang diatur dalam "emosionologi kolonial". Ini pula yang menjadi sebuah alat mendisiplinkan tubuh perempuan kulit putih.
Nah, 'komoditas' Eropa itu, ikut dikonsumsi pula oleh Pribumi, Indo campuran, Cina, serta para priyayi (aristokrat dan birokrat Jawa) sebagai bentuk kapital budaya. Mereka semua menjalankan kebudayaan Eropa untuk memajukan prestise, karir, status sosial politik mereka (Onghokham 1997, 177 -179; Soekiman 2000, 36).
Dengan demikian, kolonialisme semata-mata hanya memperkuat gagasan yang sudah ada sebelumnya bahwa orang berkulit terang berstatus lebih tinggi. (hal. 70)
Memasuki kependudukan Jepang sejak Maret 1942, proyek rasial berusaha dibangun ulang oleh Jepang. Kali ini, Jepang berusaha melahirkan hierarki ras baru. Sama halnya seperti penjajahan Belanda, proyek rasial ini dibangun melalui berbagai kebijakan. Salah satunya mendirikan kamp-kamp interniran untuk mengisolir orang Eropa dan Eurasia. Pada prakteknya, orang Eurasia lebih banyak tertangkap dibandingkan dengan Eropa. Orang Indo atau Eurasia dianggap ras inferior dan kerap jadi sasaran hukuman.
Sementara alasan pemberlakuan kebijakan ini, penulis menyebut bisa saja berhubungan dengan kebudayaan Jepang yang menjunjung tinggi homogenitas dan kemurnian ras. Supaya orang Indo atau Eurasia bisa terhindar dari hukuman Jepang, mereka harus mampu menunjukkan setidaknya 50% darah Indonesia dan mengadopsi gaya hidup orang Indonesia. Nah, jika di masa sebelumnya para pribumi berlomba-lomba menjadi 'Eropa', di masa kependudukan Jepang, hal itu ditanggalkan beramai-ramai, bahkan orang Eurasia atau Indo berusaha menutupi/meninggalkan keterikatan mereka dengan leluhur Eropanya.
Jepang juga melancarkan propaganda yang menanamkan gagasan superioritas ras Asia, untuk meyakinkan orang Indonesia jika mereka punya peran penting dalam perang Jepang. Tak tanggung-tanggung, Jepang mulai menugaskan seniman-seniman untuk mengarang lagu, tarian, drama, dan pidato (pro Jepang/Asia) yang nantinya disiarkan melalui radio, film dan majalah.
Jepang turut menggunakan pewayangan untuk menggaet dukungan orang Indonesia. Beredar pula kisah perjuangan Pandawa (melambangkan Indonesia) dan Dewa Matahari (melambangkan Jepang) melawan perang. Bahkan tarian di tanah Sunda berjudul "Tari Meruntuhkan Amerika/Inggris" juga diciptakan demi memperlihatkan keunggulan bangsa Asia atas Eropa. Ini dilakukan supaya propaganda dan proyek rasialnya bisa 'rata' menjangkau semua masyarakat. (Yuliati, dkk, 2006, 6).
Dan benar saja, propaganda Jepang ini berhasil menarik pribumi. Seorang nasionalis laki-laki bernama Soewandhie berkata jika kedatangan Jepang di Hindia setelah masa penjajahan kulit putih Belanda, harus disambut dengan gembira. Ia mendeskripsikan apa saja bentuk-bentuk keasiaan itu dengan menyebut filsafat India, kesusastraan Persia, dan etika Cina.
Tak hanya Soewandhie, jurnalis perempuan di surat kabar Djawa Baroe bernama H. Diah, menulis perbandingan gaya dan sikap perempuan Nippon dengan Amerika. Ia menulis jika gaya dan sikap perempuan Nippon "menarik" karena mereka "jelita", sedangkan perempuan Amerika "menantang". Ia menutup tulisannya dengan penekanan ,"Timur adalah Timur, Barat adalah Barat, dan keduanya tidak akan pernah dapat bertemu".
Ada sebuah sentimen dan perasaan yang berusaha diedarkan seolah negara-negara Timur seperti Indonesia dan Jepang bisa bekerja sama, sementara dengan Amerika atau negara Barat lainnya tak bisa. Artikel itu bekerja untuk mengedarkan perasaan tertentu dan identitas tertentu, untuk menciptakan "perasaan mengakar".
Proyek rasial ini lebih lanjut kelihatan pula dalam wacana kecantikan perempuannya. Tentu saja ada upaya rekonstruksi ideal kecantikan perempuan yang dilakukan Jepang di masa ini. Dalam terbitan seperti Djawa Baroe dan Almanak Asia Raya kerap menampilkan perempuan Indonesia dan Jepang sebagai perempuan cantik. Bermunculan pula rubrik-rubrik seperti "Puteri Nippon", "Bintang Film Nippon", dan "Poetri Indonesia jang tjang tjantik molek". Deretan foto-foto perempuan yang dianggap cantik itu, semua konsisten memakai pakaian adat dan berkulit terang. Untuk menandingi citra perempuan Eropa modern, Jepang menampilkan dan menghidupkan kembali citra ideal kecantikan Asia tradisional, dengan penanda pakaian adat tradisional asal Jepang dan Indonesia.
Tapi sayang, usaha Jepang merekonstruksi ideal kecantikan baru, tak lepas dari preferensi kulit putih dan kulit terang. Masyarakat Jepang (dan Cina) memang lebih suka warna putih dan menyebut diri mereka sendiri "putih". Dari sini, ambivalensi muncul, sebab sebutan 'putih' ini mengacu pada kulit mereka, bukan ras.
Jepang sendiri sebetulnya sudah menganggap warna putih sebagai warna yang cantik dan baik, sementara hitam itu buruk, sebelum menjalin kontak apapun dengan Eropa dan Afrika. Warnaisme ini hampir sama dengan yang terjadi di masa pre-kolonial Hindia. Antropolog Hiroshi Wagatsuma menampilkan sebuah bukti warnaisme yang terjadi di Jepang melalui potongan pribahasa Jepang kuno berbunyi, "kulit putih menutupi tujuh kelemahan; kulit terang perempuan membuat orang mengabaikan ciri fisik lain yang dihasratkan tapi tak ada."
Preferensi kulit putih di Jepang juga berjalan seiring perkembangan sosial, politik, dan budayanya. Bagi Jepang, putih sudah menjadi ideal kecantikan sejak abad ke-8 hingga ke-12. Ini terlihat dalam karya kesustraannya. Putih juga menjadi perlambang kelas atas, sebab mereka tak perlu bekerja di luar rumah dan membuat kulit terbakar. Preferensi kulit putih Jepang, baru terintegrasi dengan Eropa di abad ke 19, tepatnya di periode Meiji. Melihat Eropa sebagai 'panutan', juga menggeser preferensi putih jepang, menjadi putih Eropa.
Ini kembali bergeser pula saat Jepang terserang badai ideologi ultranasionalis tahun 1930an. Putih Eropa digeser lagi dengan putih Jepang untuk menyatakan bahwa mereka lebih unggul dari Eropa. Di masa pasca Perang Dunia II dan era kontemporer, Jepang masih kuat menggenggam preferensi kulit putih, sembari mengagumi putih Kaukasia.
Dengan demikian, wacana subjektivitas kulit putih tak hanya dimiliki oleh Eropa. Baik Indonesia dan Jepang, memiliki ideal kecantikannya sendiri. Walau ras Asia menawarkan rekonstruksi kulit ras unggulan, putih masih menjadi warna yang disukai dan diidamkan.
Pada periode kolonial Belanda yang puncaknya ada di tahun 1900 - 1942, perempuan Kaukasia berkulit terang menjadi 'teladan' kecantikan. Dalam membangun konstruksi kecantikan tersebut, melebur pula proyek rasial kolonialisme yang menempatkan Eropa sebagai ras yang superior dibandingkan dengan ras lain, selain menandakan pula kulit terang berkaitan dengan status yang lebih tinggi (punya akses sosial dan ekonomi lebih luas).
Proyek-proyek rasial ini mencangkup sistem izin dan tinggal, sistem budi daya, dan penegakan hukum Salah satu kebijakan kolonial yang menjadi proyek rasial adalah Sistem Tanam Paksa tahun 1830. Belanda memperkaya diri sendiri dengan merampas tanah dan hak pekerja. Mereka memiskinkan pribumi dengan mewajibkan mereka membayar sewa dan membagi dua per lima hasil tani mereka. Sebagai tambahan, kebijakan kolonial ini juga merupakan pengenalan masyarakat Hindia, khususnya kaum buruh, kepada "uang" sebagai alat tukar. (hal. 72)
Selain Sistem Tanam Paksa, proyek rasial juga diwujudkan di bidang hukum. Sejak 1854, orang Eropa dan non-Eropa diberikan dua kitab undang-undang hukum terpisah dan berbeda (kewargaan, perdagangan, perdata, dan pidana). Dari berbagai proyek rasial tersebut, mau tak mau 'menampilkan' keeropaan makin penting di Hindia. Jika ingin punya kehidupan lebih baik atau (kalau beruntung) diakui oleh elit kolonial, paling tidak seseorang harus menampilkan keeropaannya.
![]() |
sumber: Indonesian Expats |
Walau konsep keeropaan tak jelas, tapi hal itu akhirnya dibangun secara kasat mata. Nah, perempuan Belanda yang kena getahnya di sini. Mereka terdorong untuk menghias diri dan keluargnya dengan artefak-artefak budaya. Mereka belajar dari manual-manual kolonial, komoditas mana yang tepat mereka kenakan serta berprilaku yang pantas (Schulte 1997, 26).
Beban menjunjung "prestise kulit putih" terletak di pundak mereka. Sejarawan Elsbeth Lochter-Scholten menambahkan juga, manual-manual yang ditulis untuk perempuan kulit putih di Hindia dan menunjukan bahwa perempuan kulit putih dianjurkan untuk bereaksi lewat "tindak tanduk bijak dan terkendali", dan saat menghadapi para pembantu mereka harus "tenang, jaga diri, tak pernah marah, selalu tegas, dan lebih unggul". Emosi yang tak pantas dapat menurunkan prestise mereka.
Di sanalah emosionologi kolonial bekerja. Ia menjadi sebuah aparatus afektif (yang penting) untuk menandai identitas seseorang, sebuah identitas yang diregulasi dan diekspresikan melalui emosi. Kolonialisme bergantung pada kemampuan perempuan Belanda untuk memamerkan tanda-tanda prestise kulit putih tidak hanya pada penanda material dan kultural, tetapi juga kecenderungan psikologis dan emosional yang diatur dalam "emosionologi kolonial". Ini pula yang menjadi sebuah alat mendisiplinkan tubuh perempuan kulit putih.
Nah, 'komoditas' Eropa itu, ikut dikonsumsi pula oleh Pribumi, Indo campuran, Cina, serta para priyayi (aristokrat dan birokrat Jawa) sebagai bentuk kapital budaya. Mereka semua menjalankan kebudayaan Eropa untuk memajukan prestise, karir, status sosial politik mereka (Onghokham 1997, 177 -179; Soekiman 2000, 36).
Dengan demikian, kolonialisme semata-mata hanya memperkuat gagasan yang sudah ada sebelumnya bahwa orang berkulit terang berstatus lebih tinggi. (hal. 70)
B. Kependudukan Jepang
Memasuki kependudukan Jepang sejak Maret 1942, proyek rasial berusaha dibangun ulang oleh Jepang. Kali ini, Jepang berusaha melahirkan hierarki ras baru. Sama halnya seperti penjajahan Belanda, proyek rasial ini dibangun melalui berbagai kebijakan. Salah satunya mendirikan kamp-kamp interniran untuk mengisolir orang Eropa dan Eurasia. Pada prakteknya, orang Eurasia lebih banyak tertangkap dibandingkan dengan Eropa. Orang Indo atau Eurasia dianggap ras inferior dan kerap jadi sasaran hukuman.
Sementara alasan pemberlakuan kebijakan ini, penulis menyebut bisa saja berhubungan dengan kebudayaan Jepang yang menjunjung tinggi homogenitas dan kemurnian ras. Supaya orang Indo atau Eurasia bisa terhindar dari hukuman Jepang, mereka harus mampu menunjukkan setidaknya 50% darah Indonesia dan mengadopsi gaya hidup orang Indonesia. Nah, jika di masa sebelumnya para pribumi berlomba-lomba menjadi 'Eropa', di masa kependudukan Jepang, hal itu ditanggalkan beramai-ramai, bahkan orang Eurasia atau Indo berusaha menutupi/meninggalkan keterikatan mereka dengan leluhur Eropanya.
![]() |
keluarga dari perkawinan campur (Indonesia dan Eropa) sumber: istimewa |
Jepang juga melancarkan propaganda yang menanamkan gagasan superioritas ras Asia, untuk meyakinkan orang Indonesia jika mereka punya peran penting dalam perang Jepang. Tak tanggung-tanggung, Jepang mulai menugaskan seniman-seniman untuk mengarang lagu, tarian, drama, dan pidato (pro Jepang/Asia) yang nantinya disiarkan melalui radio, film dan majalah.
Jepang turut menggunakan pewayangan untuk menggaet dukungan orang Indonesia. Beredar pula kisah perjuangan Pandawa (melambangkan Indonesia) dan Dewa Matahari (melambangkan Jepang) melawan perang. Bahkan tarian di tanah Sunda berjudul "Tari Meruntuhkan Amerika/Inggris" juga diciptakan demi memperlihatkan keunggulan bangsa Asia atas Eropa. Ini dilakukan supaya propaganda dan proyek rasialnya bisa 'rata' menjangkau semua masyarakat. (Yuliati, dkk, 2006, 6).
Dan benar saja, propaganda Jepang ini berhasil menarik pribumi. Seorang nasionalis laki-laki bernama Soewandhie berkata jika kedatangan Jepang di Hindia setelah masa penjajahan kulit putih Belanda, harus disambut dengan gembira. Ia mendeskripsikan apa saja bentuk-bentuk keasiaan itu dengan menyebut filsafat India, kesusastraan Persia, dan etika Cina.
Tak hanya Soewandhie, jurnalis perempuan di surat kabar Djawa Baroe bernama H. Diah, menulis perbandingan gaya dan sikap perempuan Nippon dengan Amerika. Ia menulis jika gaya dan sikap perempuan Nippon "menarik" karena mereka "jelita", sedangkan perempuan Amerika "menantang". Ia menutup tulisannya dengan penekanan ,"Timur adalah Timur, Barat adalah Barat, dan keduanya tidak akan pernah dapat bertemu".
Ada sebuah sentimen dan perasaan yang berusaha diedarkan seolah negara-negara Timur seperti Indonesia dan Jepang bisa bekerja sama, sementara dengan Amerika atau negara Barat lainnya tak bisa. Artikel itu bekerja untuk mengedarkan perasaan tertentu dan identitas tertentu, untuk menciptakan "perasaan mengakar".
Proyek rasial ini lebih lanjut kelihatan pula dalam wacana kecantikan perempuannya. Tentu saja ada upaya rekonstruksi ideal kecantikan perempuan yang dilakukan Jepang di masa ini. Dalam terbitan seperti Djawa Baroe dan Almanak Asia Raya kerap menampilkan perempuan Indonesia dan Jepang sebagai perempuan cantik. Bermunculan pula rubrik-rubrik seperti "Puteri Nippon", "Bintang Film Nippon", dan "Poetri Indonesia jang tjang tjantik molek". Deretan foto-foto perempuan yang dianggap cantik itu, semua konsisten memakai pakaian adat dan berkulit terang. Untuk menandingi citra perempuan Eropa modern, Jepang menampilkan dan menghidupkan kembali citra ideal kecantikan Asia tradisional, dengan penanda pakaian adat tradisional asal Jepang dan Indonesia.
Tapi sayang, usaha Jepang merekonstruksi ideal kecantikan baru, tak lepas dari preferensi kulit putih dan kulit terang. Masyarakat Jepang (dan Cina) memang lebih suka warna putih dan menyebut diri mereka sendiri "putih". Dari sini, ambivalensi muncul, sebab sebutan 'putih' ini mengacu pada kulit mereka, bukan ras.
Jepang sendiri sebetulnya sudah menganggap warna putih sebagai warna yang cantik dan baik, sementara hitam itu buruk, sebelum menjalin kontak apapun dengan Eropa dan Afrika. Warnaisme ini hampir sama dengan yang terjadi di masa pre-kolonial Hindia. Antropolog Hiroshi Wagatsuma menampilkan sebuah bukti warnaisme yang terjadi di Jepang melalui potongan pribahasa Jepang kuno berbunyi, "kulit putih menutupi tujuh kelemahan; kulit terang perempuan membuat orang mengabaikan ciri fisik lain yang dihasratkan tapi tak ada."
![]() |
sumber: JPN Info |
Preferensi kulit putih di Jepang juga berjalan seiring perkembangan sosial, politik, dan budayanya. Bagi Jepang, putih sudah menjadi ideal kecantikan sejak abad ke-8 hingga ke-12. Ini terlihat dalam karya kesustraannya. Putih juga menjadi perlambang kelas atas, sebab mereka tak perlu bekerja di luar rumah dan membuat kulit terbakar. Preferensi kulit putih Jepang, baru terintegrasi dengan Eropa di abad ke 19, tepatnya di periode Meiji. Melihat Eropa sebagai 'panutan', juga menggeser preferensi putih jepang, menjadi putih Eropa.
Ini kembali bergeser pula saat Jepang terserang badai ideologi ultranasionalis tahun 1930an. Putih Eropa digeser lagi dengan putih Jepang untuk menyatakan bahwa mereka lebih unggul dari Eropa. Di masa pasca Perang Dunia II dan era kontemporer, Jepang masih kuat menggenggam preferensi kulit putih, sembari mengagumi putih Kaukasia.
Dengan demikian, wacana subjektivitas kulit putih tak hanya dimiliki oleh Eropa. Baik Indonesia dan Jepang, memiliki ideal kecantikannya sendiri. Walau ras Asia menawarkan rekonstruksi kulit ras unggulan, putih masih menjadi warna yang disukai dan diidamkan.
3. Masa Pascakolonial sampai Kontemporer
Lepas dari kependudukan Jepang, Indonesia dipimpin oleh Soekarno. Soekarno juga punya sikap anti-Barat dan kepedulian dengan masalah ras dan bangsa (dalam taraf tertentu, masalah gender). Seruan ikoniknya kepada negara Barat, "go to hell with your aid" jadi penanda ideologinya itu.
Inilah penyebab sedikit sekali poduk pemutih wajah yang diiklankan di masa kepresidenan Soekarno. Uniknya, di masa ini penggunaan kata 'putih' digantikan dengan 'kuning'. Resistensi ini sebetulnya sudah terlihat di masa kolonial untuk melawan dominasi putih Eropa. Contohnya dalam tulisan Tirto Adhi Soerjo di Medan Prijaji tahun 1909, dalam menggambarkan Nyai Ratna, "sungguh, bukan putih, tetapi kuning". Tapi tentu saja kuning yang dimaksud adalah kuning terang atau langsat, bukan kuning gelap (?) apalagi kuning Spongebob. Ngeh.
Memasuki pemerintahan Soeharto di tahun 1966, negara-negara Barat sangat mendukung presiden kedua Indonesia ini. Kebijakan ekonomi Indonesia di bawah Soeharto sangat dibantu oleh Amerika dan negara Barat lainnya. Dengan demikian, ideologi Barat kembali masuk dan mendominasi kebudayaan Indonesia lewat kucuran bantuan ekonomi tersebut. Karena aliran dana dari Amerika dan negara Barat lainnya itulah, perkembangan industri di Indonesia tumbuh signifikan.
Di masa pemerintahan Soeharto inilah industri percetakan ikut tumbuh subur. Majalah-majalah wanita seperti Femina pun lahir. Bersamaan dengan itu pula, idealisasi kecantikan dibentuk kembali. Seperti halnya pemerintahan Soekarno, kiasan-kiasan yang menandai kecantikan ideal juga dibentuk di masa pemerintahan Soeharto.
Di masa Soeharto, kiasan-kiasan spasial digunakan untuk menandai ideal kecantikan dan ras yang merepresentasikan tempat tersebut. Di sini, Amerika dan Eropa ditampilkan sebagai asal kecantikan yang otentik dan juga tempat yang indah. Contohnya adalah iklan sabun Lux di mana Widyawati jadi model iklannya.
![]() |
sumber: http://4.bp.blogspot.com/ |
Paris secara afektif digambarkan sebagai tempat membahagiakan dan diinginkan berkat kemajuan dan modernitasnya. Paris bahkan dapat merubah penampilan Widyawati, sebab dirinya mendapat saran paling maju mengenai kecantikan, yang tidak ada di Indonesia. Conradson dan Latham mengatakan Paris sebagai "peluang-peluang" afektif dari sebuah tempat yang membanggakan (119).
Apa yang digambarkan oleh iklan Lux itu, mewakili satu dari banyaknya konsep emotionscape yang dipopulerkan oleh Arjun Appadurai. Emotionscape dalam iklan-iklan kecantikan ini berkelana dan beredar secara transnasional dan membentuk lanskap dari perasaan-perasaan dominan tentang objek tertentu di mana emosi dilekatkan. Iklan Lux menarasikan bahwa cantik putih yang akan membawa kebahagiaan adalah cantik putih Eropa, atau lebih tepatnya Paris.
Bahkan sebetulnya, sebutan putih Kaukasia juga merupakan bentuk dari emotionscape, sebab Kaukasia itu mengacu pada sebuah daerah pergunungan Kausus.
Dari sini, ternyata narasi bangsa berdasarkan gender dan ras, bisa diartikulasikan melalui ruang.
(bersambung)