Minggu, 07 Januari 2018

Saat Dangdut Melanda (Bukan Mengendorse Via Vallen Walau Dia Mirip Isyana Sarasvati)

Jadi ini salah satu tulisan (?) yang ada di buku The Book of Invisible Questions karyanya Lala Bohang. Pas awal membaca tulisan itu pertama kali, perasaan tuh biasa saja. Lempeng. Tapi ketika nggak sengaja membuka lagi di halaman tersebut, langsung berpikir, "edan, tunggu bentar, deh. Wew?"

Ceritanya 'diri' saling menguatkan tapi ndak mirip. Terus kok tangannya pengkor? Hm, anggap saja dia baru pulih setelah kram bermain karambol tapi tetap bersemangat menjaga dirinya sendiri ditemani bunga daisy penuh kepalsuan. Watercolor on paper. Copyleft 

Maklum, keadaan hati masih rawan terserang kedangdutan.

Tulisannya tersebut berjudul Can I be honest with you? Isinya adalah daripada seperti demikian;

You're the first thing I think about in the morning.Before I wake up, make my bed, and wash my face. I reminiscence about all the happiness and pain you gave me in one blink of an eye when it's over. After realizing the fact that I laugh and I cry at the same time, I am amazed by how much energy and emotion I spent on our roller coaster together. To arrive at nothing. 
Now I start watching Youtube channel about how to make a man fall in love and desire a woman.Just trying to find answers from the wrong sources, like always. 


Lala Bohang ini adalah ilustrator yang tinggal di Jakarta. Karya-karyanya ini memang punya style yang sureal, simbolik, minimalis, dan cenderung filosofikal (saya otoy). Saya sendiri mulai 'ngeh' dengan keberadaan bliyo di dunia, waktu masih aktif dan genit-genitnya membaca dan mengoleksi majalah Gadis di esempeh dulu. 

Waktu itu, di salah satu rubriknya, Gadis sempat membahas pekerja seni yang cihuy dari Indonesia. Nah, mbak Lala jadi salah satu kandidatyang dibahasnya. Saya ingat terus dengan profil dia mbcoz bliyo bikin karakter fiksi bernama Lula. Sebagey orang yang gemar mengobjekkan tokoh, saya pede saja merelasikan diri dengan Lula. Huh, padahal Lula galau (eksistensialis) meluluk (justru itu!).


Ieu tah bukuna. Diterbitkan oleh Gramedia
Kembali lagi ke tulisan. Bagian itu membuat saya mendapatkan momen 'dheg' sebab mengingatkan lagi sama hal dan rasa yang (sengaja dan berusaha) dilupakan. Kacau sudah benteng pertahanan ala Trump itu. Eh, enggak kacau-kacau juga, deng. Adek masih kuat, kug. Ya, tapi dalam beberapa detik, saya sempat berpikir bagaimana rasanya kalau berhenti merasakan apapun sama sekali? Sedetik saja. Habis, seringnya ia sangat menyiksa dan bisa datang tiba-tiba. Tanpa kata-kata!

Jangankan saya, yang apalah cuma kentut ikan sapu-sapu, ini, Seno Gumira Ajidarma sebetulnya juga pernah galau tentang 'rasa'. Dia bilang, "Apalah yang pasti dari perasaan manusia?" Ndak tahu, Mz. Rasa-rasa bahagia yang dibawa sebagian perasaan sudah kalah di medan pertempuran dengan ketidakpastian. 

Tapi, di detik selanjutnya saya mau terus memahami rasa cinta dan derita. Saya ingin hati diisi oleh harapan, cita-cita, ketakutan, putus asa, kebahagiaan, dan duka. Terutama dari mereka para manula kesepian di balik-balik tembok hingga harus menemui kadokushi-nya, isi kepala-kepala di jukai Aokigahara, pesan-pesan yang ditinggalkan para tapol '65 di tembok-tembok penjara, guratan urat-urat di tangan dan wajah Mama oleh senyum atau sedihnya. Saya mau terus memahami dan merasakan itu.

Akhirnya malam ini saya jadi tahu kenapa Via Vallen dibilang mirip dengan Isyana Saraswati. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar