Minggu, 31 Desember 2017

Berlomba-Lomba Jadi Putih Cantik di Negara Dunia Ketiga

Saat pertama kali menemukan buku ini, saya berpikir jika bahasannya pasti akan mudah berelasi dengan pengalaman sebagian besar perempuan. Tentu tak hanya perempuan Indonesia saja, mungkin juga dengan sebagian besar perempuan di muka bumi, wk.

Memasuki masa adolescent, remaja putra apalagi putri, biasanya mulai sangat sadar dengan penampilan tubuhnya. Rasa nggak pede hadir dan menggerogoti badan, kadang bertambah parah saat mulai naksir-naksir anak orang (masalah percintaan). 'Beban' untuk selalu tampil cantik lantas dipikul dan jadi tugas yang entah kapan bisa selesai. Usaha menjadi chakep dengan punya kulit terang pun dilakukan. Nah, produk-produk kosmetik pemutih kulit yang bejibun jenisnya di pasaran, sudah menunggu-nunggu buat dipilih.

Tak jarang juga, usaha ini dilakukan supaya lebih mudah masuk ke bursa kerja, sebab kriteria 'berpenampilan menarik' memang dekat diartikan dengan punya kulit terang. Media-media (yang hampir semua terobsesi juga dengan penampilan perempuan), baik tulis, cetak, radio, televisi, serta lingkungan sosial (misalnya keluarga atau pertemanan), juga kerap berbicara dan menggambarkan bagaimana (penting dan) mudahnya kehidupan bagi orang-orang cantik berkulit terang.

Lihat saja iklan yang pernah dibuat Pond's berjudul Love Conquers All yang dibuat beberapa tahun lalu itu. Kulit putih nan cantik, bahkan digambarkan mampu menggagalkan upaya penggusuran! Kurang spektakuler apa cobak.

Checking Myself, by Amalia Nur Fitri, copyleft
Dalam beberapa kasus, obsesi punya kulit putih ini juga sangat membahayakan. Vice pernah mencatat, kalau bisnis memutihkan kulit seperti skin bleaching (pemutihan kulit), pengelupasan kulit dengan zat kimia, laser, krim, losion, obat, sampai suntik putih bisa mendatangkan resiko kesehatan yang nggak main-main. Hal terburuknya, kena kanker kulit atau gagal ginjal. Mungkin bagi orang yang punya kemampuan finansial mumpuni, merawat kulit dengan bahan-bahan aman sembari ditangani dokter profesional mudah saja dilakukan. Tapi bagaimana dengan mereka yang datang dengan kemampuan ekonomi pas-pasan dan mencekik?

Usaha keluar dari lingkaran kemiskinan dengan pekerjaan bagus, mau tak mau menceburkan mereka ke bahan-bahan kimia berbahaya seperti mercury, kadmium, bahkan arsenik supaya bisa tampil menarik sesuai standar penyedia lowongan kerja. Mau bagaimana lagi? produk pemutih tak bermerk  dan berbahaya itu yang bisa dijangkau, sih. Kalau sudah begitu, susah untuk tidak meneropong lebih jauh perkawinan kapitalisme dan misoginisme dalam industri kosmetik yang diakibatkan norma kecantikan ini.

Oke, kembali lagi ke pembahasan bukunya...


Buku Ni Luh Ayu Saraswati berjudul Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional terbitan Marjin Kiri, jadi sangat seru dan tentunya bermanfaat untuk dibaca. Buku yang diganjar penghargaan Gloria Anzaldua ini adalah buku pertama yang secara spesifik meneliti akar hierarki kecantikan di Indonesia. Di sini, penulis juga mematahkan teori bahwa obsesi memiliki kulit putih disebabkan oleh kolonialisme Eropa di Indonesia.

diambil dar akun twitter @marjinkiri

Nah, untuk melacak peredaran citra kecantikan di Indonesia tersebut, penulis menggunakan pendekatan sejarah. Ia membagi periodisasi waktu menjadi tiga bagian; masa pre-kolonial, masa kolonial, dan pasca-kolonial. Selain pendekatan tersebut, pisau analisa "afek" atau emosi, juga digunakan untuk mengeksplorasi bagaimana cara-cara emosi manusia dibuat 'terlihat' dan diedarkan melalui citra-citra kecantikan, sehingga standar kecantikan tertentu bisa berkelana secara transnasional (melintasi batas georafi negara). Akhirnya, persoalan memiliki kulit cerah tak lagi soal 'pilihan personal' saja, tapi bersinggungan dengan pembentukan hierarki ras, gender, dan warna kulit, serta produksi afek yang kolektif di Indonesia.

Mulai dari Ramayana, Penjajahan, hingga Femina

1. Masa Pre-kolonial

Ni Luh Ayu mengawali pencarian dengan meneliti epos Ramayana. Karya ini dipilih sebab selain populer, penulisannya juga memiliki tujuan politis tersendiri. Di India Kuno, di mana karya Ramayana lahir, epos tersebut dibacakan dan disebarkan untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual raja-raja dan rakyat suku Arya (hal. 36). Rama direpresentasikan mengambil bagian dalam penyebaran budaya Arya di India Selatan. Sementara di Indonesia, Ramayana digunakan untuk menghidupkan kembali ajaran Hinduisme, yang mulai kalah saing dengan ajaran Budhisme pada abad ke-7. Teks ini memang ditulis untuk dan oleh elite istana, yang didominasi laki-laki pula. 

Epos Ramayana yang diadopsi dari India Kuno ini juga disebut oleh sejarawan Lurie Sears, sebagai situs 'kontestasi dan akomodasi', dalam artian, seniman Jawa Kuno mengadopsi dan mengadaptasi konsep-konsep tertentu dari tempat lain untuk melejitkan kapital budayanya sendiri. Dengan demikian, Ramayana versi Jawa yang diadaptasi dari India, turut membawa standar kecantikan India Kuno ke Jawa, dan diadaptasi dalam konteks Jawa. 

Standar kecantikan India Kuno dalam Ramayana, terlihat dari metafora-metafora dalam menggambarkan wajah Sinta yang 'seterang bulan purnama'. Tak hanya wajahnya saja, giginya pun dijelaskan 'putih bak kristal'. Sementara itu, untuk menggambarkan hal-hal bermakna negatif, seperti duka, bahaya, kesedihan, kejahatan, kehilangan, dan lain-lain, di dalam teks Ramayana, digunakan penggambaran warna hitam atau gelap sebagai penandanya. Misalnya saat menggambarkan hukuman yang jatuh kepada seorang perempuan karena memakan daging Dewa Wisnu. Kulitnya digambarkan berubah menjadi 'sehitam celak'. 

Warnaisasi (diskriminasi berdasarkan warna kulit) tersebut, merupakan awal dan gerbang bagaimana benih-benih preferensi akan kulit terang dibangun. Warnaisasi di masa pre-kolonial, belum berkiblat pada ras tertentu. Dalam arti, preferensi 'kulit terang' yang disebutkan dalam Ramayana, bukan mengacu pada kulit terang Kaukasia. Namun, penggambaran warna gelap-terang tersebut, ditandai oleh emosi atau afek tertentu. Seperti putih, membawa citra positif seperti kebaikan, kelembutan, kecantikan, dan lain-lain. Sebaliknya, gelap atau hitam, membawa emosi yang negatif. 

Warnaisme ini, baru menemui paduan 'kliknya' dalam membentuk hierarki kecantikan gender, dan ras, saat masa penjajahan Eropa dan Jepang di Nusantara. 

2. Masa Penjajahan Belanda dan Jepang

A. Penjajahan Belanda

Di masa ini, preferensi kulit terang beririsan dengan identitas kebangsaan dan politik. Warna kulit terang (putih) 'masih' menjadi idaman dan primadona. Yang berbeda, saat masa ini, ada dua kategori ideal kecantikan, 'putih Eropa' dan 'putih Jepang'.

Pada periode kolonial Belanda yang puncaknya ada di tahun 1900 - 1942, perempuan Kaukasia berkulit terang menjadi 'teladan' kecantikan. Dalam membangun konstruksi kecantikan tersebut, melebur pula proyek rasial kolonialisme yang menempatkan Eropa sebagai ras yang superior dibandingkan dengan ras lain, selain menandakan pula kulit terang berkaitan dengan status yang lebih tinggi (punya akses sosial dan ekonomi lebih luas).

Proyek-proyek rasial ini mencangkup sistem izin dan tinggal, sistem budi daya, dan penegakan hukum Salah satu kebijakan kolonial yang menjadi proyek rasial adalah Sistem Tanam Paksa tahun 1830. Belanda memperkaya diri sendiri dengan merampas tanah dan hak pekerja. Mereka memiskinkan pribumi dengan mewajibkan mereka membayar sewa dan membagi dua per lima hasil tani mereka. Sebagai tambahan, kebijakan kolonial ini juga merupakan pengenalan masyarakat Hindia, khususnya kaum buruh, kepada "uang" sebagai alat tukar. (hal. 72)

Selain Sistem Tanam Paksa, proyek rasial juga diwujudkan di bidang hukum. Sejak 1854, orang Eropa dan non-Eropa diberikan dua kitab undang-undang hukum terpisah dan berbeda (kewargaan, perdagangan, perdata, dan pidana). Dari berbagai proyek rasial tersebut, mau tak mau 'menampilkan' keeropaan makin penting di Hindia. Jika ingin punya kehidupan lebih baik atau (kalau beruntung) diakui oleh elit kolonial, paling tidak seseorang harus menampilkan keeropaannya.

sumber: Indonesian Expats

Walau konsep keeropaan tak jelas, tapi hal itu akhirnya dibangun secara kasat mata. Nah, perempuan Belanda yang kena getahnya di sini. Mereka terdorong untuk menghias diri dan keluargnya dengan artefak-artefak budaya. Mereka belajar dari manual-manual kolonial, komoditas mana yang tepat mereka kenakan serta berprilaku yang pantas (Schulte 1997, 26).

Beban menjunjung "prestise kulit putih" terletak di pundak mereka. Sejarawan Elsbeth Lochter-Scholten menambahkan juga, manual-manual yang ditulis untuk perempuan kulit putih di Hindia dan menunjukan bahwa perempuan kulit putih dianjurkan untuk bereaksi lewat "tindak tanduk bijak dan terkendali", dan saat menghadapi para pembantu mereka harus "tenang, jaga diri, tak pernah marah, selalu tegas, dan lebih unggul". Emosi yang tak pantas dapat menurunkan prestise mereka.

Di sanalah emosionologi kolonial bekerja. Ia menjadi sebuah aparatus afektif (yang penting) untuk menandai identitas seseorang, sebuah identitas yang diregulasi dan diekspresikan melalui emosi. Kolonialisme bergantung pada kemampuan perempuan Belanda untuk memamerkan tanda-tanda prestise kulit putih tidak hanya pada penanda material dan kultural, tetapi juga kecenderungan psikologis dan emosional yang diatur dalam "emosionologi kolonial". Ini pula yang menjadi sebuah alat mendisiplinkan tubuh perempuan kulit putih.

Nah, 'komoditas' Eropa itu, ikut dikonsumsi pula oleh Pribumi, Indo campuran, Cina, serta para priyayi (aristokrat dan birokrat Jawa) sebagai bentuk kapital budaya. Mereka semua menjalankan kebudayaan Eropa untuk memajukan prestise, karir, status sosial politik mereka (Onghokham 1997, 177 -179; Soekiman 2000, 36).

Dengan demikian, kolonialisme semata-mata hanya memperkuat gagasan yang sudah ada sebelumnya bahwa orang berkulit terang berstatus lebih tinggi. (hal. 70)

B. Kependudukan Jepang


Memasuki kependudukan Jepang sejak Maret 1942, proyek rasial berusaha dibangun ulang oleh Jepang. Kali ini, Jepang berusaha melahirkan hierarki ras baru. Sama halnya seperti penjajahan Belanda, proyek rasial ini dibangun melalui berbagai kebijakan. Salah satunya mendirikan kamp-kamp interniran untuk mengisolir orang Eropa dan Eurasia. Pada prakteknya, orang Eurasia lebih banyak tertangkap dibandingkan dengan Eropa. Orang Indo atau Eurasia dianggap ras inferior dan kerap jadi sasaran hukuman.

Sementara alasan pemberlakuan kebijakan ini, penulis menyebut bisa saja berhubungan dengan kebudayaan Jepang yang menjunjung tinggi homogenitas dan kemurnian ras. Supaya orang Indo atau Eurasia bisa terhindar dari hukuman Jepang, mereka harus mampu menunjukkan setidaknya 50% darah Indonesia dan mengadopsi gaya hidup orang Indonesia. Nah, jika di masa sebelumnya para pribumi berlomba-lomba menjadi 'Eropa', di masa kependudukan Jepang, hal itu ditanggalkan beramai-ramai, bahkan orang Eurasia atau Indo berusaha menutupi/meninggalkan keterikatan mereka dengan leluhur Eropanya.

keluarga dari perkawinan campur (Indonesia dan Eropa) sumber: istimewa

Jepang juga melancarkan propaganda yang menanamkan gagasan superioritas ras Asia, untuk meyakinkan orang Indonesia jika mereka punya peran penting dalam perang Jepang. Tak tanggung-tanggung, Jepang mulai menugaskan seniman-seniman untuk mengarang lagu, tarian, drama, dan pidato (pro Jepang/Asia) yang nantinya disiarkan melalui radio, film dan majalah.

Jepang turut menggunakan pewayangan untuk menggaet dukungan orang Indonesia. Beredar pula kisah perjuangan Pandawa (melambangkan Indonesia) dan Dewa Matahari (melambangkan Jepang) melawan perang. Bahkan tarian di tanah Sunda berjudul "Tari Meruntuhkan Amerika/Inggris" juga diciptakan demi memperlihatkan keunggulan bangsa Asia atas Eropa. Ini dilakukan supaya propaganda dan proyek rasialnya bisa 'rata' menjangkau semua masyarakat. (Yuliati, dkk, 2006, 6).

Dan benar saja, propaganda Jepang ini berhasil menarik pribumi. Seorang nasionalis laki-laki bernama Soewandhie berkata jika kedatangan Jepang di Hindia setelah masa penjajahan kulit putih Belanda, harus disambut dengan gembira. Ia mendeskripsikan apa saja bentuk-bentuk keasiaan itu dengan menyebut filsafat India, kesusastraan Persia, dan etika Cina.

Tak hanya Soewandhie, jurnalis perempuan di surat kabar Djawa Baroe bernama H. Diah, menulis perbandingan gaya dan sikap perempuan Nippon dengan Amerika. Ia menulis jika gaya dan sikap perempuan Nippon "menarik" karena mereka "jelita", sedangkan perempuan Amerika "menantang". Ia menutup tulisannya dengan penekanan ,"Timur adalah Timur, Barat adalah Barat, dan keduanya tidak akan pernah dapat bertemu".

Ada sebuah sentimen dan perasaan yang berusaha diedarkan seolah negara-negara Timur seperti Indonesia dan Jepang bisa bekerja sama, sementara dengan Amerika atau negara Barat lainnya tak bisa. Artikel itu bekerja untuk mengedarkan perasaan tertentu dan identitas tertentu, untuk menciptakan "perasaan mengakar".

Proyek rasial ini lebih lanjut kelihatan pula dalam wacana kecantikan perempuannya. Tentu saja ada upaya rekonstruksi ideal kecantikan perempuan yang dilakukan Jepang di masa ini. Dalam terbitan seperti Djawa Baroe dan Almanak Asia Raya kerap menampilkan perempuan Indonesia dan Jepang sebagai perempuan cantik. Bermunculan pula rubrik-rubrik seperti "Puteri Nippon", "Bintang Film Nippon", dan "Poetri Indonesia jang tjang tjantik molek". Deretan foto-foto perempuan yang dianggap cantik itu, semua konsisten memakai pakaian adat dan berkulit terang. Untuk menandingi citra perempuan Eropa modern, Jepang menampilkan dan menghidupkan kembali citra ideal kecantikan Asia tradisional, dengan penanda pakaian adat tradisional asal Jepang dan Indonesia.

Tapi sayang, usaha Jepang merekonstruksi ideal kecantikan baru, tak lepas dari preferensi kulit putih dan kulit terang. Masyarakat Jepang (dan Cina) memang lebih suka warna putih dan menyebut diri mereka sendiri "putih". Dari sini, ambivalensi muncul, sebab sebutan 'putih' ini mengacu pada kulit mereka, bukan ras.

Jepang sendiri sebetulnya sudah menganggap warna putih sebagai warna yang cantik dan baik, sementara hitam itu buruk, sebelum menjalin kontak apapun dengan Eropa dan Afrika. Warnaisme ini hampir sama dengan yang terjadi di masa pre-kolonial Hindia. Antropolog Hiroshi Wagatsuma menampilkan sebuah bukti warnaisme yang terjadi di Jepang melalui potongan pribahasa Jepang kuno berbunyi, "kulit putih menutupi tujuh kelemahan; kulit terang perempuan membuat orang mengabaikan ciri fisik lain yang dihasratkan tapi tak ada."

sumber: JPN Info

Preferensi kulit putih di Jepang juga berjalan seiring perkembangan sosial, politik, dan budayanya. Bagi Jepang, putih sudah menjadi ideal kecantikan sejak abad ke-8 hingga ke-12. Ini terlihat dalam karya kesustraannya. Putih juga menjadi perlambang kelas atas, sebab mereka tak perlu bekerja di luar rumah dan membuat kulit terbakar. Preferensi kulit putih Jepang, baru terintegrasi dengan Eropa di abad ke 19, tepatnya di periode Meiji. Melihat Eropa sebagai 'panutan', juga menggeser preferensi putih jepang, menjadi putih Eropa.

Ini kembali bergeser pula saat Jepang terserang badai ideologi ultranasionalis tahun 1930an. Putih Eropa digeser lagi dengan putih Jepang untuk menyatakan bahwa mereka lebih unggul dari Eropa. Di masa pasca Perang Dunia II dan era kontemporer, Jepang masih kuat menggenggam preferensi kulit putih, sembari mengagumi putih Kaukasia.

Dengan demikian, wacana subjektivitas kulit putih tak hanya dimiliki oleh Eropa. Baik Indonesia dan Jepang, memiliki ideal kecantikannya sendiri. Walau ras Asia menawarkan rekonstruksi kulit ras unggulan, putih masih menjadi warna yang disukai dan diidamkan.

3. Masa Pascakolonial sampai Kontemporer

Lepas dari kependudukan Jepang, Indonesia dipimpin oleh Soekarno. Soekarno juga punya sikap anti-Barat dan kepedulian dengan masalah ras dan bangsa (dalam taraf tertentu, masalah gender). Seruan ikoniknya kepada negara Barat, "go to hell with your aid" jadi penanda ideologinya itu. 

Inilah penyebab sedikit sekali poduk pemutih wajah yang diiklankan di masa kepresidenan Soekarno. Uniknya, di masa ini penggunaan kata 'putih' digantikan dengan 'kuning'. Resistensi ini sebetulnya sudah terlihat di masa kolonial untuk melawan dominasi putih Eropa. Contohnya dalam tulisan Tirto Adhi Soerjo di Medan Prijaji tahun 1909, dalam menggambarkan Nyai Ratna, "sungguh, bukan putih, tetapi kuning". Tapi tentu saja kuning yang dimaksud adalah kuning terang atau langsat, bukan kuning gelap (?) apalagi kuning Spongebob. Ngeh.

Memasuki pemerintahan Soeharto di tahun 1966, negara-negara Barat sangat mendukung presiden kedua Indonesia ini. Kebijakan ekonomi Indonesia di bawah Soeharto sangat dibantu oleh Amerika dan negara Barat lainnya. Dengan demikian, ideologi Barat kembali masuk dan mendominasi kebudayaan Indonesia lewat kucuran bantuan ekonomi tersebut. Karena aliran dana dari Amerika dan negara Barat lainnya itulah, perkembangan industri di Indonesia tumbuh signifikan. 

Di masa pemerintahan Soeharto inilah industri percetakan ikut tumbuh subur. Majalah-majalah wanita seperti Femina pun lahir. Bersamaan dengan itu pula, idealisasi kecantikan dibentuk kembali. Seperti halnya pemerintahan Soekarno, kiasan-kiasan yang menandai kecantikan ideal juga dibentuk di masa pemerintahan Soeharto. 

Di masa Soeharto, kiasan-kiasan spasial digunakan untuk menandai ideal kecantikan dan ras yang merepresentasikan tempat tersebut. Di sini, Amerika dan Eropa ditampilkan sebagai asal kecantikan yang otentik dan juga tempat yang indah. Contohnya adalah iklan sabun Lux di mana Widyawati jadi model iklannya. 

sumber: http://4.bp.blogspot.com/

Paris secara afektif digambarkan sebagai tempat membahagiakan dan diinginkan berkat kemajuan dan modernitasnya. Paris bahkan dapat merubah penampilan Widyawati, sebab dirinya mendapat saran paling maju mengenai kecantikan, yang tidak ada di Indonesia. Conradson dan Latham mengatakan Paris sebagai "peluang-peluang" afektif dari sebuah tempat yang membanggakan (119).

Apa yang digambarkan oleh iklan Lux itu, mewakili satu dari banyaknya konsep emotionscape yang dipopulerkan oleh Arjun Appadurai. Emotionscape dalam iklan-iklan kecantikan ini berkelana dan beredar secara transnasional dan membentuk lanskap dari perasaan-perasaan dominan tentang objek tertentu di mana emosi dilekatkan. Iklan Lux menarasikan bahwa cantik putih yang akan membawa kebahagiaan adalah cantik putih Eropa, atau lebih tepatnya Paris.

Bahkan sebetulnya, sebutan putih Kaukasia juga merupakan bentuk dari emotionscape, sebab Kaukasia itu mengacu pada sebuah daerah pergunungan Kausus. 

Dari sini, ternyata narasi bangsa berdasarkan gender dan ras, bisa diartikulasikan melalui ruang. 

(bersambung)


Sabtu, 16 Desember 2017

Running Between The Bushes to Come Home

That music sometimes still plays in my head. The one that I heard, when I first bumped and met him at that art festival. The weather was so fine,  it was gloomy. I have never felt myself that comfy and happy for months but that day. I talked, joked, and laughed a lot. Rain started to fall, left me smiling. I remembered how he smiled then, because my head was stuck on his jacket. 

It was odd, because I have ever lived there for a year before. But that music, people, and him, instantly made me like a foreign. I used to associate that city with nephews, Islamic literatures, old books, PKS, and my aunty before. But since that day, the one I recalled easily was him. 

Pasar Seni ITB (source: Merdeka.com)
I am just another girl that passed. Have so deeply smelled his neck and back, so that I found his mom, sisters, and father. They dragged me. I did know what happened to me, but I wanted to see and take care of them. Why? Then I guessed, maybe I started to fall in love? Or maybe I just want to fix someone else's life? I never know, because mine is fucked up as well. 

My body is a dynamite, can bomb me anytime it pleases. Being with it, both amazing and exhausting. Some day I dont want to live with it, some day I love it too much it hurts. Should I open my skin and take off my skull, then let somebody see the heartbeats again? I doubted it so much. But, his mom, sisters, and father won me

I started singing in the way, hugged him tightly. He always answered my song, then we sang together on motorcycle. I did not mind the rain or cold, for I have already drowned. It really did not matter. One day, I sang alone. He was straight to the road, thinking about something. I just bombard him questions, he was pissed off. 

I could hear what he wanted, he screamed in his head. It was projected through his eyes, whose always refused to look at me. I knew he hide something awful. I knew he had been comparing me with another. He glared at me. I never knew he could do that with his eyes. I was scared and afraid, once again I became foreign.Why didn't you talk to me? Ah, that glaring eyes again. 

I never really know about proper dating etiquette, specially in this fucked up modern world. For these two years, the things I knew were loving, committing, and commitment to love. I never really know about being the 'cool girl' or being 'someone to be proud of'. Once I have ever felt the same way as his's too, I started to zero. I came back to his mom, sisters, and father. Came back to my mom, sisters, and the late father. I tried to love when I did not want to and when they can't be.  I just tried so hard.

But after all, I was just another girl that passed. Nothing really matters about me. Nothing to fight for. Nothing is worth for. Just like he assumed, I was just a shallow - reactive gal that passed. I was not enough and he cant commit.

I realise that I am not a dynamite but a Tsar Bomba. I no longer scare and afraid of him but myself. Within rage, I was just expecting another explosion. Suffocate, rash, vomit, and then that ward again. That formal and superficial smile again. Those questions and pills I refused. Has everything always something to do with my childhood? Hello, Freud? I have my own social mechanism too, dear mental experts. Never mind, I am done. 

The only precious thing right now is raining. It has been always raining. I still dont mind, for I have drowned and burned inside. I dont want to hold grudge and hatred no more. I belong to nothing and no one, but this foolish creature called myself. I am enough. 

Hyogo Prefecture, Japan (source: google)
The music still plays in my head. But the things that remain now, are just the rain and the smile. And that's okay. I have ran between the bushes at the dawn in my dream. It felt peaceful. I cant wait to go home and have a deep nice sleep. 

Minggu, 10 Desember 2017

Pergi Ke Surga Bersama Sitor Situmorang

Awal berkenalan dengan karya Sitor Situmorang memang nggak sengaja. Waktu itu, sekitar semester 4 atau 5 ketika kuliah (ya, sangadh teladh), seorang teman minta bantuan saya untuk ngerjain tugas di kelas menulisnya. Mata kuliah itu diampu oleh jurusan Sastra Indonesia dan menurut keterangannya, sang dosen suka sekali dengan karya pujangga modern Indonesia. Karena wawasan sempit, saya cuma tahu Pramoedya Ananta Toer saja. Jadi didorong oleh sogokan yang mantap karena penasaran, saya buka Youtube mencari video Pram untuk inspirasi menulis. 

Nah, dalam pencarian saya itu, saya ketemu video berjudul Sitor Situmorang en Pramoedya Ananta Toer. Dalam kapsi, dijelaskan video diambil oleh Afrizal Malna, seorang sastrawan yang layak kepo, di tahun 2004 saat ulang tahun Sitor Situmorang ke-80 tahun. Seru sekali melihat keakraban dua sastrawan itu, saya jadi bertanya-tanya (dan sotoy) siapa lelaki Batak temannya Pram ini? Setelah kepo sana-sini, ternyata saya memang lebih familiar dengan puisi-puisinya ketimbang sosok beliau. Sebagai contoh, siapa yang tak pernah bertemu penggalan sajak ikonik berjudul Malam Lebaran yang cuma sebait tapi mampu bikin perih? Malam itu, saya dapat inspirasi banyak dari puisi-puisi Sitor.

Portrait: Sitor Situmorang by Amalia Nur Fitri, copyleft

Singkatnya, tugas teman berhasil diselesaikan dan kabarnya dia dapat pujian dari dosen. Bahkan teman saya bilang, tugasnya dijadikan acuan buat anak-anak lain di tugas berikutnya. Wah, saya kegeeran banget . Dari sana jadi bertambah intens ngepoin karya-karya sastrawan modern Indonesia, pokoknya selain Pram. 

Dibandingkan cerpen, karya puisinya Sitor memang jauh lebih dikenal. Bagaimana tidak? beliau menciptakan 605 puisi, sementara untuk cerpen 'hanya' mampu menghasilkan 23 saja sepanjang hidupnya. 23 cerpen ini, dikumpulkan oleh sejarawan JJ Rizal dalam buku berjudul 'Ibu Pergi ke Surga' dan diterbitkan Komunitas Bambu di tahun 2011. Walau hanya 23 cerpen, menariknya perjalanan hidup dan pemikiran Sitor seolah terekam baik di dalamnya. 

Dari Eropa - Legian - S(ibolga)

Dalam buku kumpulan cerpen ini, cerita favorit saya memang yang berhubungan dengan kampung halaman Sitor di Sumatera Utara, yaitu Kota S, Ibu Pergi ke Surga, Jin, Kehidupan Danau Toba, Perjamuan Kudus, dan Harimau Tua. Lalu kisah teman-teman 'luar negerinya' yang juga seru diikuti dalam Kisah Surat dari Legian, Suatu Fiksi dalam Fiksi, dan Peribahasa Jepang. 

Sementara kisah-kisah berjudul Kembang Gerbera, Fontenay aux Roses, Cheri, Perawan Tengah Hari, Salju di Paris, Kereta Api Internasional, dan Cinta Pertama, memang menangkap pengalaman dan perjalanan Sitor saat dirinya di Eropa. Lalu, gelora nasionalis dan nuansa pasca perang kemerdekaan, bisa dirasakan dalam Pertempuran, Kasim, Pangeran dan Diplomat Muda. Sementara kisah-kisah seperti Jatmika dan Jatmiko dan Begitulah Selalu Kalau Hujan seperti menunjukan sisi guyon tapi tetap bermakna, dari penyair asal Desa Harianboho ini. 

Kisah yang meninggalkan kesan buat saya adalah Ibu Pergi ke Surga dan Perjamuan Kudus. Kedua cerpen ini, seakan berkelanjutan dan berhubungan satu sama lain. Di sisi lain, ada nilai-nilai budaya dan ideologi yang mampu dirangkai dengan gaya bahasa puitik asyik nan aduhay ala Sitor. Sungguh, saya jatuh hati dengan gaya bahasa dan cara berceritanya, memuaskan dari segi penikmatan bahasa. 

foto: Istimewa

Dalam cerpen Ibu Pergi ke Surga, Sitor menceritakan kematian ibu, yang juga seorang penganut Kristen taat. Dalam cerita itu, saya menangkap nuansa The Stranger (l'Etranger) dari Albert Camus yang lumayan kental. Tapi, dalam penggambaran Sitor, pergulatan emosi tokoh-tokohnya jauh lebih mudah saya ikuti dan pahami. Kematian ibu dalam kesunyian, dalam cerpen Sitor, memiliki konklusi bahwa kematian tak harus disambut dengan duka. Ya, tentu ada kesedihan di sana, tapi beliau meninggalkan pembaca merasa terharu bahagia dengan kematian ibu. Ini pula yang tergambar dalam sajak Sitor berjudul Membalas Surat Bapak yang seakan mengurai cerpen tersebut,

Ketika Ibu Meninggal
kutulis sajak
tentang derita - 
Dunia melupakannya.
Kemudian kutulis cerita 
bagaimana ia ke surga,
Dunia terharu - 
Tentang duka tak sepatah.

Jika mencomot penjelasan JJ Rizal, Sitok ternyata memang merasa 'tak dapat melakukan kontak' dan mengalami rasa hidup mirip tokoh The Stranger-nya Camus. Sitor bercermin melalui tokoh novel tersebut, yang dengan cara berbeda menghadapi diri dan sekitarnya, orang asing yang sekaligus hadir atau tak hadir di dunianya. 

Dalam cerpen itu juga tergambar jika ibu dan ayah, memiliki keyakinan yang berbeda. Ibu adalah seorang Kristiani taat sedangkan ayah adalah penganut kepercayaan Parmalim. Hal itu tergambar dalam dalam adegan pembacaan mantra dan makan tumbukan. Dalam Perjamuan Kudus, yang menceritakan upacara menyambut kematian ayah, yang tidak juga mati di usianya ke-113 tahun, tergambar jika kepercayaan tersebut sedikit banyak sudah 'dimandikan' Kristen. Tapi satu hal yang menjembatani perbedaan tersebut adalah kesetiaan pada adat dan budaya Batak yang kental. 

Sitok dan Feminizma


Hal menarik lain yang saya temui dari pembacaan cerpen Sitor adalah pandangannya soal feminisme. Ketika bercerita dalam Kisah Surat dari Legian, ia menceritakan perjalanan hidup Yulia, seniman kulit putih kelas menengah asal Jerman yang punya gaya hidup hippies. Menurutnya Yulia lebih 'jelas' dibanding Kate Millet, yang menurut Sitok tak bisa menjadi realis tanpa vulgar. Sitok sepertinya menyindir karya lukisan dan foto-foto Millet bertajuk Lesbia - Erotica di sana. Sepertinya menurut Sitok, feminis yang baik tak perlu harus jadi sinis dan frustasi tentang gendernya. 

Dalam pemahaman saya yang terbatas, Sitok agaknya sinis terhadap gerakan feminis Eropa dan Amerika di tahun 1960-an, terutama soal gerakan seksualitasnya. Ini tercetak dalam bagian, "ia (Yulia) juga bukan seorang feminis, karena ia sudah biasa hidup dan bekerja sebagai rekan penuh dalam kelompok laki-perempuan tanpa diskriminasi yang terlebih dimungkinkan pergaulan seniman seperti yang dia alami." 

Untuk bagian itu, saya kurang setuju dengan beliau. Mungkin bagi saya, yang punya pemahaman terbatas, latar belakang dan pengalaman politik, seksual, ideologi dan bahkan ekonomi yang dimiliki Yulia dan Kate berbeda satu sama lain. Jika Yulia tak merasa harus frustasi dengan gendernya dan tak mendapat diskriminasi, bukan berarti pengalaman frustrasi Kate Millet tak penting dan tak nyata untuk didengar dan dipahami. Seperti halnya pembaca diajak Sitok untuk memahami krisis kejiwaan Yulia seputar identitas Barat dan Timurnya saat menginjakan kaki di Bali, pengalaman Kate Millet yang didiskriminasi karena patriarki hanya karena orientasi seksualnya, layak ditengok dan disaksikan pula.

Bagaimana pula, Kate Millet mampu mengupas hubungan opresi dan diskriminasi perempuan dalam institusi perkawinan dan keluarga, selain heteroseksisme, yang dipandangnya kuat menyokong sistem patriarkat dalam karyanya babonnya, Sexual Politics. Dia juga yang ikut menggaungkan jargon, "The Personal is Political" untuk geng-geng feminis gelombang kedua. 

Terlepas dari pandangan Sitor soal feminisme, membaca karya cerpen dan puisinya tetap mampu mengisi batin. Dalam arti, ada kepuasan tiap mengikuti alur berceritanya. Yang lebih penting dari kemampuan puitik bahasanya, dalam rangkaian pengungkapan cerpen Sitor terdapat pula kekayaan pemikiran dan emosinya. Ia punya warna dan karakter kuat dalam cerita-ceritanya. 

Mengingat tiga tahun kepergiannya hari ini, yakni pada 10 Desember 2017, memang tak berlebihan kalau menyebut karya Sitor sebagai salah satu monumen terbaik sastra Indonesia. Selain karya Pramoedya Ananta Toer, karya puisi dan cerpen Sitor Situmorang juga sangat layak dan perlu untuk (kembali) dikunjungi dan dibicarakan. 

Sabtu, 23 September 2017

Apa Itu Seksualitas yang Normal?

Beberapa waktu lalu saya sempat terlibat perang komentar dengan salah satu seleb medsos. Nggak penting kalau membahas siapa orangnya. Namun topik yang dibahas masih berkenaan seputar LGBT. Seperti yang sudah bisa ditebak, si seleb menyebut keberadaan medsos membuat perilaku LBGT dinormalisasi dan menurutnya itu membahayakan. Pernyataan yang cukup ironis memang, dari seseorang yang terkenal, dapat uang, bisa jalan-jalan, beli skincare, dan jualan buku, justru karena adanya medsos (saya tahu karena nonton beberapa videonya, hehe). 

Beberapa minggu kemudian, saya berhadapan lagi dengan topik yang sama. Kali ini bersama seorang kenalan yang berprofesi sebagai komika atau pegiat stand up comedy. Baik si seleb medsos dan teman baru ini, sama-sama berpandangan jika LGBT adalah sesuatu yang nggak normal. Bahkan salah satu dari mereka menyebut LGBT itu menjijikan. Saya sudah bisa menangkap arahnya, dan sama sekali nggak tertarik dengan pendapat soal 'menjijikan' itu. 

Bahasan tentang 'normal' dan 'nggak normal' yang mengiring wacana LGBT lebih membuat saya penasaran. Memangnya apa sih seksualitas yang normal? 



Katrin Bandel, Indonesianis berdarah Jerman pernah menulis tentang ini rupanya. Adanya ketidaksaamaan pemahaman mengenai orientasi seksual, membuat ada yang berpikir jika LGBT adalah sesuatu yang abnormal dan dosa. Nah, sebetulnya dari mana awal terbentuk konstruksi sumbang mengenai homosekualitas ini?

Dokter Barat Modern Abad ke-19


Katrin mengawali pencariannya dari hasil penelitian pemikir Perancis, Michel Foucault dalam bukunya berjudul The Will to Knowledge yang terbit tahun 1976. Di sana Foucault bilang homoseksualitas adalah ciptaan wacana Kedokteran Barat abad ke-19. Yang dimaksudkan di sini adalah homoseksualitas sebagai sebuah konsep, yang kini sering kita gunakan tanpa pernah menyadari bahwa konsep tersebut bukan satu-satunya cara memahami dan membicarakan seksualitas manusia. 

Di awal abad ke-19, para dokter-dokter ini mulai mendefinisikan sebagian hasrat seksual manusia sebagai normal, dan sebagian yang lain perversi. Nah, perversi ini diklasifikasikan lagi dengan lebih rinci, di mana di dalamnya terdapat homoseksualitas atau hasrat kepada sesama. Definisi kedokteran ini tidak sama dengan nilai agama yang sudah ada, yaitu menyebut sebagian hubungan atau tindakan seksual sebagai sebuah dosa. Bagi definisi kedokteran, hubungan seks antara laki-laki dan perempuan yang bukan istrinya adalah hal yang normal, walaupun tak sesuai dengan norma agama. Sementara hubungan atau tindakan seks antara dua orang laki-laki atau perempuan menurut definsi kedokteran modern dipandang sebagai abnormalitas dan bahkan penyakit.

Nah konsep perversi ini yang mengubah persepsi tentang seksualitas manusia. Ia dianggap sebagai suatu cacat yang menjadi bagian dari identitas seseorang. Dalam imajinasi para dokter-dokter itu, yang juga diamini oleh masyarakat luas, homoseksual menjadi sebuah jenis manusia yang berbeda, yang tidak sama dengan manusia 'normal' atau kaum heteroseksual. Warisan wacana kedokteran Barat inilah, yang menjadi mainstream dan membentuk pemikiran kita semua. Bagi masyarakat kebanyakan, homo atau hetero adalah sebuah identitas permanen yang kerap disebut orientasi seksual. 

Nah, dari penelusuran The Will to Knowledge, Katrin beralih ke buku lain yang masih ditulis oleh Foucault berjudul The Use of Pleasure yang keluar di tahun 1984. Di buku ini, Foucault meneliti konsep orang Yunani kuno tentang seksualitas. Mengapa Yunani Kuno? Menurut Foucault, Yunani Kuno memiliki pemahaman dan aturan tersendiri mengenai seksualitas, yang sangat berbeda dengan aturan dan pemahaman yang kita miliki sekarang. Budaya dan sejarah kuno Yunani mencatat jika wajar bagi seorang laki-laki terhormat Yunani memiliki istri dan juga melakukan hubungan seks dengan laki-laki, khususnya laki-laki yang lebih muda.

Hal yang diatur dari budaya tersebut adalah, laki-laki terhormat ini nggak boleh melakukan tindakan seks atau 'didominasi' laki-laki yang statusnya lebih rendah darinya. Ini menarik, sebab Yunani Kuno tak mengenal konsep homoseksualitas sebagai sebuah orientasi seksual permanen. Dari sini, Foucault memberi pemahaman mengenai apa yang kita kenal sebagai 'kebenaran' tentang seksualitas merupakan hasil konstruksi sosial dan punya sejarahnya sendiri. Pemahaman kita soal seksualitas, termasuk apa yang kita anggap normal atau nggak normal, bukanlah sesuatu yang terberi dan ajeg, melainkan lahir dalam konteks historis dan budaya tertentu.

Homoseksualitas dan Islam


Georg Klauda, sosiolog Jerman juga pernah melakukan penelitian berjudul 'Heteronormalisasi Dunia Islam' di tahun 2008. Ia mengaitkan penemuan Foucault di Yunani Kuno itu, dengan wacana seputar homoseksualitas di dan tentang dunia Islam. Kalau tadi Foucault bilang konsep homoseksualitas sudah lahir di abad ke-19, maka tentu dunia Islam tidak mengenal konsep tersebut dalam sekian abad. 

Yang kita tahu, Islam melarang melakukan seks anal, tetapi anggapan bahwa hasrat seksual tertentu bersifat abnormal tak pernah disebutkan dan tak ditemukan oleh Klauda. Menariknya, Klauda menemukan bahwa konsep homoseksualitas dan homofobia, justru diperkenalkan oleh orang Eropa di masa kolonial. Di masa itu, pengamat-pengamat Eropa mengekspresikan rasa jijik terhadap dunia Islam (dan budaya non-Barat lainnya), yang mereka pikir kelewat permisif dengan homoerotisme dalam pergaulan antar laki-laki. Sebagai salah satu wujud pengaruh kolonial, para elit-elit lokal (kaum pribumi) di negara Timur Tengah mulai mengadopsi 'kejijikan' itu dan mengubah adab pergaulan sesama lelaki. 

Klauda memberi sebuah contoh kasus yang terjadi pada dua remaja lelaki Iran yang dihukum gantung di tahun 2005. Mereka dihukum gantung karena melakukan seks anal. Berbagai institusi internasional HAM dan lembaga LGBT merespon dan mengecam hal tersebut. Namun, ketika dua remaja itu ditanya apakah meraka gay, mereka mengaku hubungan yang dilakukan itu ternyata lazim terjadi di lingkungan mereka. Mereka sama sekali tak memposisikan diri sebagai bagian dari kelompok minoritas yang memiliki orientasi seksual berbeda dengan kebanyakan orang. Bisa dikatakan mereka tak mengenal konsep homoseksualitas. Pembelaan yang datang dari lembaga HAM dan LGBT internasional akhirnya tak mampu menangkap dengan tepat apa yang sesungguhnya terjadi dalam peristiwa itu. Hingga akhirnya, mereka menemui ajal di tiang gantungan dengan delik kekerasan seksual.

Jadi Harus Bagaimana?


Ketika kembali pada sikap si seleb medsos dan teman komika serta sikap pribadi saya, kami memang punya pandangan yang sangat berbeda. Walau begitu, kita sama-sama resah oleh hal yang sama, yaitu konsolidasi identitas, khususnya identitas LGBT. 

Pemahaman manusia mengenai seksualitas beragam. Seperti yang sudah dicontohkan tadi, masyarakat Yunani Kuno, seperti yang diangkat Foucault, serta tradisi Islam yang ditemukan Klauda, hingga ketidakpahaman kita soal orientasi seksual sebagai identitas permanen, adalah bentuk pemahaman seksualitas yang beragam. Dari banyaknya pemahaman yang ada, tampaknya di masa kini pemahaman awal dari dunia kedokteran Barat abad ke-19, menjadi wacana dominan yang dipercaya masyarakat. Kita tak lagi mampu membicarakan seksualitas dengan cara yang berbeda, membayangkannya pun tak bisa. Dominasi tersebut tentu tak dapat dilepaskan dari adanya relasi kekuasaan global yang merupakan bentuk warisan kolonialisme. Konsep-konsep Barat modern inilah yang menggeser konsep-konsep lain. 

Jadi kita harus bagaimana? Daripada mengecam suatu pihak negatif atau salah sasaran dan kembali menggeber bahwa identitas seksual adalah konstruksi sosial, Katrin Bandel berkata, akan jauh lebih bermakna bila menyadari kompleksitas realitas hidup. Permasalahan LGBT sama sekali tak mudah dipetakan dan tak cukup hanya dengan 'pro hak LGBT' atau 'kontra hak LGBT'. Adanya pluralitas konsep mengenai seksualitas yang memperumit persoalan dan juga relasi kekuasaan global yang meminggirkan atau mengaburkan pluralitas tersebut, sangat penting untuk kita sadari dan pahami.

sumber: Istimewa




Sumber:

Bandel, Katrin. 2016. Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press. 

Minggu, 06 Agustus 2017

Amartya Sen, Ketiadaan Perempuan dan Ahok

Ketika kasus Ahok memenuhi layar kaca, media massa, dan media sosial, membaca karya Amartya Sen berjudul 'Kekerasan dan Identitas' keluaran Marjin Kiri, terasa sangat ideal. Perdebatan mengenai identitas seseorang, baik agama, suku, pekerjaan, dan lain lain, bisa memantik banyak hal, mulai dari rasa persaudaraan hingga permusuhan. Dalam level tertentu, perbedaan tersebut bisa memantik kekerasan seperti, pencabutan hak politik, hak bersosialisasi, perebutan hak akses ekonomi, bahkan pembunuhan dan genosida.



Kasus yang terjadi pada Ahok, pada permukannya, terbagi antara kelompok Islam ekstrim fundamentalis yang 'anti' terhadap Ahok, dengan kelompok 'pro' Ahok yang setia membela mantan Gubernur DKI Jakarta beragama Kristen keturunan Tionghoa tersebut. Gesek perbedaan identitas agama dan ras menjadi highlight kasus Ahok. Pemaknaan tunggal akan sebuah identitas, dianggap mampu membutakan manusia hanya dengan melihat dari agama atau ras saja. Padahal, tak semua Muslim mendukung kelompok fundamentalis tersebut dan tak sesama Tionghoa Kristen membela Ahok.

Sang penulis yang juga peraih Nobel di bidang ekonomi, Amartya Sen, seperti 'berani' melompat membahas permasalahan di luar 'rumahnya', yakni ranah sosial dan politik, ketika menulis buku ini. Sen sendiri pernah menyaksikan pembunuhan keji akibat identitas saat usianya baru menginjak 11 tahun. Saat itu, tahun 1944, terjadi bentrokan hebat antara kaum Muslim dan Hindu di India.

Bentrokan itu menyebabkan kaum Muslim India menjadi target pembunuhan karena dianggap biang kerok jatuhnya perekonomian India (familiar?). Salah satu korbannya, Kader Mia, seorang buruh yang kelaparan, terpaksa bekerja demi menuntaskan lapar dan memberi makan keluarganya. Kenekatannya keluar rumah saat kelompok Hindu bertebaran, membuatnya menjadi korban penusukan. Ia tergelepar di depan pintu rumah keluarga Sen mengharap pertolongan. Namun nahas, Kader Mia meninggal dalam perjalanannya menuju rumah sakit. Peristiwa tersebut membuat Sen trauma dan kebingungan, "Mengapa seseorang bisa berbuat sekeji itu hanya karena perbedaan identitas?"

Penolakan Terhadap Identitas Tunggal


Dalam buku ini, Sen secara tegas mengkritik pemikiran tunggal terhadap identitas. Tak hanya itu, ia juga sangat passionate membahas tentang globalisasi, terorisme, Irak, dan keadaan masyarakat multikultural. Manusia, menurutnya, tak bisa hanya diafiliasikan hanya dengan satu identitas saja. Seorang Muslim, bisa berafiliasi dengan partai politiknya, hobinya, ras, pekerjaannya, dan lain-lain. Seorang pejabat Muslim bisa melakukan korupsi atau pemerkosaan, tanpa ia harus melepaskan identitas Muslimnya. Begitu pula dengan seorang Hutu. selain bagian dari suku yang membunuh suku Tutsi, ia bisa jadi adalah buruh, seorang ibu, seseorang dari Kigali, warga Rwanda, sekaligus warga dunia. 

Sen juga mengkritik The Clash of Civilization dari Samuel Huntington, karena terpaku pada pengelompokan yang sederhana berkisar identitas. Menurutnya, teori bentrokan kebudayaan yang menjadi kerangka pemikiran Huntington menunjuk perbedaan agama sebagai hal yang membedakan kebudayaan. Ini merupakan bentuk kesembronoan Huntington, sebab hal tersebut memperkuat ketunggalan identitas, yang gagal melihat jikalau kerjasama antar kebudayaan yang selama ini terbangun juga berkontribusi membangun manusia. 

Hal menarik lain yang saya temukan dalam buku ini adalah pembahasan mengenai fundamentalisme agama. Dari pembahasan tersebut, saya baru terpapar informasi jika konflik tak berkesudahan di Timur Tengah merupakan andil negara G-20 (kecuali Jepang) dalam perdagangan senjata. Layaknya bisnis pada umumnya, bisnis konflik ini mau tak mau harus terus dijalankan agar pihak-pihak 'elit' selalu untung. Namun, hal ini secara sederhana hanya dilihat atas perbedaan antara Sunni - Syiah. 


Sen menawarkan solusi untuk menjernihkan pandangan dengan kembali memahamai afiliasi yang berbeda. Ia berkilah bahwa pengetahuan atau intelektualitas penting dimiliki agar dapat memahami identitas secara lebih komprehensif. Menurutnya dengan memahami perbedaan dan persamaan identitas dan afiliasi yang kompleks dan tak tunggal, akan menghindarkan dari bibit kekerasan. Dengan pemahaman atau intelektualitas dalam melihat perbedaan, kita akan lebih baik dalam melihat persoalan antara Barat dengan Islam. 

Intelektualisme adalah Koentji? Hmmm....


Menurut saya, buku ini memang sangat personal bagi Sen. Namun begitu, saya bertanya-tanya sendiri ketika selesai menyelesaikan buku ini. Sen tidak menjawab mengapa kita sangat senang mengelompokkan diri berdasarkan identitas tertentu? Apa ada hubungannya dengan proses kognitif dan psikologi? 

Lalu, apakah benar dengan mengikuti solusi Sen dengan bertumpu pada kemampuan intelektualitas, akan menjamin kita terhindar dari konflik dan kekerasan? Dan lagi, jika sumber utama konflik identitas yang terjadi merupakan akibat dari pemahaman tunggal terhadap identitas, bagaimana dengan keberhasilan gerakan perempuan seperti suffragette yang berangkat dari pemahaman identitas tunggal perempuan? Gerakan dimotori oleh identitas tunggal perempuan tersebut berhasil membawa pembaharuan dan kemajuan progresif dalam mengakomodir 'pertanyaan-pertanyaan' perempuan.

Amartya Sen
Senada dengan Michael A. Peters, saya berpikir Sen 'menafikan' kontribusi perempuan dalam melakukan perubahan dengan berangkat dari identitas. Feminis dan filsuf yang bicara tentang identitas dan ketubuhan perempuan, seperti Luce Irigaray, Simone de Beauvoir, Kathy Acker, mampu menghadirkan wacana subjek yang terpinggirkan dalam ruang sosial dan politik. Dari sana, perubahan kebijakan politik dan berbagai gerakan perempuan lahir dan terus berkembang.

Walaupun Sen sejatinya adalah seorang ekonom, tentu bukan alasan ia tak memakai paradigma studi budaya (cultural study) dalam menjabarkan identitas tunggal. Keringnya paradigma studi budaya dalam teori Sen, menghasilkan pertanyaan akan pengaplikasian teorinya dalam bidang pendidikan dan juga politik. Bagaimana dan dengan cara apa teorinya tersebut bekerja dalam bentuk undang-undang dan kurikulum pendidikan?

Di sisi lain, Sen menyebutkan Sartre katika membahas perbedaan 'Barat' dan Islam ketika ia sendiri seharusnya bisa menyebut Frantz Fanon dan Edward Said dalam kontribusinya memaparkan orientalisme Barat dan Timur.

Jika kembali pada kasus Ahok, solusi rasionalitas dan intelektualitas Sen terhadap gesekan perbedaan pemaknaan identitas, menurut saya tak jauh berbeda dengan pendapat kelompok yang menyalahkan masyarakat miskin kota atas kalahnya Ahok di Pilkada DKI Jakarta. Juga, menyalahkan orang-orang miskin sebagai pendukung gerakan Islam ekstrim fundamentalis. Sen hanya makin mengentalkan suara sembrono, yang mengatakan masyarakat miskin kota seolah tak memiliki rasionalitas dan prioritas dalam mempertahankan basis materialnya. Dalam tahapan tertentu, Sen masih terjebak pemikiran 'elit' yang belum tepat memahami kompleksitas kelas dan sosio ekonomi masyarakat. Tentu kita tahu, gerakan intoleran itu tak hanya diisi oleh orang-orang miskin, tetapi juga kelas menengah Muslim, serta kelompok aristokrat. Orang miskin yang menjadi korban penggusuran Ahok, tak punya pilihan tapi harus menjalin kontrak politik dengan gubernur baru supaya akses ekonomi dan sosialnya kembali lagi. Di sana, sudahlah janji belum pasti ditepati, suara mereka diambil begitu saja dalam gelaran politik elektoral. 

Di sisi lain, suara yang dikeluarkan oleh kelompok Islam fundamentalis tersebut, patut diwasadai. Gerakan intoleransi yang dibakar oleh semangat supremasi mayoritas, baik agama atau ras, berpotensi besar melahirkan opresi terhadap kelompok minoritas. Kemungkinan besar, suara intoleran tersebut makin menutup atau bahkan mencabut hak politik, sosial, maupun ekonomi kelompok minoritas di ruang publik. Pada taraf yang ekstrim, legitimasi untuk membunuh dan melenyapkan seseorang atas dasar ras, agama, atau ideologi politik semakin kencang, bahkan dianggap wajar dan perlu. Di sinilah kita kembali berhadapan dengan kemampuan pengaplikasian teori Sen, untuk menyembuhkan pemahaman akan identitas tunggal, yang juga kerap digunakan sebagai alasan kejatuhan ekonomi, pengangguran atau ketidakstabilan politik suatu negara. 

Akhir kata, jika benar kekerasan bisa dihindari mulai dari rasionalitas atau kemauan berpikir kita, di saat yang sama kita juga harus bisa menyadari bagaimana relasi identitas kita (ras, kelas, gender, kebangsaan, umur, agama, dll) bekerja. Apakah pandangan kita terhadap identitas tersebut merupakan konstruksi sosial atau apakah ia wujud esensialisme? Hal tersebut, menurut saya wajib untuk kembali diingat kembali setelah kita melewati masa modern yang dibentuk oleh Imanuel Kant dan Rene Descartes yang dualis dan agak 'ketinggalan jaman'. 

Sabtu, 05 Agustus 2017

Tentang Horor dan Sihir Perempuan

Kisah horor selalu punya magnet tersendiri. Bagi si pemberani maupun si penakut sekalipun, kisah horor selalu digandrungi karena punya sensasi katarsis berupa deg-degan, takut, dan histeris, lalu berganti rasa bahagia, plong, dan tenang. Atau malah parno sesudahnya?

Beberapa waktu lalu, saya menemukan kumpulan cerpen horor karya Intan Paramadhita. Buku ini direkomendasikan oleh teman baik saya, karena menurutnya Intan merupakan salah satu dari sedikit penulis horor Indonesia yang memakai perspektif feminis di dalamnya. Bagaimana cerita horor bisa disusupi perspektif feminis? Mengapa?

Gramedia Pustaka Utama
Jika merunut ke belakang, karya-karya bertema horor di Indonesia, baik berupa film, komik, novel, atau cerpen, hampir selalu memunculkan tokoh perempuan dalam dua tipe saja, yakni sosok tak berdaya dan hanya bisa berteriak, lalu mati, atau sosok hantu yang mengerikan seperti monster dan grotesque. Tipe demikian sangat populer, terutama pada film, di masa Orde Baru, yakni pada 1968 - 1998.

Hingga pada masa setelahnya, yakni pada 2000-an, penggambaran tersebut masih terus direproduksi, contohnya dalam film Jelangkung (2001). Dalam catatan Khrisna Sen, tokoh hantu perempuan dalam film horor Indonesia juga berkelindan dengan bagaimana seksualitas perempuan, yang masih dipandang problematis oleh budaya dan kultur kita. Sen melanjutkan, jika penokohan hantu dalam film horor, melambangkan feminitas yang dibungkam (silence). Maka dari itu, dalam film horor, hantu yang liyan ini adalah sosok pencetus ketakutan, penuh misteri, patut dikasihani, dan bahkan bahan mengundang tawa.

Suzzana dalam Sundel Bolong (1981)

Masih dalam film horor Indonesia, sosok hantu seperti kuntilanak, si manis jembatan Ancol, sundel bolong, wewe gombel, sampai Nyai Roro Kidul menjadi sebuah ikon tersendiri untuk Indonesia. Mereka semua punya latar belakang yang 'menyedihkan', seperti contohnya si Manis Jembatan Ancol, yang dikisahkan mati karena menjadi korban pembunuhan sekaligus pemerkosaan. Ia baru punya kekuatan untuk melawan dan balas dendam setelah menjadi hantu. Kekuatannya untuk melawan si pemerkosan dan pembunuhnya, baru diperoleh setelah ia mati, menjadi hantu, dan liyan. 


Di sisi lain, penggambaran atau representasi hantu-hantu tersebut berguna untuk merevisi sejarah dan membawa suara yang dibungkam. Dalam film Pocong (2006), Rudi Soedjarwo hendak mengingatkan kembali brutalitas dan kekerasan yang menimpa perempuan keturunan Tionghoa dalam Tragedi 1998. Karakter pocong yang dimunculkannya adalah mereka yang menjadi korban kekerasan tersebut. Walaupun begitu, suara korban dan monster, yang dimunculkan oleh Soedjarwo masih terkungkung oleh penggambaran misoginis terhadap perempuan dan nilai-nilai konservatif yang patriarkal. Ia masih menggunakan tubuh perempuan sebagai sumber siksaan dan kekerasan. Tak hanya permasalahan seksualitasnya saja, tubuh perempuan dalam film horor Indonesia menjadi arena di mana diskursus politis dan sejarah kembali dihidupkan kembali, namun dengan hierarki gender di dalamnya.


Feminitas, Horor, dan Karya Sastra


Sementara dalam Sihir Perempuan, Intan mengambarkan seksualitas perempuan dalam perspektif perempuan itu sendiri. Ia tak hanya membicarakan tokoh-tokohnya dan pengalaman yang dialami, namun juga memberikan sudut pandang perempuan di dalamnya. Hantu-hantu menyeramkan, perempuan yang dianggap gila atau sundal, diberikan suaranya sendiri sehingga tak lagi menjadi sebuah momok, namun sosok yang mengundang keberpihakan.

Perspektif feminis dari Intan Paramaditha, mengentalkan pengalaman spesifik yang dialami manusia. Secara tak langsung ia turut mengemukakan persoalan kelompok marjinal, seperi janda, orang-orang miskin desa/kota, dll, membongkar relasi kuasa dalam struktur pengetahuan masyarakat, dan mendekonstruksi falogosentrisme (pola pikiran dan bahasa dalam perspektif laki-laki).

Salah satu cerita yang saya sukai adalah "Pemintal Kegelapan". Cerpen tersebut bercerita tentang rasa ingin tahu anak perempuan terhadap sebuah dinding ruangan di loteng rumahnya. Ibunya bercerita, di atas sana tinggal hantu pemintal yang patah hati karena ditinggal lelaki yang dicintainya. Seiring berjalannya waktu, sang ibu menua dan jatuh sakit. Ia akhirnya bercerita pada anaknya jika hantu itu adalah dirinya sendiri. Pemintal Kegelapan menyiratkan rasa ngeri, pedih dan pemahaman terhadap penderitaan perempuan yang mengalami keterasingan karena tak lagi punya tempat terhormat di masyarakat.

foto dari Hauna Risadia
Selanjutnya kisah berjudul "Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari" dan "Mak Ipah dan Bunga-Bunga" juga jadi favorit saya. Dalam cerita-cerita itu, terasa usaha Intan melakukan de-demonisasi atau melepaskan label buruk pada perempuan yang dalam masyarakat patriarki dianggap gila, stress, dan dianggap jahat. Sudut pandang dan perspektif feminis oleh Intan, tak menampilkan tokoh-tokoh tersebut sebagai orang cacat yang membawa aib, namun mereka mengartikulasikan sendiri bagaimana pengalamannya dan malah betapa rasional hal-hal itu dilakukan. Namun, dalam pola pandang dan pikir patriarki, tokoh-tokoh ini adalah mereka yang dianggap gila oleh masyarakat.

Secara garis besar, kisah-kisah dalam cerpen Intan kelam. Namun betapa dekatnya kekelaman itu dengan realita. Sosok hantu dalam cerpennya seakan menjadi simbol atas kedudukan dan kehidupan perempuan dalam ruang budaya patriarki. Seperti hantu, perempuan seakan berada di dunia lain yang berbeda dengan manusia, kehilangan suaranya, dan menempati kedudukan sebagai liyan (the others). Perspektif feminis Intan, memberikan perempuan dan hantu-hantu tersebut suara, tanpa harus memperburuk tubuh perempuan sebagai sumber kekerasan, bahkan peletakan hierarki gender. Tak berlebihan jika harus menyebutkan, Sihir Perempuan sebagai kumpulan cerpen horor yang segar saat ini.

Senin, 06 Maret 2017

Animal Farm & 1984 oleh George Orwell: Propaganda Antara Distopia dan Dunia Nyata

Semenjak kenaikan Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat, beberapa netizen yang saya temukan di beberapa sosial media meramalkan keadaan pemerintahannya akan seperti Big Brother dalam novel George Orwell berjudul 1984. Tidak hanya itu, totalitarianisme diprediksi pula akan mewarnai tiap-tiap kebijakannya seperti Napoleon memerintah Manor Farm dalam Animal Farm.. Kedua novel ini sering disebutkan ketika membahas kepemimpinan Donald Trump di Amerika Serikat. Apakah benar demikian? Apa saja yang terjadi dalam novel Animal Farm dan 1984 sehingga banyak yang meramalkan demikian?

George Orwell Portrait. 2017. Watercolor on paper. by Amalia Nur Fitri


Novel Animal Farm berkisah tentang sekelompok binatang ternak yang melakukan revolusi terhadap pemilik mereka, yakni Mr.Jones. Setelah berhasil mengusir manusia dan mendirikan pemerintahan sendiri, para babi yang dapat membaca dan menulis ini membuat pula 7 pedoman yang harus dipatuhi, yakni:

1. Whatever goes upon two legs is an enemy
2. Whatever goes upon four legs, or has wings, is a friend
3. No animal shall wear clothes
4. No animal shall sleep in a bed
5. No animal shall kill any other animal
6. No animal shall drink alcohol
7. All animals are equal


The Scheme. 2017. Watercolor on Paper. by Amalia Nur Fitri

Awalnya pemerintahan baru ini memang sangat 'menyenangkan'. Semua hidup sejahtera dengan bahan makanan cukup. Konflik mulai terjadi ketika Napoleon dan Snowball, dua babi terpintar, berebut suara terbanyak dari para binatang untuk meningkatkan produksi makanan. Napoleon menyingkirkan Snowball, sehingga ia berhasil naik menjadi pemimpin. Sejak kepemimpinan Napoleon inilah, 7 pedoman Animalisme (konsep kesetaraan dunia binatang) dilanggar satu persatu. Pada akhirnya, Napoleon dan babi lain bertingkah tak ada beda dengan para manusia yang berjalan dengan dua kakinya. Mereka berakhir menjadi apa yang mereka awalnya lawan dan benci.


Novel 1984, bercerita tentang Winston Smith, seorang pekerja sekaligus anggota eksternal Partai. Ia menanyakan kembali eksistensi dirinya dan fakta-fakta Partai melalui buku hariannya. Mengkritik dan menanyakan bagamana Partai memberlakukan kebijakan, apa yang terjadi dengan para orang 'hilang', apa yang sesungguhnya terjadi. Winston bekerja di Departemen Kebenaran yang tugasnya menghilangkan detail-detail sejarah, proses yang sudah berjalan bertahun-tahun ini membuat Winston meragukan fakta-fakta yang diangkat Partai, mulai dari kemenangan perang Oceania (negara ciptaan Orwell) hingga kebencian terhadap Goldsmith, mantan pendiri Oceania yang berkhianat. Tak mudah baginya hanya untuk menulis dan berpikir demikian, dalam 24  jam, hidupnya (dan juga hidup warga lain), sudah diatur dan diawasi secara penuh melalui layar televisi raksasa di dalam rumah. Layar tersebut menyiarkan beragam tayangan Partai dan mengumandangkan propaganda:

War is Peace Freedom is SlaveryIgnorance is Strength


Tidak hanya itu, melalui layar raksasa tersebut Big Brother bisa mengetahui apa yang dilakukan anggota Partainya. Jika tidak hati-hati Thought Police atau Polisi Pikiran akan membaca pikiran, mendatangi, dan menyiksa dengan berbagai cara.

Winston bertemu dengan Julia, teman satu tempat kerja namun berbeda divisi, yang memberinya (secara sembunyi) kertas bertuliskan 'I Love You'. Julia juga memberontak dalam pikiran seperti halnyaWinston, namun ia bermain aman dengan banyak berakting dan mengosongkan pikiran. Hubungan romantik oleh Partai dipandang sangat menjijikan, apalagi hanya untuk mencapai kenikmatan. Julia dan Winston harus kucing-kucingan dengan pemerintah hanya untuk bercinta. Apa yang mereka lakukan bukanlah karena semata cinta, namun juga aksi politik membelot Negara.

Selanjutnya, Julia dan Winston terjebak pada O'Brien, kawan mereka di departemen juga,  yang menawarkan melakukan revolusi dan mengabdi kepada Goldstein. Namun, O'Brien ternyata seorang Thought Police yang sudah mengincar Winston sejak satu dekade lalu. Tanpa ampun, Winston dibawa dan 'disiksa' sembari dicuci habis-habisan otaknya. Ia tak tahu berapa lama dikurung dan disiksa serta diredukasi oleh O'Brien dan Partai. Di akhir novel, Winston dibebaskan (ternyata 6 tahun sudah ia dicuci otak) dan bertemu lagi dengan Julia. Tidak ada yang sama lagi diantara mereka, salah satunya adalah bagaimana Winston merasa memiliki kemenangan telah melewati rintangan terberat dalam hidup dan ia mencintai Big Brother.

Kekuatan Propaganda Melalui Bahasa


Orwell menulis kedua karya ini memang dengan tujuan mengkritik sekaligus memperlihatkan bagaimana pemerntahan totalitarianisme ala Stalin berlangsung. Lebih dari itu, Orwell sangat memahami bagaimana bahasa merupakan aparatus penting untuk mempertahankan kekuasaan absolut. Dalam Animal Farm, propaganda melalui bahasa disampaikan melalui juru bicara Napoleon, Squealer, "All animals are equal, but some animals are more equal than others." serta "para babi sebagai penguasa lebih membutuhkan apel dan susu ketimbang binatang lain" Sedangkan dalam  novel 1984, Big Brother menyatakannya dengan "War is Peace, Freedom is Slavery, Ignorance is Strength". Propaganda tersebut memberikan sebuah fakta alternatif, bahkan memelintir kebenaran untuk membuat 'kebenaran' versi penguasa demi melanggengkan, memistifikasi, dan mengoperasikan kekuasaan absolutnya. 


Dalam novel 1984, Winston berusaha mempertahankan pikiran warasnya yakni mengulang, "2+2=4". O'Brien tidak hanya mengulang-ngulang propaganda Big Brother, tetapi juga menanamkan ketakutan dan kekhawatiran teramat sangat kepada Winston. Kepercayaan "2+2=4" harus diganti dengan fakta alternatif "2+2=5" versi Partai, dengan menenggelamkan Wisnton bersama tikus-tikus, hal sangat ditakuti Winston dalam hidup. Dalam keadaan tidak berdaya, O'Brien senantiasa mengucapkan "2+2=5" kepada Wisnton. Orwell betul-betul memahami bahwa ketakutan dan kekuatan bahasa dapat merasuk ke dalam neuropsikologi dan neurobiologi manusia, sehingga mengubah emosi, pola pikir, serta perilaku seseorang. 



Jika melihat novel Animal Farm dan 1984 sebagai kritik atau alegori satir atas totalitarianisme Stalin dan fasisme, tentu saja tidak cukup. Kita bisa lihat babi-babi Animal Farm dalam bentuk penguasa atau pemilik modal saat ini memakai nama nasionalisme, pembangunan, tanggung jawab dan lain-lain, hanya untuk membungkam kritisisme sehingga yang bisa kita lakukan hanya 'kerja,kerja,kerja.' Lalu melihat bagaimana Donald Trump menghadirkan fakta alternatif untuk menutupi sebuah kebenaran, salah satu contohnya adalah kabar pelantikannya yang dihadiri jutaan orang hingga tempat tumpah ruah, sedangkan yang terjadi sebenarnya berkebalikan. Bahasa merupakan salah satu perangkat revolusioner kita, yang harus kembali direbut. 













Kamis, 02 Februari 2017

Feminisme: Ayu Utami atau Ivan Turgenev?

Awal berkenalan dengan kata feminisme, saya banyak dapat masukan untuk baca karya-karya Ayu Utami. Mulai dari Saman, Larung, hingga Cerita Cinta Enrico saya habisi hanya untuk mendalami feminisme dari kacamata seorang feminis yang juga satu almamater Sastra Rusia UI (ciye gitu). Ayu Utami seringkali didaulat sebagai penulis (perempuan) pertama yang mendobrak ketabuan seksualitas Pasca Orba.

Karena sumber pengetahuan terbatas dan potongannya belum tersusun (sekarang pun) rapi, dengan naifnya feminisme saya nilai sebagai kebebasan berekspresi dalam seksualitas. Kegiatan seperti bergonta-ganti pasangan, seks bebas, hingga melukis menggunakan darah haid adalah ekspresi feminisme yang utama. Itu pula ciri-ciri perempuan yang 'maju', pikir saya waktu itu. 

Mozilla in Suit, 2016, watercolor on paper, Amalia Nur Fitri


Sampai akhirnya, saya membaca karya sastra Rusia berjudul Rudin karya Ivan Turgenev untuk kelas Kritik Sastra. Novel ini bercerita tentang seorang pendatang bernama Rudin di sebuah desa di Rusia. Hampir semua penduduk penasaran dengan latar belakangnya karena Rudin piawai menampilkan sosok sempurna yang bertata-krama, berwawasan luas, namun sangat misterius. Banyak yang berusaha mengorek-ngorek info dalam-dalam dan mencari kelemahannya. Popularitas Rudin,sampai juga ke telinga seorang janda kaya raya, Dar'ya Mikhailovna dan anaknya Natal'ya Alekeevna. Akhir cerita, Rudin meninggal dalam peperangan Rusia melawan Polandia, ia meninggal diserang peluru dalam persembunyiannya dalam gudang. 

Nah, sosok janda kaya dan anaknya inilah yang saya dan teman-teman analisis menggunakan teori feminisme. Dar'ya Mikhailovna Lasunskaya, merupakan perempuan dengan power dan dominasi yang besar. Secara politis, dia aktif dan banyak memberi andil mengenai kebijakan desa, Dar'ya juga kuat secara material dan finansial, serta mendidik Natalya Alekseevna Lasunskaya dengan baik. Kedengarannya memang seperti ibu-ibu urban modern  zaman sekarang, ya. Natal'ya sendiri adalah perempuan muda (18 tahun) cerdas, gemar membaca, suka mengamati segala hal, dan agak pendiam. Ia dan Rudin punya ketertarikan romantik satu sama lain. Sayangnya, kisah cinta mereka tidak berlanjut kemana pun. Natal'ya menjauhkan dirinya, sedangkan Rudin pergi ke medan perang bersama bualan, bahasa, serta pikiran yang 'njelimet.  Menilai dua tokoh perempuan tersebut, saya dan teman-teman tak ragu melabeli Dar'ya dan Natal'ya sebagai feminis mengingat kontrol penuh hidup mereka(yea)

Selesai berpresentasi, Bu Mina Elfira mengajukan pertanyaan kepada kelompok kami, menggelitik sekaligus menangkap basah kami yang belum tahu apapun mengenai feminisme, "Kalau perempuan mandiri secara finansial, cerdas, punya akses untuk berpolitik seperti Darya itu gunanya untuk apa? Lalu, buat apa dia mendidik Natalya sedemikian rupa? Apakah untuk dapatin laki-laki atau suami yang lebih kaya?" Kami berpandangan satu sama lain, menunggu dan menentukan siapa yang akan menjawab.

Untuk dapat suami yang lebih kaya? bisa ya atau tidak---namun secara konteks novel, Dar'ya maupun Natal'ya tidak pernah mengungkapkan/menunjukan hal demikian. Darya menggunakan akses finansial dan politik yang dominan untuk membantu orang-orang di desa. Ia mempunyai sebuah penginapan dan mempekerjakan  single mother sehingga ia tak lagi kebingungan membeli susu anak, itu salah satunya. Darya atau Natalya tidak perlu laki-laki yang lebih tinggi status sosialnya untuk mempertahankan previlese keluarga. Natalya dididik sedemikian rupa juga tidak untuk mendapatkan suami kaya, tetapi semata untuk menjadi manusia beradab dengan wawasan yang terus berkembang. Mereka mandiri pada masa dominasi laki-laki/patriarki sangat kuat dan kentara. Sayangnya saat itu kami terlalu gugup dan bingung, sehingga jawaban yang keluar malu-maluin banget. Bu Mina Elfira, tidak menyalahkan pun membenarkan jawaban kami, hanya tersenyum penuh rahasia. 

Padahal rujukannya Betty Freidan - The Feminine Mystique yang sudah jelas bisa disambung-sambung dengan mudahnya >.<
Hanging Out, 2016, watercolor on paper, Amalia Nur Fitri

Kembali lagi dengan awal perkenalan dengan feminisme, saya merasa terinspirasi ketika mengenal Dar'ya dan Natal'ya, dibandingkan dengan Shakuntala dalam novel Ayu Utami. Saya tidak merasa direpresentasikan secara politis, ideologis maupun kelas dalam karya-karya Ayu Utami. Tentu saja, perempuan punya kuasa penuh atas tubuh dan juga organ reproduksinya tanpa kecuali. Saya tidak bermasalah dengan pilihan seseorang untuk berekspresi secara bebas. Saya hanya berpikir, perempuan tidak dipandang 'maju' maupun 'terbelakang' hanya dari seksualitasnya saja. Namun lebh dari itu. Maka saya berpikir feminsime yang hendak ditawarkan oleh Ayu Utami bukan jadi pilihan saya.

Kritikus sastra, Katrin Bandel, pernah secara tajam menuliskan kritk terhadap karya Ayu Utami mengenai ambivalensinya. Ayu Utami hendak menentang falosentrisme sebagai simbol patriarki, namun pada banyak adegan yang membicarakan seksualitas cenderung terdapat falosentrisme. Menurut Katrin, hal tersebut lumrah terjadi, seorang perempuan bisa saja menggabungkan feminisme dan falosentrisme dalam dirinya, misalnya dengan memperjuangkan kebebasan perempuan, tapi sekaligus justru merindukan laki-laki yang dominan. Namun, yang mengecewakan adalah ambivalensi tesebut tidak disadari, tidak dipeluk utuh, dan tidak diolah. Akhirnya, representasi seksualitas Ayu Utami hanya berujung pada sebuah pretensi.

Dari situ, saya perlahan meninggalkan Ayu Utami dan beralih ke tokoh 'inspyratyf' lainnya. Saat ini saya pun berpikir bahwa 'perjuangan' yang dibawa Ayu Utami mungkin mudah jika direlasikan oleh perempuan kelas menengah terdidik (?) urban/perkotaan (tepatnya Jakarta). Jika harus melakukan pembebasan seksualitas untuk keluar dari opresi masyarakat patriarkal, saya tidak akan mampu. Selanjutnya saya coba baca pengantar Cixous, Irigaray, Beauvoir, dan Kristeva (dan masih sulit 'nyambung' sebetulnya), hingga akhirnya nyaman memasuki wacana feminisme lewat feminisme pascakolonial. Nyaman, dalam arti mudah mengikuti alur penjelasan karena saya merasa direpresentasikan dan 'terhubung'. Dari sana, saya belajar bahwa segala yang kita konsumsi, baik tren, budaya, maupun ilmu pengetahuan, tak luput dari misi kolonial melanggengkan paradigma maskulin nan patriarkis. Hal tersebut dipermulus lewat kapitalisme, semua bisa dikomodifikasikan lewat kapitalisme, salah satunya konsumsi (simbol agama) hijab. Itu pula jadi salah satu alasan panjang saya melepas hijab. Eits, namun bukan berarti (semua) perempuan berhijab adalah perempuan teropresi (pengalaman perempuan menghadapi opresi patriarki berbeda-beda, jadi jangan digeneralisir). Kesimpulannya, dengan berangkat dari wacana feminisme pascakolonial saya sadar akan ambivalensi (bahkan hibriditas diri) diri dan masyarakat. Dengan menyadari itu, saya berharap tidak terjerumus menjadi subjek yang hanya mengkonsumsi, serta bisa senantiasa sadar (dan mampu) untuk  memaknai ulang diri sebagai perempuan dari negara dunia ketiga yang kompleks. Dan dengan demikian, saya masih harus belajar banyak lagi.


Balik lagi ke perkenalan awal. Apakah Ivan Turgenev lebih feminis dibandingkan Ayu Utami? Tidak juga, ada kritik untuk beliau mengenai pembentukan subjektifitas perempuan. Namun, saat berkenalan dengan Dar'ya dan Natal'ya, saya terinspirasi untuk belajar feminisme lebih dalam lagi, walaupun nggak rajin. Itu juga disebabkan oleh kesamaan latar belakang dengan kondisi keluarga. Saya terdorong untuk jadi sosok mandiri, sukses, dan cerdas (seenggaknya tidak mudah diperdaya oleh orang lain) (aslay) seperti Dar'ya dan Natal'ya.