Beberapa jam menuju tahun yang baru, yeay! #NYE #Holiday
Terompet-terompet sudah dibunyikan, rencana-rencana liburan dijalankan, yang masih bekerja akan pulang di hari siang atau masih harus menuntaskan sampai petang. Semuanya demi menyambut tahun yang baru datang.
Dari dulu, saya tidak pernah menemukan rasa girang untuk menyambut tahun baru. Yah, ini memang dasarnya saya adalah orang yang kurang asyik, sih. Hehe. Hanya sesekali saja saya ikut acara pesta pergantian akhir tahun, dan aktivitasnya akan selalu sama di mana pun acara itu berada (Barbeque--menonton film--bermain petasan/kembang api--mengobrol). Ya, kurang lebih seperti itu, intinya begadang menanti tahun baru.
Terlepas dari hal itu, ada satu hal yang pasti selalu saya lakukan. Dan mungkin, beberapa orang juga melakukan hal ini, yaitu berkontemplasi. Bukannya bersikap sok deep, thoughtfull, and all, kebiasaan ini sudah dilakukan sejak SD dan berjalan hingga SMA. Membuat beberapa list dalam beberapa kategori versi saya sendiri, seperti kategori pengalaman terbaik, orang yang menyebalkan, prestasi terbaik, tokoh terbaik, dan lain-lain. Dari sana saya bisa mengeker kehidupan selama setahun saya dalam versi cepat. Saya bisa kembali mengingat kejadian-kejadian penting untuk saya dalam setahun terakhir, dan menjadikannya pembelajaran. Saya melakukan hal tersebut karena terinspirasi oleh Ustadz AA Gym, yang dalam salah satu ceramahnya bercerita bahwa beliau mempunyai catatan pribadi seperti itu. Dan saya membuatnya dengan versi saya, hehe.
Beranjak tua, saya tidak membuat catatan dengan gaya seperti itu lagi. Tidak ada lagi kategor-kategori tertentu untuk jadi pemenang versi saya. Mungkin sedikit banyak, hal itu berimbas kepada semakin minimnya produktifitas. Namun yang jelas, tahun 2015 adalah tahun yang sudah saya tebak bagaimana perjalanannya. Tahun yang berat, kalau boleh saya katakan. Menghadapi skripsi, berjibaku dengan diri sendiri, membanting tulang mendapatkan uang, kembali berhadapan dengan diri sendiri, menyaksikan lagi kematian orang tercinta, bekerja, bersentuhan dengan logika kapitalisme, hingga bertahan untuk tidak tergerus oleh zaman yang dangkal ini. Ah, saya pun.
Saya ingat mengawali tahun 2015 dengan kesunyian dari Kota Jember. Tidak ada perayaan heboh (keluarga saya di Jember sangat strict dengan aktivitas non-islami seperti itu). Saya pun hanya menghabiskan malam dengan membaca Baudrillard, berdampingan dengan nenek saya, yang sekarang sudah tiada. Saya habiskan awal tahun dengan memanjat pohon dan mengunjungi Alm. Ayah di makamnya.
Di pertengahan 2015, hidup saya terkuras pada proses pembuatan skripsi. Jika diperbolehkan, ingin sekali rasanya saya memperbaiki banyak hal, bahkan mengulang sidang. Karena materi skripsi tidak didiskusikan dan dipersiapkan dengan matang. Saya terburu-buru dengan deadline dan hambatan mental sedang sering sekali datang di pertengahan tahun ini. Sekali lagi, ngomong apa kamu, Badrun?
![]() |
Wisuda di bulan Agustus 2015 |
Menghadapi wisuda, saya juga dihadapkan dengan kewajiban untuk mencari kerja. Karena biaya untuk wisuda bagi saya cukup besar, dan beasiswa saya tidak cukup untuk menutupi semuanya. Jadilah, di bulan Ramadhan saya bekerja di perusahaan start-up retail yang mendengungkan diri mereka sebagai The First Islamic Shopping Center. Bekerja di sana, membuka mata saya bahwa Islamisasi memang sedang menggelombang di Indonesia. Sebagai dampak dari runtuhnya Orba dan kenaikan GDP sebesar 10%, kalangan menengah mencoba untuk mengikuti trend jaman tanpa meninggalkan akidah agama mereka. Jadilah kaum hijabers bertebaran di mana-mana. Konsep hijab gaul yang memang sedang in adalah contoh paling nyata dimana konsumerisme dan kapitalisme menggerogoti gaya hidup kaum muda muslimah berjilbab. Dian Pelangi yang didaulat sebagai fashionista paling berpengaruh (doi sejajar sama G-Dragon, fyi) versi Business of Fashion 2015 (#BOF500) merupakan gong-nya menurut saya. Yah, sebagaimana industri fashion yang memang lekat logika kapitalisme dengan menjual kesementaraan gaya dan desain, masuknya mbak Dian sebenarnya bisa ditebak dan gak aneh, toh. Dia yang mempopulerkan gaya tersebut di Indonesia, sehingga yang lain mengikuti jejaknya. Saya juga nggak akan kaget jika di masa depan nanti, merk-merk fashion yang sudah mendunia, akan menyediakan ruang dan kategori khusus untuk jenis busana muslimah ini, karena dahsyatnya dampak islamisasi.
Menikmati hidup dua bulan tanpa pekerjaan adalah waktu-waktu yang dirindukan. Saya bisa keluar jam 2 pagi mengelilingi Kota dan melihat kehidupan manusia di waktu subuh. Memperhatikan manusia yang masih bekerja, terjaga di sisi-sisi pencakar langit Sudirman dan Thamrin. Mengunjungi Taman Menteng dan masih ada si menengah yang membawa jalan-jalan anjingnya di malam larut. Melukis pohon di samping gerobak sate ayam, lalu berakhir dengan flu dan badan meriang. Ah, betapa rindu menjadi manusia seperti itu.
Sekarang saya sudah berada di tangan perusahaan startup lain yang sedang dalam proses berubah menjadi industri korporat sejati. Pola pergerakan e-commerce memang hampir serupa. Mereka membuat banyak data dan pengguna untuk menarik investor. Jika investor datang, punggawa terdahulu akan keluar (karena memang itu bisnis coba-coba nak baru lulus kuliah/ ideologi bersebrangan dengan penginvestor/ hendak menciptakan bisnis baru yang jauh lebih stabil), dan pasti akan selalu berbasis pada monetization. Hal lain yang saya pelajari adalah, sebenarnya akan jauh lebih baik (mungkin) jika ada badan yang secara khusus memperhatikan pertumbuhan perusahaan baru berbasis online ini. Amerika punya Silicon Valley untuk mendukung pertumbuhan sejenis, website seperti Facebook, Twitter, Lazada (Wazada), dan lain-lain, adalah contohnya. Mereka bisa berkembang karena dapat investor yang membiayai perusahaan online mereka, contoh perusahaan investor loyal terbesar adalah Rocket Internet, Schibsteb, Napsters, yang membiayai Lazada dan uhuk, OLX. Jika di Indonesia ada tubuh semacam Silicon Valley, para pengusaha muda kita tidak perlu harus mengorbankan sustanaibility demi mengejar investor dari tanah suci Silicon Valley. Andai dibangun badan yang khusus mengatur sistem pertumbuhan perusahaan online semacam itu untuk mewadahi proses produktifitas yang coba dibuat, jadi kita tidak hanya mengambil peran sebagai konsumen saja. Tidak ada hal yang salah dengan monetization, justru itu adalah tujuan tiap pengusaha mendirikan usahanya, mendapatkan uang, toh. Tetapi, bagaimana jika proses itu diselaeaskan dengan kesadaran sosial pula? Jadi, semua inovasi yang telah diciptakan tidak hanya dirasakan oleh segelintir masyarakat tertentu, tetapi bisa merata. Dan yang paling penting adalah, walaupun memang tujuannyauntuk mendapatkan keuntungan, bukan berarti hanya selalu harus profit dan keuntungan yang hanya dipikirkan. Sayang sekali, saya lugu bahwa memang sistem kerja ekonomi kapitalisme memang seperti itu.
Ah, siapa pun bisa mimpi, bahkan yang paling ndak logis dan dungu sekalipun. Maafkan.
![]() |
Adib Hidayat |
![]() |
Suasana di kantor baru |
Well, paling tidak sudah ada seorang manusia mempu menahan dirinya untuk bersama saya. Setidaknya, itu membuat hal yang lain terasa lebih baik. Saya senang. Masih banyak hal yang harus dipelajari, dibaca, ditulis, lalu dibagikan. Hal yang harus diperbaiki juga masih pula banyak, terutama masalah berkomunikasi dengan beberapa handai taulan. Apapun itu, semoga dengan peluh yang dijatuhkan karena bekerja untuk diri sendiri maupun yang tercinta, tidak akan membuat kita ditinggal kesepian di hari tua. Amin
Selamat Tahun Baru 2016. Yasudah, yuk lanjutkan kembali hidup kalian.