Saya punya koleksi buku yang nggak banyak, tapi dibilang sedikit juga tidak bisa. Semuanya koleksi saya sejak saya bisa membaca di umur lima atau enam tahun. Awalnya ada ensiklopedi hewan dan tumbuhan, manga, cerita nabi-nabi, buku RPUL maupun kumpulan bendera, bahkan sampai serial Petruk dan Gareng karya Tatang S.
Setidaknya, sampai setahun yang lalu, saya masih sangat protektif terhadap buku-buku. Mengelap, membersihkan dari debu, hingga menyusun dengan rapi di rak. Kemudian, gadget dan e-book datang. Kemampuan membaca menurun drastis semenjak mengenal benda bernama smartphone dan sosial media. Konten alternatif di internet juga membuat susah konsisten membaca teks di atas 35 halaman.
Saya panik, merasa satu-satunya kemampuan hilang. Kalau saya cantik bagai aurora borealis di langit Kutub Utara pada bulan September dan bisa bernyanyi seperti Isyana, persetan dengan Notes from the Underground, Les Mots, bahkan Das Kapital I. Lebih baik melakoni hidup dalam simulakra budaya pop dan dicintai manusia-manusia lain.
Untuk menjaga supaya proses belajar tetap berlangsung, saya akhirnya mengoleksi e-book dan memaksakan diri membaca dari platform tersebut. Hingga puncaknya, saya memutuskan untuk menjual beberapa buku dari rak.
Sama sekali tidak mudah memang, apalagi buku-buku tersebut sudah lebih dari satu dekade menemani saya. Sudah ada emotional attachment yang terjalin dengan koleksi buku-buku tersebut. Namun, selain masalah finansial, buku-buku saya berhak mendapatkan perhatian lebih dari orang lain. Juga, Mengoleksi buku-buku membuat hidup rumit. Jika suatu hari saya pindah ke tempat yang sangat jauh, saya tidak mungkin membawa semua buku-buku tersebut.
Terakhir, kecanduan membaca dan membeli buku ini tidak sehat dan merugikan saya secara finansial serta menghasilkan social detachment dengan orang di sekitar karena layaknya pembaca lain, membaca membutuhkan momen soliter. Kemudian saya tersadar, apakah saya membaca karena literasi itu keren atau 'beradab'? Sekedar mesin hasrat Deleuzian semata untuk orgasme intelektual dan modal sosial? atau seperti yang berkali-kali didengungkan Umberto Eco dalam anti-library, yaitu kesadaran terhadap apa yang tidak pernah kita ketahui justru dari tindakan menggali informasi dari buku? Maka dari itu, proses kelegowoan untuk meninggalkan buku harus dimulai dari sekarang.
Saya panik, merasa satu-satunya kemampuan hilang. Kalau saya cantik bagai aurora borealis di langit Kutub Utara pada bulan September dan bisa bernyanyi seperti Isyana, persetan dengan Notes from the Underground, Les Mots, bahkan Das Kapital I. Lebih baik melakoni hidup dalam simulakra budaya pop dan dicintai manusia-manusia lain.
Untuk menjaga supaya proses belajar tetap berlangsung, saya akhirnya mengoleksi e-book dan memaksakan diri membaca dari platform tersebut. Hingga puncaknya, saya memutuskan untuk menjual beberapa buku dari rak.
Sama sekali tidak mudah memang, apalagi buku-buku tersebut sudah lebih dari satu dekade menemani saya. Sudah ada emotional attachment yang terjalin dengan koleksi buku-buku tersebut. Namun, selain masalah finansial, buku-buku saya berhak mendapatkan perhatian lebih dari orang lain. Juga, Mengoleksi buku-buku membuat hidup rumit. Jika suatu hari saya pindah ke tempat yang sangat jauh, saya tidak mungkin membawa semua buku-buku tersebut.
Terakhir, kecanduan membaca dan membeli buku ini tidak sehat dan merugikan saya secara finansial serta menghasilkan social detachment dengan orang di sekitar karena layaknya pembaca lain, membaca membutuhkan momen soliter. Kemudian saya tersadar, apakah saya membaca karena literasi itu keren atau 'beradab'? Sekedar mesin hasrat Deleuzian semata untuk orgasme intelektual dan modal sosial? atau seperti yang berkali-kali didengungkan Umberto Eco dalam anti-library, yaitu kesadaran terhadap apa yang tidak pernah kita ketahui justru dari tindakan menggali informasi dari buku? Maka dari itu, proses kelegowoan untuk meninggalkan buku harus dimulai dari sekarang.
Saya hanya ingin eling terhadap ilmu pengetahuan. Buku hanya fisikalitasnya, yang fisiknya sangat indah, tidak ada yang mengalahkan (bahkan dada bidang dan rahang Sean O'pry). Yang saya ingin cintai lebih jauh adalah ilmu dan dinamikanya. Bukan cuma sekedar buku. Oleh karena itu, ada wujudnya atau tidak mestinya tidak jadi masalah, bukan?
Terbukti, dengan merelakan beberapa buku untuk dijual, selain kondisi finansial yang jadi membaik, saya juga menjadi lebih bahagia karena membuat pencinta buku lain menemukan buku favoritnya dengan mudah dan harga yang murah. Di masa depan pun, jika hendak pindah ke tempat yang jauh, koleksi-koleksi buku ini tidak lagi membuat saya bingung. Ternyata, merelakan benda yang sudah sangat dekat dengan diri jatuh kepada pemilik baru, tidak selamanya berarti buruk. Sebaliknya, ada rasa 'kemenangan' ketika akhirnya saya bisa menundukan dan meredam kebiasaan impulsif membeli dan mengoleksi buku, sehingga diri menjadi jauh lebih tenang dan bahagia.
Terbukti, dengan merelakan beberapa buku untuk dijual, selain kondisi finansial yang jadi membaik, saya juga menjadi lebih bahagia karena membuat pencinta buku lain menemukan buku favoritnya dengan mudah dan harga yang murah. Di masa depan pun, jika hendak pindah ke tempat yang jauh, koleksi-koleksi buku ini tidak lagi membuat saya bingung. Ternyata, merelakan benda yang sudah sangat dekat dengan diri jatuh kepada pemilik baru, tidak selamanya berarti buruk. Sebaliknya, ada rasa 'kemenangan' ketika akhirnya saya bisa menundukan dan meredam kebiasaan impulsif membeli dan mengoleksi buku, sehingga diri menjadi jauh lebih tenang dan bahagia.
![]() |
Ilustrasi diunduh dari www.thenewyorker.com karya Sarah Mazzeti |