Menyambut tahun baru 2018, saya beserta dua adik kembar dan Mama
hangout kecil-kecilan (?) di sebuah Mall di daerah Bekasi. Di tengah kumpulan keluarga lainnya, kami nonton
Susah Sinyal di bioskop.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqKjo7Pib72wUFv97mrTtYEf7bg4J-mkT6NNl-oEWXBRGH9noDEZAHLfImMirO_jctoJZmgI3hwVvPU0cO7zVR7T6R7osUlb2acDTaxhQOwEWVvBuk9Vspts-u_r2r4lI9IJv9Y8Lb_SQ/s400/maxresdefault.jpg) |
sumber: Youtube |
Waktu itu, bangku di ruang teaternya hampir terisi penuh dan rata-rata penontonnya adalah rombongan keluarga. Di samping saya saja, berderet tiga bocah SD dengan Ibunya dan Bapaknya di sisi terluar. Saya perhatikan, anak-anak itu sudah disiapkan macam-macam 'kebendaan' oleh orang tuanya, kayak selimut (selimut panjang yang muat bertiga), cemilan (yang diseludupkan, tentu saja, entah bagaimana caranya), freshcare green tea (saya familiar sebab punya juga), kaos kaki, dan minuman sirup jeruk (kebauannya hinggap di hidung saya).
Ketika film dimulai, saya agak-agak cemas. Selain adek-adek SD di samping tiba-tiba teriak kecil karena sempat menyangka akan nonton film horor (lampu perlahan kan dimatikeun tuh), saya punya 'tanggung jawab moral' juga untuk memastikan film ini bakalan lucu dan fun abessh, seperti yang diharapkan Kanjeng Mama Ibunda.
Awal cerita dan alur film berjalan baik-baik saja. Saya mulai optimis filmnya bakalan bagus. Oh iya, film ini secara garis besar bercerita tentang hubungan ibu yang
workaholic dan anak abg-nya yang masih bermandikan ego (
naon). Adinia Wirasti (Ellen) berperan jadi ibu penggila 'kerja kerja kerja', sementara yang jadi anak abg bermandi ego itu adalah Aurora Ribero (Kiara) artis baru yang blasteran.
Cocok lah ya, tema film dengan keadaan saya sekeluarga sebagai penonton. Ohya,
Ernest Prakasa, komika elite itu, jadi penulis naskah dan sutradaranya. Penting diingat, nieh.
Di tengah cerita filmnya, Ellen dan Kiara memutuskan untuk liburan (di tengah-tengah masa sekolah dan kerja) ke Sumba, NTT untuk menciptakan
bonding antara anak dan ibu yang selama ini anyep. Btw, kayaknya daerah Sumba memang sedang menjadi
spot 'eskapis' favorit sineas Indonesia, ya?
Ernest sendiri bilang, kalau pilihannya jatuh ke Sumba sebagai wadahnya berpromosi supaya Sumba terkenal dan jadi tempat wisata. Aheum, saya sudah agak-agak antisipasi dan antipati kalau-kalau ada
colonial gaze berbalut eksotisma Sumba dalam adegannya. Dan ya, adegan itu ada, huhu.
Nah, yang lainnya nih, yang saya wanti-wanti tak perlu ada, candaan mesum. Sudah tertawa ngakak dan menangis (dikit) di pertengahan film, saya jadi jijik dan males euy saat candaan nggak penting ini muncul. Sayang sekali, penokohan, alur, akting, dan cerita yang sudah rapi, top markotop, dan alami itu harus dirusak dengan jokes murahan yang menyerempet sexual innuendo alias mesum. Objeknya? tokoh penyanyi dangdut yang sedang liburan bersama dengan suaminya di penginapan Humba, tempat Ellen dan Kiara menginap.
Ugh, saya salting. Soalnya nggak enak dengan Kanjeng Mama Ibunda dan adik-adik. Ini kan film keluarga, kok nganu?! Ohya, apa kabar dengan keluarga yang piknik di sebelahku ini? Hm, kegelapan bioskop tak bisa menjawab.
Semangat sudah turun beberapa derajat saat kemesuman muncul. Seterusnya, saya jadi terganggu dengan
jokes-jokes yang dilontarkan Arie Keriting dan Abdur Arsyad (habis
garink, kak). Ironis sih, soalnya Arie Keriting ini, jadi semacam
humor consultant dalam penggarapan film 'Susah Sinyal'. Entahlah. Padahal akting-akting dari komika lainnya (
btw, ini film bertabur komika) seperti Dodit Mulyanto, Yusril Fahriza, Aci Resti, dan Ge Pamungkas, itu sudah bagus dan
beneran lucu tanpa harus mesum.
Lha, tapi konsultan kok humornya anyep gini?
Saat film selesai, adek-adek saya dan Mama kelihatannya puas banget dengan filmnya. Mereka bilang, "seru, Mbakk!" Sementara tiga bocah SD di samping saya ternyata ketiduran sejak pertengahan film. Saya sendiri tetap merasa terhibur dengan filmnya, ada kesan yang ditinggalkan seperti, "AKU TAMBAH SAYANG MAMA!". Tapi ya tetap ada yang mengganjal karena jokes itu. Biarkan saja sebab saya adalah @difficultgirl69.
Komika Indonesia Seksis?
Kenapa sih sepertinya kok
le-bye banget gara-gara candaan mesum setitik jadi lemes? Kenapa? Karena saya jadi teringat seorang kenalan komika jebolan
SUCI yang candaannya
ngono. Dia
nggak membawa tema mesum tiap manggung
sih, tapi homofobik parah (ya mesum
sih). Dia-yang-namanya-tak-perlu-disebutkan berkata di telinga
aink kalau LGBTQIA itu
nggak normal, menjijikan, dan dia 'merasa' punya '
power' buat
share bahaya LGBTQIA lewat
jokesnya.
Astagfirullah!
Kalau diperhatikan, candaan-candaan komika Indonesia memang seksis, mesum, dan patriarkis. Ini pernah diamini juga sama Intan Paramaditha, penulis buku dan feminis, di akun twitternya beberapa waktu lalu. Lihat sajalah, pegiat awal Stand Up Comedy di Indonesia, Raditya Dika. Dia kerap melontarkan candaan seksis, yang bilang cewek tuh
makhluk yang aneh,
cewek menjajah cowok,
frekuensinya pertemanannya berbeda dengan laki-laki,
cewek tuh bego, dan lain-lain (
good luck yang bakal jadi istrinya nanti).
Stereotip gender yang
ngablu itu (berkembang jadi candaan jomblo vs pacaran yang juga norak), seakan dijadikan pola atau template buat komika-komika muda setelahnya sebagai bahan
jokes dan terus direproduksi.
Hm, Ernest dengan candaan mesum yang mengobjektifikasikan perempuan, kawan komikaku yang homofobik, dan Raditya Dika yang seksis, punya kekuatan simbolik, budaya, dan kultur, secara mereka adalah komika terkenal yang sudah banyak berkarya dan punya koneksi cihuy di industri hiburan dalam negeri. Banyak komika muda look up dan menganggap mereka 'panutan' untuk mulai berkarir atau belajar di ranah ini. Kekuatan mereka itu something.
Somehow (azeek), apa yang dibilang oleh kawan komika homofobikku tentang power tentu tak salah sama sekali. Justru agak berbahaya sebab dia sadar dan 'sengaja' menggunakannya untuk hal yang buruk. Ya, bagi saya memperparah stigma negatif soal kelompok LGBTQIA adalah hal buruk nan sia-sia mughallazah.
Komika terkenal sekelas Ernest, kawan homofobikku, dan Raditya Dika memang punya kekuatan untuk menyelipkan pemikiran dan asumsinya yang tabu, dianggap berbahaya, salah, dan berseberangan dengan norma-norma sosial lewat humor-humornya. Humor dapat melebarkan penerimaan terhadap ketabuan-ketabuan itu secara santai seolah tanpa ancaman.
Sebetulnya, kalau pisau ini dipakai untuk meluaskan ketabuan untuk membicarakan korban-korban PKI, Tragedi 1998, kemiskinan di Indonesia Timur, ketimpangan sosial, dan lain-lain, akan jauh lebih berfaedah dan bermakna. Nah ini sebetulnya sudah dilakukan Ernest dan
Abdur, mereka keren untuk tema itu. Tapi apapula, saat bicara dengan kawan homofobikku dia bilang "Ah, aku kan bukan mau mendydyk, tapi menghiboer," Hm, ok.
Humor Seksis Itu Berbahaya!
Candaan seksis yang datang dari Ernest dkk, hanya membuat mereka merasa bebas mengekpresikan antagonisme terhadap perempuan dan memberi sinyal jika mengekspresikan
attitude seksis itu tak berbahaya, perlu dilakukan, bahkan menyenangkan! Tentu saja itu
nggak bisa dibenarkan,
boeng!
Semakin dianggap normal dan 'biasa-biasa saja' sebuah candaan seksis, maka perilaku misoginis juga akan dianggap lumrah dan
kekerasan terhadap perempuan bisa jadi semakin tinggi. Di sebuah
penelitian bahkan ada korelasi terhadap budaya menyalahkan korban dengan kasus perkosaan. Semua itu bermuara dari keberadaan candaan seksis yang menganggap mengobjektifikasi perempuan adalah hal yang menyenangkan dan lucu. Alih-alih dianggap sebagai hal yang kasar dan bertentangan dengan norma, candaan seksis malah dianggap hal yang ironis.
Ew!
Candaan seksis jelas punya kontribusi dalam pelanggengan budaya kekerasan terhadap perempuan. Lihat saja gambar piramidanya di bawah ini.
Akibat fatal dari sebuah candaan seksis dalam piramida di atas adalah pembunuhan dan perkosaan. Tapi bukan berarti sebelum adanya pembunuhan dan perkosaan, perlakuan kekerasan lain nggak dianggap berbahaya. Justru benih-benih kekerasan harus dihentikan saat candaan seksis menghadang. (((menghadang)))
Intinya, dampak dari candaan yang seksis itu nggak lucu sama sekali, boeng!
Oh iya, kalau masih bingung bedain gimana candaan seksis, paling mudahnya melihat dari segala jenis candaan yang menggunakan perempuan sebagai objek untuk bahan tertawa. Nah, candaan mesum itu ya seksis sebab (pasti) selalu mengobjekkan perempuan di dalamnya. Ini juga berlaku untuk candaan homofobik yang menjadikan kelompok LGBTQIA sebagai objek tawa. Leave them alone!
"Ah Mel, kalo aink mah orangnya posmo siyh. Jadi ndak anggep teks skrip yang dibuat Ernest Prakarsa di Susah Sinyal itu seksis."
Gini, bro (anjir, sok asik), teks dan wacana itu nggak hanya dibentuk, dia ada juga untuk mengontrol dan bahkan mendisiplinkan. Bukan aink yang ngomong, tapi Foucault, dewa Posmo tuh. Ernest dan dua partner pembuat skripnya, Jenny Jusuf dan Meira Anastasia, yang membuat candaan seksis dalam skrip film, membentuk dan mengontrol bagaimana perempuan seharusnya diobjekkan dalam film. Mereka bertiga mendefinisikan sebuah karakter perempuan yang layak jadi objek tawa dengan hal-hal mesum. Bagaimana bentukan perempuan yang pantas ditertawakan ala mereka? Yang seperti penyanyi dangdut itu, yang berkata dengan manja, "aduh, untung bukan ketumpahan susu, bisa lengket deh." Nope aint funny and yes the script also the writers are all sexists.
Tanpa candaan mesum, film Susah Sinyal masih bisa lucu, memiliki pezan moral, seru, keren dan aman dinikmati oleh berbagai lapisan umur tanpa terancam salting. Saya sampai merasa bersalah dengan Kanjeng Mama, adik kembar, adik SD itu, dan bahkan keluarga di samping padahal syapa lu, mel, gara-gara kemesuman maksa itu.
Makanya saya jadi penasaran sendiri, memangnya kenapa sih kalau hanya sekali saja candaan yang seksis atau mesum tak dikeluarkan para komika?
Berhenti yuk membuat candaan seksis itu normal dan wajar, jangan sampai itu malah jadi norma.