Jumat, 30 September 2016

Jadi Bahagia & Legowo Berawal dari Rak Buku

Saya punya koleksi buku yang nggak banyak, tapi dibilang sedikit juga tidak bisa. Semuanya koleksi saya sejak saya bisa membaca di umur lima atau enam tahun. Awalnya ada ensiklopedi hewan dan tumbuhan, manga, cerita nabi-nabi, buku RPUL maupun kumpulan bendera, bahkan sampai serial Petruk dan Gareng karya Tatang S.
Setidaknya, sampai setahun yang lalu, saya masih sangat protektif terhadap buku-buku. Mengelap, membersihkan dari debu, hingga menyusun dengan rapi di rak. Kemudian, gadget dan e-book datang. Kemampuan membaca menurun drastis semenjak mengenal benda bernama smartphone dan sosial media. Konten alternatif di internet juga membuat susah konsisten membaca teks di atas 35 halaman.
Saya panik, merasa satu-satunya kemampuan hilang. Kalau saya cantik bagai aurora borealis di langit Kutub Utara pada bulan September dan bisa bernyanyi seperti Isyana, persetan dengan Notes from the Underground, Les Mots, bahkan Das Kapital I. Lebih baik melakoni hidup dalam simulakra budaya pop dan dicintai manusia-manusia lain. 

Untuk menjaga supaya proses belajar tetap berlangsung, saya akhirnya mengoleksi e-book dan memaksakan diri membaca dari platform tersebut. Hingga puncaknya, saya memutuskan untuk menjual beberapa buku dari rak.

Sama sekali tidak mudah memang, apalagi buku-buku tersebut sudah lebih dari satu dekade menemani saya. Sudah ada emotional attachment yang terjalin dengan koleksi buku-buku tersebut. Namun, selain masalah finansial, buku-buku saya berhak mendapatkan perhatian lebih dari orang lain. Juga, Mengoleksi buku-buku membuat hidup rumit. Jika suatu hari saya pindah ke tempat yang sangat jauh, saya tidak mungkin membawa  semua buku-buku tersebut.

Terakhir, kecanduan membaca dan membeli buku ini tidak sehat dan merugikan saya secara finansial serta menghasilkan social detachment dengan orang di sekitar karena layaknya pembaca lain, membaca membutuhkan momen soliter. Kemudian saya tersadar, apakah saya membaca karena literasi itu keren atau 'beradab'? Sekedar mesin hasrat Deleuzian semata untuk orgasme intelektual dan modal sosial? atau seperti yang berkali-kali didengungkan Umberto Eco dalam anti-library, yaitu kesadaran terhadap apa yang tidak pernah kita ketahui justru dari tindakan menggali informasi dari buku? Maka dari itu, proses kelegowoan untuk meninggalkan buku harus dimulai dari sekarang.
Saya hanya ingin eling terhadap ilmu pengetahuan. Buku hanya fisikalitasnya, yang fisiknya sangat indah, tidak ada yang mengalahkan (bahkan dada bidang dan rahang Sean O'pry). Yang saya ingin cintai lebih jauh adalah ilmu dan dinamikanya. Bukan cuma sekedar buku. Oleh karena itu, ada wujudnya atau tidak mestinya tidak jadi masalah, bukan?

Terbukti, dengan merelakan beberapa buku untuk dijual, selain kondisi finansial yang jadi membaik, saya juga menjadi lebih bahagia karena membuat pencinta buku lain menemukan buku favoritnya dengan mudah dan harga yang murah. Di masa depan pun, jika hendak pindah ke tempat yang jauh, koleksi-koleksi buku ini tidak lagi membuat saya bingung. Ternyata, merelakan benda yang sudah sangat dekat dengan diri jatuh kepada pemilik baru, tidak selamanya berarti buruk. Sebaliknya, ada rasa 'kemenangan' ketika akhirnya saya bisa menundukan dan meredam kebiasaan impulsif membeli dan mengoleksi buku, sehingga diri menjadi jauh lebih tenang dan bahagia. 

Ilustrasi diunduh dari www.thenewyorker.com karya Sarah Mazzeti



Kamis, 08 September 2016

Yukiguni (Daerah Salju) oleh Yasunari Kawabata

Daerah Salju ini diterjemahkan langsung dari bahasa Jepang yakni Yukiguni karya Yasunari Kawabata.

diunduh dari www.bukalapak.com

Berbeda ketika membaca karya Akutagawa berjudul Kappa (yang saya rasakan diam-diam bergejolak lincah), dalam Yukiguni alur terasa sangat lambat, sangat detail, dan intim. Membaca Yukiguni tidak jauh berbeda dengan menikmati lukisan. Mungkin di sini berkorelasi dengan kecintaan Kawabata dengan lukisan serta cita-citanya yang ingin jadi pelukis. Emosi diimpresikan melalui penggambaran alam, serta isinya yang bergerak.

Mulai dari kedatangan Shimamura dengan kereta, hingga menyaksikan Yoko sekarat di hadapannya (spoiler alert!), digambarkan lewat langit dan gunung yang sunyi. Saya suka dengan gaya penulisan Kawabata. Seringnya ia menggunakan keadaan alam untuk menggambarkan kondisi jiwa para tokoh-tokohnya, membuat segala hal terasa baik-baik saja dan terasa tenang. Padahal, di dalam jiwa Shimamura, Yoko, dan Komako, memiliki merapi yang siap meletus. Keadaan yang sangat jauh dari kata tenang sebetulnya. Usai membaca Yukiguni seperti berpisah dengan teman yang sudah kita betul kebiasannya.

Secara garis besar, Daerah Salju adalah kisah cinta antara Komako dan Shimamura. Shimamura adalah pemuda kaya asal Tokyo yang sedang berlibur ke daerah salju (daerahnya antara Perbatasan Gunma, kota Yuzawa). Dalam perjalanan menggunakan kereta, ia bertemu dengan Yoko yang kala itu sedang bersama pacarnya yang sakit parah, dan juga Komako yang cantik. Yoko dan Komako adalah geisha di daerah tersebut.

Shimamura jatuh cinta pada Komako, sehingga ia sering datang dari Tokyo meninggalkan anak dan istrinya. Komako sendiri adalah geisha mudah berumur 19 tahun yang ceriwis. Berbicara dengan Komako seperti membaca buku tentang tarian dari Eropa Barat yang asing tapi indah. Jika tidak bertemu dengan Komako, Shimamura tidak akan tahu kalau ada tarian bernama waltz atau musik mazurka. Kurang lebih seperti itu (sotoy).

diunduh dari www.goodreads.com


Ada satu line  yang saya suka dari cerita ini, bunyinya seperti di bawah ini:

"Ketika mengadah Bima Sakti itu terasa mau turun lagi hendak memeluk bumi yang besar ini. Terasa bahwa Bima Sakti yang seperti aurora besar mengalir dengan merendamkan tubuh Shimamura di dalamnya dan tegak di tepi bumi. Ada kesunyisenyapan yang dingin tetapi juga menakjubkan dengan suasana mengairahkan."- Daerah Salju hal. 137

Line ini ada ketika rumah Yoko terbakar. Shimamura bersama Komako datang berusaha menyelamatkan, namun mereka berdua dilanda kepanikan teramat sangat hingga tidak dapat berpikir jernih, yang ada hanya ketakutan. Di antara ketakutan yang melanda, Shimamura ternyata lebih takut jika ditinggalkan atau meninggalkan Komako. Bima Sakti itu adalah keberadaan Komako.

Karena kesan yang ditinggalkan sangat kuat, saya sampai memasukan 'yukiguni', 'snow country', 'kawabata' di mesin pencari Google. Akhirnya menemukan musik di Youtube yang terinspirasi dari Yukiguni oleh Malcolm Fisher dan Clara Galante di bawah ini.





Diam mematikan, sepi menghanyutkan, lalu meledak-ledak hilang. Pantas saja Yasunari Kawabata diganjar penghargaan Nobel di bidang literatur atas karyanya satu ini.



Selasa, 06 September 2016

Ryonosuke Akutagawa dan Dunia Kappa

Menjaga supaya nggak bertambah bosan, di tengah keseharian yang sudah membosankan, saya beralih membaca lagi literatur klasik. 

Untuk mendapatkan buku-buku tersebut sekarang sudah nggak lagi susah, atau harus ke penjual buku di daerah Senen atau pesan dulu di Barel UI. Di Gramedia, koleksi buku sastra dunia ternyata lumayan cihuy. 

Dari situ, saya pilih cerita dari Ryonosuke Akutagawa dengan judul Kappa. Pilihan ini jatuh jelas karena halamannya paling tipis (aku pemalas profesional) dan profil singkat penulis yang tertera di punggung buku buat saya penasaran. Dia seperti tipe penulis bertipe nihilis yang menggemari satir, I could already felt his bitterness towards the world (sotoy). Menebak kalau Akutagawa punya arus negatif yang deras dan sok tahu mati-matian, saya pilih Kappa. 

Ternyata, hanya cukup waktu 1 jam saja untuk menghabiskan Kappa. Entah karena bukunya sangat tipis (kurang dari 100 halaman saja!) atau memang ceritanya sangat seru sehingga saya tidak berhenti sebentar pun, atau memang bisa jadi karena keduanya. Terlepas dari itu, berkenalan dengan Akutagawa lewat karyanya yang satu ini sangat asyik.

Secara garis besar, Kappa berkisah tentang pasien Rumah Sakit Jiwa yang mengaku bertemu dan tinggal di negeri para Kappa. Pernah tahu atau dengar tentang Kappa sebelumnya? Kalau mencari gambarnya di Google, Kappa kira-kira berwujud seperti ini: 

Gambar diunduh dari www.scaryforkids.com
Dalam mitos tradisional Jepang, Kappa adalah siluman yang tinggal di daerah sungai. Bentuknya kurang lebih ya seperti di gambar di atas. Mereka tngginya seperti anak umur 10 tahun, tubuhnya dilapisi lendir, kepalanya berbentuk cekung mangkok, dan berparuh. Jadi, si tokoh Aku terjebak di negeri Kappa selama beberapa lama. Dan dalam kurun waktu tersebut, ia berkenalan dan hidup bersama Kappa-Kappa. Hingga si tokoh utama belajar bahasa Kappa sampai fasih (yang menurut saya mendekati bahasa Perancis).  

Di negeri Kappa, teknologi sudah jauh lebih efisien dan maju. Pembangunan dan Sumber Daya Alam membuat mereka berkecukupan untuk sebuah bangsa. Mereka sama saja seperti manusia. Ada yang berprofesi sebagai pengusaha, penyair, mahasiswa, dan lain-lain. Agama yang dianut pun, ada yang menganut Kristen, Islam, Hindu, Budha, dan Shinto. Yang berbeda, Kappa mengenal agama Modernisme atau pemujaan hidup. Menarik sekali ketika si tokoh utama dibawa berkeliling ke tempat peribadatannya, yang merupakan gedung mewah dan megah di kota Kappa. Pemuja hidup ini menyembah pohon yang diletakan di altar. 

Tidak hanya itu, agama Modernisme ini memiliki nabi-nabinya sendiri yang lucunya bukan berasal kaum Kappa, melainkan kaum manusia. Sang tokoh utama, mengenalinya sebagai Tolstoy, Nietzsche, Doppo Kunikida, Wagner, dan Strindberg. 

Cerita berakhir ketika sang tokoh utama ingin kabur dari dunia Kappa tersebut, dengan bantuan Kappa bernama Bag yang berprofesi sebagai nelayan. Kappa bernama Bag, dikenal sebagai Kappa yang sudah 'merdeka' dalam hidup karena lepas dari semua keinginan bersifat keduniaan dan hidup secukupnya dengan tenang dan damai.

Setelah kembali ke dunia manusia, si tokoh utama juga mengalami penyesuaian kembali. Menurutnya, hidup di dunia Kappa jauh lebih mudah, manusia lebih jahat. Ia menjadi takut dan sangat membenci manusia. Si tokoh utama bercerita, setia malam Kappa-Kappa tersebut setia menemui dan menemainya sepanjang malam di rumah sakit. Ia juga bercerita dibawakan bunga dan berbagai kado oleh Kappa. Nah, oleh si dokter jiwa hal tersebut dicatat sebagai delusi si tokoh utama, karena ia tidak menemukan dan melihat apapun yang diceritakan oleh si tokoh utama (Di bagian akhir ini saya teringat juga ending dari salah satu cerita pendek Haruki Muakami berjudul Super Frog Saves Tokyo).

Menganalisis dari berbagai sudut pandang, mudah saja dilakukan pada cerita pendek Kappa ini. Mulai dari kritik sosial bahkan mungkin penggambaran diri sang penulis sendiri. Atau mungkin juga merupakan penggambaran cita-cita masyarakat nihilis ideal versinya. Menyingkirkan analisis yang berteori-teori yang rumit (saya pemalas profesional (2)), saya sangat menikmati Kappa. Ini adalah buku yang buat saya terbahak untuk pertama kali, setelah sekian lama (kurang hiburan).

Sangat seru melihat bagaimana simulakra ala Akutagawa berlangsung di dunia Kappa. Mulai dari menyaksikan bahasa mereka, budaya, hukum, undang-undang yang berlaku, hingga sistem moral yang ada. Dia sengaja membuat kita menjauhkan dan langung membedakan diri dengan para Kappa. Tapi semakin lama, sebetulnya Kappa adalah manusia itu sendiri.

Gambar diunduh dari www.bukalapak.com

Buku ini bisa jadi bahan dongeng untuk anak-anak SD, begitu pikir saya.