Minggu, 10 Desember 2017

Pergi Ke Surga Bersama Sitor Situmorang

Awal berkenalan dengan karya Sitor Situmorang memang nggak sengaja. Waktu itu, sekitar semester 4 atau 5 ketika kuliah (ya, sangadh teladh), seorang teman minta bantuan saya untuk ngerjain tugas di kelas menulisnya. Mata kuliah itu diampu oleh jurusan Sastra Indonesia dan menurut keterangannya, sang dosen suka sekali dengan karya pujangga modern Indonesia. Karena wawasan sempit, saya cuma tahu Pramoedya Ananta Toer saja. Jadi didorong oleh sogokan yang mantap karena penasaran, saya buka Youtube mencari video Pram untuk inspirasi menulis. 

Nah, dalam pencarian saya itu, saya ketemu video berjudul Sitor Situmorang en Pramoedya Ananta Toer. Dalam kapsi, dijelaskan video diambil oleh Afrizal Malna, seorang sastrawan yang layak kepo, di tahun 2004 saat ulang tahun Sitor Situmorang ke-80 tahun. Seru sekali melihat keakraban dua sastrawan itu, saya jadi bertanya-tanya (dan sotoy) siapa lelaki Batak temannya Pram ini? Setelah kepo sana-sini, ternyata saya memang lebih familiar dengan puisi-puisinya ketimbang sosok beliau. Sebagai contoh, siapa yang tak pernah bertemu penggalan sajak ikonik berjudul Malam Lebaran yang cuma sebait tapi mampu bikin perih? Malam itu, saya dapat inspirasi banyak dari puisi-puisi Sitor.

Portrait: Sitor Situmorang by Amalia Nur Fitri, copyleft

Singkatnya, tugas teman berhasil diselesaikan dan kabarnya dia dapat pujian dari dosen. Bahkan teman saya bilang, tugasnya dijadikan acuan buat anak-anak lain di tugas berikutnya. Wah, saya kegeeran banget . Dari sana jadi bertambah intens ngepoin karya-karya sastrawan modern Indonesia, pokoknya selain Pram. 

Dibandingkan cerpen, karya puisinya Sitor memang jauh lebih dikenal. Bagaimana tidak? beliau menciptakan 605 puisi, sementara untuk cerpen 'hanya' mampu menghasilkan 23 saja sepanjang hidupnya. 23 cerpen ini, dikumpulkan oleh sejarawan JJ Rizal dalam buku berjudul 'Ibu Pergi ke Surga' dan diterbitkan Komunitas Bambu di tahun 2011. Walau hanya 23 cerpen, menariknya perjalanan hidup dan pemikiran Sitor seolah terekam baik di dalamnya. 

Dari Eropa - Legian - S(ibolga)

Dalam buku kumpulan cerpen ini, cerita favorit saya memang yang berhubungan dengan kampung halaman Sitor di Sumatera Utara, yaitu Kota S, Ibu Pergi ke Surga, Jin, Kehidupan Danau Toba, Perjamuan Kudus, dan Harimau Tua. Lalu kisah teman-teman 'luar negerinya' yang juga seru diikuti dalam Kisah Surat dari Legian, Suatu Fiksi dalam Fiksi, dan Peribahasa Jepang. 

Sementara kisah-kisah berjudul Kembang Gerbera, Fontenay aux Roses, Cheri, Perawan Tengah Hari, Salju di Paris, Kereta Api Internasional, dan Cinta Pertama, memang menangkap pengalaman dan perjalanan Sitor saat dirinya di Eropa. Lalu, gelora nasionalis dan nuansa pasca perang kemerdekaan, bisa dirasakan dalam Pertempuran, Kasim, Pangeran dan Diplomat Muda. Sementara kisah-kisah seperti Jatmika dan Jatmiko dan Begitulah Selalu Kalau Hujan seperti menunjukan sisi guyon tapi tetap bermakna, dari penyair asal Desa Harianboho ini. 

Kisah yang meninggalkan kesan buat saya adalah Ibu Pergi ke Surga dan Perjamuan Kudus. Kedua cerpen ini, seakan berkelanjutan dan berhubungan satu sama lain. Di sisi lain, ada nilai-nilai budaya dan ideologi yang mampu dirangkai dengan gaya bahasa puitik asyik nan aduhay ala Sitor. Sungguh, saya jatuh hati dengan gaya bahasa dan cara berceritanya, memuaskan dari segi penikmatan bahasa. 

foto: Istimewa

Dalam cerpen Ibu Pergi ke Surga, Sitor menceritakan kematian ibu, yang juga seorang penganut Kristen taat. Dalam cerita itu, saya menangkap nuansa The Stranger (l'Etranger) dari Albert Camus yang lumayan kental. Tapi, dalam penggambaran Sitor, pergulatan emosi tokoh-tokohnya jauh lebih mudah saya ikuti dan pahami. Kematian ibu dalam kesunyian, dalam cerpen Sitor, memiliki konklusi bahwa kematian tak harus disambut dengan duka. Ya, tentu ada kesedihan di sana, tapi beliau meninggalkan pembaca merasa terharu bahagia dengan kematian ibu. Ini pula yang tergambar dalam sajak Sitor berjudul Membalas Surat Bapak yang seakan mengurai cerpen tersebut,

Ketika Ibu Meninggal
kutulis sajak
tentang derita - 
Dunia melupakannya.
Kemudian kutulis cerita 
bagaimana ia ke surga,
Dunia terharu - 
Tentang duka tak sepatah.

Jika mencomot penjelasan JJ Rizal, Sitok ternyata memang merasa 'tak dapat melakukan kontak' dan mengalami rasa hidup mirip tokoh The Stranger-nya Camus. Sitor bercermin melalui tokoh novel tersebut, yang dengan cara berbeda menghadapi diri dan sekitarnya, orang asing yang sekaligus hadir atau tak hadir di dunianya. 

Dalam cerpen itu juga tergambar jika ibu dan ayah, memiliki keyakinan yang berbeda. Ibu adalah seorang Kristiani taat sedangkan ayah adalah penganut kepercayaan Parmalim. Hal itu tergambar dalam dalam adegan pembacaan mantra dan makan tumbukan. Dalam Perjamuan Kudus, yang menceritakan upacara menyambut kematian ayah, yang tidak juga mati di usianya ke-113 tahun, tergambar jika kepercayaan tersebut sedikit banyak sudah 'dimandikan' Kristen. Tapi satu hal yang menjembatani perbedaan tersebut adalah kesetiaan pada adat dan budaya Batak yang kental. 

Sitok dan Feminizma


Hal menarik lain yang saya temui dari pembacaan cerpen Sitor adalah pandangannya soal feminisme. Ketika bercerita dalam Kisah Surat dari Legian, ia menceritakan perjalanan hidup Yulia, seniman kulit putih kelas menengah asal Jerman yang punya gaya hidup hippies. Menurutnya Yulia lebih 'jelas' dibanding Kate Millet, yang menurut Sitok tak bisa menjadi realis tanpa vulgar. Sitok sepertinya menyindir karya lukisan dan foto-foto Millet bertajuk Lesbia - Erotica di sana. Sepertinya menurut Sitok, feminis yang baik tak perlu harus jadi sinis dan frustasi tentang gendernya. 

Dalam pemahaman saya yang terbatas, Sitok agaknya sinis terhadap gerakan feminis Eropa dan Amerika di tahun 1960-an, terutama soal gerakan seksualitasnya. Ini tercetak dalam bagian, "ia (Yulia) juga bukan seorang feminis, karena ia sudah biasa hidup dan bekerja sebagai rekan penuh dalam kelompok laki-perempuan tanpa diskriminasi yang terlebih dimungkinkan pergaulan seniman seperti yang dia alami." 

Untuk bagian itu, saya kurang setuju dengan beliau. Mungkin bagi saya, yang punya pemahaman terbatas, latar belakang dan pengalaman politik, seksual, ideologi dan bahkan ekonomi yang dimiliki Yulia dan Kate berbeda satu sama lain. Jika Yulia tak merasa harus frustasi dengan gendernya dan tak mendapat diskriminasi, bukan berarti pengalaman frustrasi Kate Millet tak penting dan tak nyata untuk didengar dan dipahami. Seperti halnya pembaca diajak Sitok untuk memahami krisis kejiwaan Yulia seputar identitas Barat dan Timurnya saat menginjakan kaki di Bali, pengalaman Kate Millet yang didiskriminasi karena patriarki hanya karena orientasi seksualnya, layak ditengok dan disaksikan pula.

Bagaimana pula, Kate Millet mampu mengupas hubungan opresi dan diskriminasi perempuan dalam institusi perkawinan dan keluarga, selain heteroseksisme, yang dipandangnya kuat menyokong sistem patriarkat dalam karyanya babonnya, Sexual Politics. Dia juga yang ikut menggaungkan jargon, "The Personal is Political" untuk geng-geng feminis gelombang kedua. 

Terlepas dari pandangan Sitor soal feminisme, membaca karya cerpen dan puisinya tetap mampu mengisi batin. Dalam arti, ada kepuasan tiap mengikuti alur berceritanya. Yang lebih penting dari kemampuan puitik bahasanya, dalam rangkaian pengungkapan cerpen Sitor terdapat pula kekayaan pemikiran dan emosinya. Ia punya warna dan karakter kuat dalam cerita-ceritanya. 

Mengingat tiga tahun kepergiannya hari ini, yakni pada 10 Desember 2017, memang tak berlebihan kalau menyebut karya Sitor sebagai salah satu monumen terbaik sastra Indonesia. Selain karya Pramoedya Ananta Toer, karya puisi dan cerpen Sitor Situmorang juga sangat layak dan perlu untuk (kembali) dikunjungi dan dibicarakan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar