Jumat, 30 September 2016

Jadi Bahagia & Legowo Berawal dari Rak Buku

Saya punya koleksi buku yang nggak banyak, tapi dibilang sedikit juga tidak bisa. Semuanya koleksi saya sejak saya bisa membaca di umur lima atau enam tahun. Awalnya ada ensiklopedi hewan dan tumbuhan, manga, cerita nabi-nabi, buku RPUL maupun kumpulan bendera, bahkan sampai serial Petruk dan Gareng karya Tatang S.
Setidaknya, sampai setahun yang lalu, saya masih sangat protektif terhadap buku-buku. Mengelap, membersihkan dari debu, hingga menyusun dengan rapi di rak. Kemudian, gadget dan e-book datang. Kemampuan membaca menurun drastis semenjak mengenal benda bernama smartphone dan sosial media. Konten alternatif di internet juga membuat susah konsisten membaca teks di atas 35 halaman.
Saya panik, merasa satu-satunya kemampuan hilang. Kalau saya cantik bagai aurora borealis di langit Kutub Utara pada bulan September dan bisa bernyanyi seperti Isyana, persetan dengan Notes from the Underground, Les Mots, bahkan Das Kapital I. Lebih baik melakoni hidup dalam simulakra budaya pop dan dicintai manusia-manusia lain. 

Untuk menjaga supaya proses belajar tetap berlangsung, saya akhirnya mengoleksi e-book dan memaksakan diri membaca dari platform tersebut. Hingga puncaknya, saya memutuskan untuk menjual beberapa buku dari rak.

Sama sekali tidak mudah memang, apalagi buku-buku tersebut sudah lebih dari satu dekade menemani saya. Sudah ada emotional attachment yang terjalin dengan koleksi buku-buku tersebut. Namun, selain masalah finansial, buku-buku saya berhak mendapatkan perhatian lebih dari orang lain. Juga, Mengoleksi buku-buku membuat hidup rumit. Jika suatu hari saya pindah ke tempat yang sangat jauh, saya tidak mungkin membawa  semua buku-buku tersebut.

Terakhir, kecanduan membaca dan membeli buku ini tidak sehat dan merugikan saya secara finansial serta menghasilkan social detachment dengan orang di sekitar karena layaknya pembaca lain, membaca membutuhkan momen soliter. Kemudian saya tersadar, apakah saya membaca karena literasi itu keren atau 'beradab'? Sekedar mesin hasrat Deleuzian semata untuk orgasme intelektual dan modal sosial? atau seperti yang berkali-kali didengungkan Umberto Eco dalam anti-library, yaitu kesadaran terhadap apa yang tidak pernah kita ketahui justru dari tindakan menggali informasi dari buku? Maka dari itu, proses kelegowoan untuk meninggalkan buku harus dimulai dari sekarang.
Saya hanya ingin eling terhadap ilmu pengetahuan. Buku hanya fisikalitasnya, yang fisiknya sangat indah, tidak ada yang mengalahkan (bahkan dada bidang dan rahang Sean O'pry). Yang saya ingin cintai lebih jauh adalah ilmu dan dinamikanya. Bukan cuma sekedar buku. Oleh karena itu, ada wujudnya atau tidak mestinya tidak jadi masalah, bukan?

Terbukti, dengan merelakan beberapa buku untuk dijual, selain kondisi finansial yang jadi membaik, saya juga menjadi lebih bahagia karena membuat pencinta buku lain menemukan buku favoritnya dengan mudah dan harga yang murah. Di masa depan pun, jika hendak pindah ke tempat yang jauh, koleksi-koleksi buku ini tidak lagi membuat saya bingung. Ternyata, merelakan benda yang sudah sangat dekat dengan diri jatuh kepada pemilik baru, tidak selamanya berarti buruk. Sebaliknya, ada rasa 'kemenangan' ketika akhirnya saya bisa menundukan dan meredam kebiasaan impulsif membeli dan mengoleksi buku, sehingga diri menjadi jauh lebih tenang dan bahagia. 

Ilustrasi diunduh dari www.thenewyorker.com karya Sarah Mazzeti



Kamis, 08 September 2016

Yukiguni (Daerah Salju) oleh Yasunari Kawabata

Daerah Salju ini diterjemahkan langsung dari bahasa Jepang yakni Yukiguni karya Yasunari Kawabata.

diunduh dari www.bukalapak.com

Berbeda ketika membaca karya Akutagawa berjudul Kappa (yang saya rasakan diam-diam bergejolak lincah), dalam Yukiguni alur terasa sangat lambat, sangat detail, dan intim. Membaca Yukiguni tidak jauh berbeda dengan menikmati lukisan. Mungkin di sini berkorelasi dengan kecintaan Kawabata dengan lukisan serta cita-citanya yang ingin jadi pelukis. Emosi diimpresikan melalui penggambaran alam, serta isinya yang bergerak.

Mulai dari kedatangan Shimamura dengan kereta, hingga menyaksikan Yoko sekarat di hadapannya (spoiler alert!), digambarkan lewat langit dan gunung yang sunyi. Saya suka dengan gaya penulisan Kawabata. Seringnya ia menggunakan keadaan alam untuk menggambarkan kondisi jiwa para tokoh-tokohnya, membuat segala hal terasa baik-baik saja dan terasa tenang. Padahal, di dalam jiwa Shimamura, Yoko, dan Komako, memiliki merapi yang siap meletus. Keadaan yang sangat jauh dari kata tenang sebetulnya. Usai membaca Yukiguni seperti berpisah dengan teman yang sudah kita betul kebiasannya.

Secara garis besar, Daerah Salju adalah kisah cinta antara Komako dan Shimamura. Shimamura adalah pemuda kaya asal Tokyo yang sedang berlibur ke daerah salju (daerahnya antara Perbatasan Gunma, kota Yuzawa). Dalam perjalanan menggunakan kereta, ia bertemu dengan Yoko yang kala itu sedang bersama pacarnya yang sakit parah, dan juga Komako yang cantik. Yoko dan Komako adalah geisha di daerah tersebut.

Shimamura jatuh cinta pada Komako, sehingga ia sering datang dari Tokyo meninggalkan anak dan istrinya. Komako sendiri adalah geisha mudah berumur 19 tahun yang ceriwis. Berbicara dengan Komako seperti membaca buku tentang tarian dari Eropa Barat yang asing tapi indah. Jika tidak bertemu dengan Komako, Shimamura tidak akan tahu kalau ada tarian bernama waltz atau musik mazurka. Kurang lebih seperti itu (sotoy).

diunduh dari www.goodreads.com


Ada satu line  yang saya suka dari cerita ini, bunyinya seperti di bawah ini:

"Ketika mengadah Bima Sakti itu terasa mau turun lagi hendak memeluk bumi yang besar ini. Terasa bahwa Bima Sakti yang seperti aurora besar mengalir dengan merendamkan tubuh Shimamura di dalamnya dan tegak di tepi bumi. Ada kesunyisenyapan yang dingin tetapi juga menakjubkan dengan suasana mengairahkan."- Daerah Salju hal. 137

Line ini ada ketika rumah Yoko terbakar. Shimamura bersama Komako datang berusaha menyelamatkan, namun mereka berdua dilanda kepanikan teramat sangat hingga tidak dapat berpikir jernih, yang ada hanya ketakutan. Di antara ketakutan yang melanda, Shimamura ternyata lebih takut jika ditinggalkan atau meninggalkan Komako. Bima Sakti itu adalah keberadaan Komako.

Karena kesan yang ditinggalkan sangat kuat, saya sampai memasukan 'yukiguni', 'snow country', 'kawabata' di mesin pencari Google. Akhirnya menemukan musik di Youtube yang terinspirasi dari Yukiguni oleh Malcolm Fisher dan Clara Galante di bawah ini.





Diam mematikan, sepi menghanyutkan, lalu meledak-ledak hilang. Pantas saja Yasunari Kawabata diganjar penghargaan Nobel di bidang literatur atas karyanya satu ini.



Selasa, 06 September 2016

Ryonosuke Akutagawa dan Dunia Kappa

Menjaga supaya nggak bertambah bosan, di tengah keseharian yang sudah membosankan, saya beralih membaca lagi literatur klasik. 

Untuk mendapatkan buku-buku tersebut sekarang sudah nggak lagi susah, atau harus ke penjual buku di daerah Senen atau pesan dulu di Barel UI. Di Gramedia, koleksi buku sastra dunia ternyata lumayan cihuy. 

Dari situ, saya pilih cerita dari Ryonosuke Akutagawa dengan judul Kappa. Pilihan ini jatuh jelas karena halamannya paling tipis (aku pemalas profesional) dan profil singkat penulis yang tertera di punggung buku buat saya penasaran. Dia seperti tipe penulis bertipe nihilis yang menggemari satir, I could already felt his bitterness towards the world (sotoy). Menebak kalau Akutagawa punya arus negatif yang deras dan sok tahu mati-matian, saya pilih Kappa. 

Ternyata, hanya cukup waktu 1 jam saja untuk menghabiskan Kappa. Entah karena bukunya sangat tipis (kurang dari 100 halaman saja!) atau memang ceritanya sangat seru sehingga saya tidak berhenti sebentar pun, atau memang bisa jadi karena keduanya. Terlepas dari itu, berkenalan dengan Akutagawa lewat karyanya yang satu ini sangat asyik.

Secara garis besar, Kappa berkisah tentang pasien Rumah Sakit Jiwa yang mengaku bertemu dan tinggal di negeri para Kappa. Pernah tahu atau dengar tentang Kappa sebelumnya? Kalau mencari gambarnya di Google, Kappa kira-kira berwujud seperti ini: 

Gambar diunduh dari www.scaryforkids.com
Dalam mitos tradisional Jepang, Kappa adalah siluman yang tinggal di daerah sungai. Bentuknya kurang lebih ya seperti di gambar di atas. Mereka tngginya seperti anak umur 10 tahun, tubuhnya dilapisi lendir, kepalanya berbentuk cekung mangkok, dan berparuh. Jadi, si tokoh Aku terjebak di negeri Kappa selama beberapa lama. Dan dalam kurun waktu tersebut, ia berkenalan dan hidup bersama Kappa-Kappa. Hingga si tokoh utama belajar bahasa Kappa sampai fasih (yang menurut saya mendekati bahasa Perancis).  

Di negeri Kappa, teknologi sudah jauh lebih efisien dan maju. Pembangunan dan Sumber Daya Alam membuat mereka berkecukupan untuk sebuah bangsa. Mereka sama saja seperti manusia. Ada yang berprofesi sebagai pengusaha, penyair, mahasiswa, dan lain-lain. Agama yang dianut pun, ada yang menganut Kristen, Islam, Hindu, Budha, dan Shinto. Yang berbeda, Kappa mengenal agama Modernisme atau pemujaan hidup. Menarik sekali ketika si tokoh utama dibawa berkeliling ke tempat peribadatannya, yang merupakan gedung mewah dan megah di kota Kappa. Pemuja hidup ini menyembah pohon yang diletakan di altar. 

Tidak hanya itu, agama Modernisme ini memiliki nabi-nabinya sendiri yang lucunya bukan berasal kaum Kappa, melainkan kaum manusia. Sang tokoh utama, mengenalinya sebagai Tolstoy, Nietzsche, Doppo Kunikida, Wagner, dan Strindberg. 

Cerita berakhir ketika sang tokoh utama ingin kabur dari dunia Kappa tersebut, dengan bantuan Kappa bernama Bag yang berprofesi sebagai nelayan. Kappa bernama Bag, dikenal sebagai Kappa yang sudah 'merdeka' dalam hidup karena lepas dari semua keinginan bersifat keduniaan dan hidup secukupnya dengan tenang dan damai.

Setelah kembali ke dunia manusia, si tokoh utama juga mengalami penyesuaian kembali. Menurutnya, hidup di dunia Kappa jauh lebih mudah, manusia lebih jahat. Ia menjadi takut dan sangat membenci manusia. Si tokoh utama bercerita, setia malam Kappa-Kappa tersebut setia menemui dan menemainya sepanjang malam di rumah sakit. Ia juga bercerita dibawakan bunga dan berbagai kado oleh Kappa. Nah, oleh si dokter jiwa hal tersebut dicatat sebagai delusi si tokoh utama, karena ia tidak menemukan dan melihat apapun yang diceritakan oleh si tokoh utama (Di bagian akhir ini saya teringat juga ending dari salah satu cerita pendek Haruki Muakami berjudul Super Frog Saves Tokyo).

Menganalisis dari berbagai sudut pandang, mudah saja dilakukan pada cerita pendek Kappa ini. Mulai dari kritik sosial bahkan mungkin penggambaran diri sang penulis sendiri. Atau mungkin juga merupakan penggambaran cita-cita masyarakat nihilis ideal versinya. Menyingkirkan analisis yang berteori-teori yang rumit (saya pemalas profesional (2)), saya sangat menikmati Kappa. Ini adalah buku yang buat saya terbahak untuk pertama kali, setelah sekian lama (kurang hiburan).

Sangat seru melihat bagaimana simulakra ala Akutagawa berlangsung di dunia Kappa. Mulai dari menyaksikan bahasa mereka, budaya, hukum, undang-undang yang berlaku, hingga sistem moral yang ada. Dia sengaja membuat kita menjauhkan dan langung membedakan diri dengan para Kappa. Tapi semakin lama, sebetulnya Kappa adalah manusia itu sendiri.

Gambar diunduh dari www.bukalapak.com

Buku ini bisa jadi bahan dongeng untuk anak-anak SD, begitu pikir saya.


Sabtu, 04 Juni 2016

Stigma Depresi dan Kepergian Vinsentius Billy

Sebelum mulai, kita bisa baca dulu artikel dari Tempo di sini

Masih basah di ingatan kita tentang berita kematian Vinsentius Billy. Ia ditemukan gantung diri di dalam kamar kosannya di daerah Beji, Depok. Saya pribadi tahu daerah itu karena sering melewati. Teman baik saya pernah tinggal di kosan tersebut di masa awal perkuliahan tahun 2011, jadi saya cukup familiar dengan lingkungannya.

Media-media online, televisi, dan radio langsung menyebar berita tersebut. Beberapa orang di kantor dan rumah berbalik kepada saya dan bertanya kenapa di UI banyak yang bunuh diri? berat banget kuliahnya, ya? dan lain-lain. Membaca pemberitaan, sebagian besar bercerita tentang kronologi kejadian dan pembelaan pihak kampus atas stigma yang terlanjur tertancap. 

Yang dilewatkan oleh sebagian besar orang ketika membicarakan ini adalah empati, sensitivitas, dan rasa pengertian terhadap seseorang yang mengalami gangguan mental. Ya, Billy dan berjuta-juta orang lainnya punya tali yang sama, yang bisa digunakan kapan saja. Gangguan mental memang punya tantangan sendiri untuk bisa dimengerti karena 'invisible' atau tidak terlihat. Stereotip yang paling sering diterima oleh penderitanya adalah, "Ya, itu semua cuma ada di pikiran lo doang. Cheer up!", "Ngapain sedih terus? Udahan dong.", "Oh, tapi lo nggak kelihatan sedih sama sekali? Kenapa sih?"

Kurangnya sensitivitas kita terhadap orang yang menderita yang menderita gangguan mental turut menaikan angka bunuh diri. Apakah kita sudah adil terhadap Billy dan teman-teman yang menderita gangguan mental lainnya? Apakah kita sudah perlakukan kalau apa yang mereka alami nyata dan juga butuh pengobatan seperti penyakit fisikal kronis lain? Atau justru kita turut memperburuk dengan memberi komentar, "Anak cowok masak galau? yang gentle napa!" 

Depresi adalah salah satu jenis dari gangguan mental. Menurut National Alliance on Mental Illnes (NAMI), jenis-jenis gangguan mental selain depresi adalah:
-OCD (Obsessive Compulsive Disorder)
-panik berlebih (anxiety disorder)
-schizophrenia
-gangguan makan akut (eating disorder),
-ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
-Autis
-Bipolar
-BPD (Borderline Personality Disorder)
-PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder)
-Dissociative Disorder

Penyakit mental/gangguan mental adalah kondisi yang menimpa mood, pikiran, dan perasaan seseorang, dan mempengaruhi kemampuannya untuk berhubungan dengan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Setiap penderita bisa saja mengalami diagnosa yang sama, tetapi pengalamannya bisa sama sekali berbeda.

Penyakit mental sama halnya dengan sakit jantung dan sakit paru-paru, harus ditangani serius melalui konsultasi, medis dan/atau pengobatan. Namun, itu tidak jadi hal yang saklek dilakukan juga. Ada beberapa teman yang saya kenal, mengontrol dengan cara yang alami (bisa melalui distraksi hobi, kesukaan, meditasi, dan lain-lain), melalui medis (mengonsumsi obat-obatan anti-depresan), mengkombinasikan keduanya, dan perawatan rumah sakit (hospitalized). Itu kembali pada kecocokan tubuh dan kenyamanan penderita. 

Apa yang membuat seseorang depresi? Banyak. Kejadian traumatis karena perpisahan (meninggalnya orang yang sangat dicintai, perceraian, putus cinta), tekanan dari orang-orang terdekat dan/masyarakat (dari pekerjaan atau rumah tangga), menerima perlakuan abusive, perang, dan korban bencana alam, dan lain-lain yang mengarah kepada pengalaman traumatis. Nah, itu semua sifatnya eksternal. Depresi bisa juga terjadi karena hal internal, seperti diturunkan secara genetis  (ya, mungkin orangtua atau leluhurmu dulu punya gangguan mental juga) dan kamu punya kadar hormon kimiawi dalam otak yang tidak seimbang serta struktur otak yang 'berbeda'. Ya, depresi tidak hanya bisa terjadi karena pengalaman eksternal, tapi juga internal. 

Depresi juga bukan tentang penampilan. "Dia kelihatan baik-baik saja, pendiam tapi baik-baik saja.", "Lo depresi? Tapi nggak kelihatan sama sekali, sih.", "Ohya, dia depresi kelihatan sedih terus nggak pernah happy."  Siapa yang bisa menjamin keadaan seseorang baik-baik saja hanya karena dia tertawa setiap hari? Ya, kamu tahu dia selalu murung, lalu menganggapnya orang yang bosan, anti-sosial, aneh? Apakah kamu pernah benar-benar memahaminya, berbicara dari hati ke hati? Depresi tidak terlihat, beberapa orang bahkan berusaha keras untuk menutupinya, namun yang sering terjadi orang-orang tidak mau melihatnya. Sekali lagi, hanya butuh sensitivitas dan empati untuk menyadari seseorang menderita depresi. 

Apa yang menimpa Billy bisa menimpa siapapun juga. Billy tidak mati karena bunuh diri, tetapi karena depresi. Depresi adalah penyakit yang nyata, sama kronisnya seperti infeksi paru-paru atau serangan jantung. Kita harus berhenti memberi stigma bahwa penyakit mental tidaklah nyata karena tidak terlihat. Kita harus berhenti berasumsi bahwa depresi terjadi karena kurangnya kedekatan dengan Tuhan, karena bosan, dan hanya bisa terjadi hanya karena tekanan hidup yang berat. Depresi bisa datang begitu saja, dan cara kita memahaminya adalah mendengarkan, mendukung, dan menemani. 

Seperti halnya penyakit fisikal kronis lain, depresi tidak bisa dilalui seorang diri. Jika kita mau membuang stereotip dan stigma dangkal mengenai gangguan mental, mereka akan lebih terbuka bercerita. Kita pun bisa membantu menyelamatkan jiwa lebih banyak lagi, dibandingkan sibuk menyalahkan A, B, atau C. 

"Consumed by the Blue", Amalia Nur Fitri, 2015, watercolour on paper





Kamis, 21 April 2016

Kartini Bukan Sekedar Sanggul dan Kebaya

Berkebaya, bersanggul, melakukan pawai sambil pakai kostum adat daerah atau profesi tertentu, sounds familiar, eh? 

Sudah berpuluh tahun Hari Kartini dirayakan dengan simbol-simbol demikian. Kenapa, ya harus dengan cara demikian? Membaca karya Pramoedya Ananta Toer, berjudul Panggil Aku Kartini Saja, sebenarnya makin menjelaskan kalau Kartini hidup dalam paradoks. Bahkan bertolak belakang dengan apa yang ia yakini.

Kartini adalah bangsawan yang hidup dengan tata cara hidup ala keraton yang menjunjung hierarki. Bagi seseorang yang mendambakan kesetaraan dan keadilan gender, tentu bukan hal mudah hidup dalam lingkungan demikian. Ia sudah 'dipersiapkan' sejak umur 12 tahun untuk menikah, sehingga tidak lagi sekolah. Kebahagiaan intelektualnya dimutilasi saat itu juga. Pada umur 24 tahun ia menikah (dimana menurut tradisi Jawa, ia sudah sangat telat menikah), dengan bupati beristri tiga yang umurnya berlipat-lipat jauhnya dibanding Kartini.

Menulis menjadi senjatanya untuk melawan. Kegiatannya berkoresponden dengan seorang Belanda, menyebabkan dirinya mulai dikenal. Karena tulisannya di surat-surat dipublikasikan sehingga membuat 'heboh' dunia internasional waktu itu. Kenapa heboh? karena ia orang keraton yang mengkritik norma-norma sosial Jawa yang membatasi ekspresi perempuan. Contohnya mengatur bagaimana cara perempuan berjalan. Hubungannya dengan Belanda mempermudah ia mendirikan sekolah untuk gadis-gadis di daerahnya, dimana hal itu tidak disetujui oleh suaminya.

Kartini dinikahkan saat sistem reproduksinya belum matang dan siap, sehingga meninggal ketika melahirkan anak satu-satunya. Menjadi bangsawan Jawa, ternyata lebih susah ketimbang menjadi rakyat jelata Jawa dalam hal kebebebasan diri. Dengan luasnya wawasan dan pengetahuannya, ia masih harus dikerdilkan oleh adat dan budaya Jawa, dan ia tidak bisa apa-apa dengan posisinya itu. Mungkin lebih tepatnya, karena ia perempuan jawa, sekalipun ia seorang ningrat. 

Pemikiran revousioner dan emansipasi yang diperjuangkan Kartini seharusnya kita lanjutkan. Tidak hanya tereduksi dari baju kebaya atau sanggul yang dipakai. Alangkah baiknya jika Hari Kartini diperingati dengan cara yang lebih konkrit, menciptakan dunia yang lebih baik lagi untuk perempuan dan juga laki-laki, persis seperti mimpi Kartini.

Gambar diunduh dari www.deborahdewi.com


Selasa, 08 Maret 2016

Harapan di Hari Perempuan Internasional 2016







Saya sejujurnya baru menyadari, bahwa tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Hari ini, dibandingkan dengan tanggal 21 April atau 22 Desember yang diperingati sebagai Hari Kartini atau Hari Ibu di Indonesia, tidak begitu familiar oleh kebanyakan orang. Tapi sebagai perempuan, saya boleh berharap mengenai  beberapa hal dari masyarakat. 

Sebagai seorang perempuan, sangat wajar bila saya berharap keadilan gender dan praktik-praktik non-misoginis bisa lengser segera selamanya di Indonesia. Sangat wajar saya berharap jika siapapun bisa benar-benar berbuat baik dan beramah tamah, karena memang senang berteman dengan manusia, bukan karena dia punya dada yang besar, pinggul yang ranum, rambut yang indah, atau mata yang menarik. 

Saya berharap, perempuan di Indonesia tidak lagi terbuai oleh mimpi-mimpi pernikahan. Menganggap pernikahan sebagai satu-satunya batu loncatan, pencapaian dalam hidup, atau sebagai sumber kebahagiaan satu-satunya. Tidak ada yang salah dengan pernikahan, tetapi menganggap itu sebagai tujuan bahkan prestasi, adalah pandangan yang menyesatkan. Saya berharap, daripada terbuai oleh pernikahan, perempuan lebih memikirkan tentang bagaimana caranya ia membebaskan diri dan masyarakat kecil dari ketidakadilan dan penindasan, menuai ilmu dan pendidikan, bereksperimen dalam penemuan, atau belajar menstabilkan emosi dan psikologinya. 

Saya berharap, tidak ada lagi tulisan pop atau post-post viral media sosial yang mendaku islami, mengatur bagaimana perempuan seharusnya berpakaian, berjalan, bertingkah, bahkan berpikir. Alih-alih islami, justru dari situ pemeliharaan praktik patriarki nan misoginis dipelihara, disebarluaskan, bahkan dipatri dalam memori perempuan sebagai yang 'ideal'. Saya berharap masyarakat tidak lagi mengatur mana yang wajib dan haram (begitu pula, standar baik dan buruk) dilakukan oleh perempuan, lalu membalutnya dengan kain-kain dan atribut keagamaan. Sehingga, ia yang tidak terpapar pengetahuan, menganggap bahwa perempuan memang lahir dengan segala kain-kain atribut itu, dan menganggap semua memang wajar adanya. Yang sebetulnya pantas mengatur dirinya, adalah dia sendiri. Dia utuh, perempuan utuh dengan segala otoritas dan kedaulatan tubuhnya. Beragama tidak memaksa seseorang untuk menutup atau membuka tubuh, namun misoginis, ya. 

Saya berharap tidak akan ada lagi balasan, "Biasa aja kali", "nyantai aja, sih", dan ,"yaelah, lebay amat." dari laki-laki atau perempuan, oleh seseorang yang menyatakan ketidaksukaannya karena telah merasa dilecehkan. Memanggil dengan sebutan, sayang, cantik, bahenol, semok, montok, dengan salam, bersiul, dan memandang, tanpa consent (persetujuan), adalah bentuk pelecehan. Bukanlah sesuatu yang berlebihan jika seseorang, menyebut itu penghinaan dan pelecehan, justru ia sadar akan keberadannya. Sebutan-sebutan bukanlah pujian, itu adalah bentuk seseorang yang tidak bisa menghargai manusia lain, menganggap yang lainnya hanya objek. Kamu tidak patut merasa spesial jika mendapat siulan di pinggir jalan. Sebaliknya, kamu harus minta mereka berhenti berlaku demikian. 

Saya berharap, perempuan Indonesia bebas dari segala romantisasi, bebas dari segala perilaku ingin dispesialkan dan dilayani karena merasa lemah tak berdaya, menyadari adanya patriarki, memahami dirinya ditindas, lalu berani melawan dan membela dirinya. Tidak hanya sibuk untuk menjadi terkenal, menjadi pemimpin trend, menjadi keren, atau menjadi faboulus, tetapi juga mempunyai kesadaran kritis. Berani mengembalikan lagi narasi tubuhnya di ruang publik, termasuk di internet. Tidak ikut menjadi agen patriarki, karena kamu pun sebenarnya adalah korban juga, yang paling parah pula. Jadilah cerdas memahami keadaan sosial dan politik masyarakat dan diri sendiri, jadi diri tidak hanya terampil memilih filter instagram atau memilih warna lipstik. 



Sekedar berharap tentu boleh saja, bukan?  Selamat Hari Perempuan Internasional. 

Minggu, 21 Februari 2016

LGBTQIA di Indonesia Lagi, Kapan Gajianku?

Semakin hari, topik pembahasan mengenai LGBT semakin marak. Di media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, Line, dan lain-lain, orang-orang berlomba-lomba membagi berita atau menyerukan pendapatnya. Dan seperti yang sudah di dalam kandungan bisa kita tebak, poros ini terbagi dalam pro dan kontra.

Haruskah kita mengambil posisi untuk menyatakan sikap kita terhadap pemberitaan LGBT ini? Saya pernah menulis di post terdahulu kalau topik ini tidak terlalu penting menurut saya, karena saya tidak memandang adanya perbedaan yang berarti dari LGBT ini dengan saya sebagai hetero dalam hal mencintai. Tetapi, melihat banyaknya fitnah dan kedunguan tak berujung, saya pikir kita bisa membantu meluruskan atau setidaknya mengurangi polusi berita-berita yang beredar. Menolak segala bentuk penindasan yang dilakukan terhadap minoritas itu harus selalu dilakukan. Kali ini saya ingin membahas baik dari respon masyarakat serta apa yang mendasarinya mengenai LGBT. 

gambar didapat dari jflag.org


Karena saya lumayan aktif bermain Facebook, saya cukup familiar dengan status-status mayoritas teman yang bersuara mengenai LGBT ini. Tema ini menyeruak hangat dibicarakan tidak hanya di media sosial tetapi juga pertelevisian. Menurut saya, sejak kasus SGRC UI beberapa waktu lalu, isu LGBT perlahan tapi pasti ramai dibicarakan. Mayoritas dari mereka membuat bingkai berita yang menjatuhkan, seperti menyebut kelompok LGBT adalah sekte seks (I laughed my lungs out when I read this term), kegiatan yang haram, harus diperangi, disuruh untuk bertaubat dan disembuhkan, dan lain-lain. Tetapi sebenarnya, dari beberapa pernyataan, kita bisa lihat bahwa bentuk penerimaan dan penolakan masyarakat terhadap isu LGBT ini juga beragam. Ada yang sama sekali menolak dengan memakai dalih agama, ada yang menerima dan mengharuskan LGBT ini bertaubat dan disembuhan, ada yang menerima tetapi menolak mendukung legalitas perkawinan LGBT karena dalam agama apapun tidak ada sejarahnya, dan ada yang menerima secara pergaulan sosial. 

Benang merah paling jelas yang menghubungkan semuanya ada di dalih agama yang dipakai. Baik masyarakat menengah atas ataupun bawah, memakai dalih agama sebagai cara berpikir rasional ketika dihadapkan dengan isu LGBT ini. Walaupun datang dari kelas yang berbeda, namun mereka memiliki dasar pegangan yang sama. Nah, terlepas dari beragam berbagai ekspresi menolak, saya menemukan lagi pertanyaan dari kaum yang anti LGBT ini. Mereka mempertanyakan perlakuan diskriminasi seperti apa yang dihadapi oleh LGBT. Contohnya ada di post Facebook satu ini. Sekali lagi, simbol yang berhubungan dengan agama dipakai sebagai perbandingan. Penulisnya membedakan diskriminasi yang terjadi terhadap muslimah yang berhijab tertutup, lalu mempertanyakan apa beban yang sudah dialami oleh LGBT. Mungkin si penulis belum pernah membaca atau menemukan Berita banyaknya pembunuhan yang terjadi pada LGBT. Diskriminasi yang dialami datang, yang satu karena memakai simbol yang bisa langsung terlihat sedangkan yang lain tidak. Tetapi, yang saya pelajari lagi (terlepas benar tidaknya tulisan yang dibagi oleh penulis di Facebook ttg hal itu), ternyata walaupun sama-sama tertindas, tidak lantas membuat orang menjadi memahami penindasan yang dialami oleh orang lain. Sehingga alih-alih mendukung, malah membandingkan penindasan mana yang paling parah diterima oleh suatu pihak. Seakan-akan menunjukan perangai 'aku-yang-lebih-menderita' atau playing victim.

Nah, saya tidak akan menangkis pandangan tersebut dengan argumen lain. Saya mau membahas dalih yang mendasari argumen para anti LGBT ini, yakni mayoritas agama. Kita juga tahu, bahwa dalam agama apapun LGBT ini diharamkan oleh agama. Tetapi tunggu dulu, apa yang diharamkan? orangnya kah? perilaku seksualnya kah? atau afeksi yang dilakukannya kah? Coba buka tautan ini untuk lebih jelasnya. Lewat fiqih atau hukum islam, LGBT dipandang secara konservatif. Sejauh ini yang dilarang merupakan liwath' atau aktivitas bersenggama yang dilakukan oleh pasangan gay. Karena memang secara kesehatan kegiatan dengan cara demikian akan membawa banyak penyakit dan kuman. Tetapi, sebenarnya, kegiatan seks dengan cara demikian tidak hanya dilakukan oleh pasangan gay saja. Hetero juga banyak yang melakukannya. Jadi sebenarnya, pesan yang turun ini tidak hanya berada dalam konteks diturunkan untuk kaum gay, namun sebagai peringatan kepada siapapun yang menganut orientasi seksual apapun untuk tidak melakukan kegiatan seks secara anal. Nah, apakah kamu bisa mencintai tanpa mengaharpkan seks? Itu persoalan lain, ya. Dan yang lainnya, karena pernikahan sejenis tidak diperbolehkan, maka kegiatan seksual mereka dinilai sebagai zina. Yah, ini juga berlaku pada yang hetero, kan. Kalau belum terikat pernikahan maka kegiatan seksual yang dilakukan (baik homoseks atau heteroseks) adalah zina. Lalu, bagaimana menyingkapi kaum LGBT? ah, repot sekali, terima saja mereka. Kenapa harus repot memikirkan hidup orang lain? Kenapa pula harus takut? Saya kenal dengan seorang gay yang relijius, ia memilih single dan mengadopsi anak perempuan. Sekarang ia bahagia menjadi single father. Thats it. Dia masih beribadah ke gereja dan berdoa, keluarga menerima. 

Dalil agama yang menjadi pegangan para anti-LGBT bisa kita lihat dalam kacamata politis, lho. Isu LGBT ini seakan pas mengisi kekosongan masyarakat dalam hal mencari 'musuh bersama'. Setelah kubu Prabowo dan Jokowi mulai lenyap secara perlahan, isu LGBT seakan menjadi kapal baru untuk ditumpangi. Pemahaman masyarakat terhadap isu ini juga sangat rendah, mereka kebanyakan tidak mengenal perbedaan orientasi seksual dan penyimpangan seksual. Ketika dihadapkan oleh suau fakta, tidak akan diterima dan coba untuk diolah sama sekali. Mereka hanya mau membaca atau menerima hal yang sama dengan apa yang dipercayai. Tidak akan ada perkembangan. Terlebih ketika pemerintah ikut bermain di dalamnya, media pun ikut serta. Seolah, isu LGBT ini memang mempersatukan kita antar-ras, agama, budaya, sistem ekonomi dan lain-lain. Persis ketika zaman dahulu, ketika isu Cina, Asing, Komunis, didengungkan untuk membakar emosi untuk menyerang 'musuh bersama'. Setelah tidak lagi ampuh, maka LGBT kini menempati topik. Seperti yang Tom Bellstroff pernah bilang, isu anti-LGBT di Indonesia merupakan suatu petunjuk bahwa ideologi militeristik, fasisme, maskulinitas, dan patriarki mulai terancam. Jadi, walaupun benci setengah mati untuk mengakuinya, kita bisa bilang bahwa negeri kita masih kuat memegang ideologi demikian. 

Jadi, apa yang sebenarnya mau saya bahas? hahaha. Well, saya ingin melihat isu LGBT ini dari sudut pandang ketiga. Saya ingin tahu mengapa masyarakat begitu intens menaruh perhatian terhadap masalah ini. Karena, ini adalah isu kelas menengah, di mana mereka terpapar oleh pemberitaan dari media luar negeri tentang pernikahan sejenis. Baik anti LGBT dan pro LGBT akhirnya bereaksi sehingga akhirnya meluas, ditambah dengan permasalahan yang pernah menimpa SGRC UI beberapa waktu yang lalu. Saya hanya ingin menambahkan, bahwa dalih agama yang menjadi pegangan paa anti LGBT ini pada akhirnya jauh dari kata toleransi. Seruan kebencian diperlihatkan dan mendapat dukungan. Ini bisa jadi menunjukan bahwa krisis kepercayaan terhadap sebuah rezim (dalam hal ini, pemerintahan Jokowi) sudah merosot, sehingga akhirnya para konservatif mencari kembali 'musuh bersama' untuk kembali bersatu. 

Akhir kata saya berdoa agar kita senantiasa dijauhkan dari segala bentuk kedunguan, kesempitan hati dan pikiran, amin. 

ucla.org












Jumat, 22 Januari 2016

Menanggapi Pemberitaan Mengenai SGRCUI dan Gagal Lulusnya Anak Sastra Arab UI

Sebagae orang sok penting nan sok tahu, saya mau ikut berkomentar ria perihal dua kejadian yang sedang 'hot-hot-nya' dibicarakan di (ex) kampus saya. Coba kita kupas soal yang pertama, yaitu mengenai kegiatan SGRCUI (Support Group and Resource Center on Sexuality UI).

Saya memang bukan bagian dari SGRC sama sekali. Tapi saya tahu keberadaan mereka, saya tahu apa yang mereka coba perjuangkan, dan apa yang jadi concern mereka, yaitu merangkul minoritas yang ditindas masyarakat karena orientasi seksualnya, dan juga memberi konseling terkait LGBTQIA. Yang jadi masalah adalah, ketika komunitas ini menyelenggarakan seminar pendidikan seksualitas di UI dan juga promosi grup mereka di UI. Banyak jarkom menyebar dengan judul provokativ "DUKUNG UI MEMERANGI LGBT". Teman saya di kantor (yang juga alumni UI) tiba-tiba datang dengan wajah asem, berujar "SGRC ini apaan sih? seenaknya pake lambang UI. Emang udah dapet ijinnya??". Ia lalu menunjukan status temannya di Path yang berbunyi "Ini nih, kalo ada yang ketemu mereka di UI, jewer kupingnya. Bilangin, tobat lu tong". 

Reaksi homofobik yang begitu deras datang ketika SGRCUI mempromosikan kegiatan positif mereka di UI dan website gubahannya yaitu, http://melela.org/. Mereka diserang karena pakai nama UI, yaiyalah itu karena pendirinya mahasiswa UI. Nama UI dipakai untuk menunjuk unsur tempat atau geografis, yaitu di Universitas Indonesia. Lalu, komentar "pakai lambang UI, emangnya udah dapet ijinnya?". Lah, komunitas ini bukannya sudah lama ada di UI? Komunitas ini juga sering mengadakan acara seminar mengenai kajian gender, anak, dan pencegahan pelecehan seksual, dll,yang memakai fasilitas UI, jadi acara mereka disetujui oleh UI. Ditambah, saya juga pernah lihat profil komunitas ini di buku BKUI tahun jebot. Itu, menandakan bahwa komunitas ini diakui berada di bawah naungan UI, mereka juga punya pusat studinya, kok di UI. 



Saya kecewa sekali, melihat tanggapan pejabat UI menanggapi reaksi homofobik ini. Mereka mengklarifikasi bahwa SGRC ini tidak punya izin resmi sebagai pusat studi/UKM di tingkat fakultas atau UI, jadi penggunaan logo UI tidak diperbolehkan dalam segala bentuk aktivitasnya. Sungguh, rasanya sangat kecewa. Kampus dan dialektika kritik rasional itu harga mati. Kampus mestinya jadi tempat yang terbuka untuk segala bidang ilmu dan segala budaya akademis. Selain itu, kampus mestinya menjadi rumah untuk seseorang dapat diterima dan belajar, terlepas dari label apapun yang menempel oleh seseorang. 

Menanggapi LGBTQIA sendiri, saya sebenranya tidak pernah memandang itu sebagai hal yang spesial. Karena, saya sendiri tidak mempermasalahkan apapun dari orang yang mencintai, mereka sama saja dengan saya yang punya preferensi mayoritas, hanya bedanya kepada pilihan subjeknya saja. Eh, malah semakin tidak ada bedanya, toh. Kita bisa tertawa melihat orang berhubungan seks dengan pohon atau orang yang menikahi peri, ini melihat orang saling mencitai kok ketar-ketir? Melihat LGBTQIA, tidak bisa dipandang sebatas, suka-tidak suka, setuju-tidak setuju, hal tersebut nyata terjadi di masyarakat kita, mereka ada, jadi tidak perlu memungkiri. Pendapat seperti itu tidak akan mempengaruhi realitas objektif yang ada. 

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, concern dari komunitas ini adalah memberi konseling. Buat kamu-kamu yang galau ditindas hanya karena preferensi seksual yang tidak mainstream, bisa datang ke SGRC dan curhat. Kalau niat positif itu dibelenggu, lantas harus kemana orang-orang ini membagi atau mengatasi masalahnya? mereka tidak mungkin datang ke Felix Siauw, kan. 

32 Mahasiswa Sastra Arab Terancam Gagal Lulus

Kealayan kampus tidak berhenti di situ saja. Manajemen perkuliahan yang bobrok di FIB UI, menyebabkan 32 mahasiswa sastra Arab gagal lulus. Kaprodi-nya memberi pernyataan bahwa hal ini terlalu dibesar-besarkan, bisa diselesaikan secara internal. Menurut dedek junior di kampus, audiensi sudah dilakukan dan hasilnya tidak ada solusi. Keputusan apakah mereka bisa dapat lulus atau tidak, akhirnya bergantung pada rektor. 

Banyak sekali pihak yang nyinyir dengan masalah yang menimpa mereka. Mungkin karena mereka anak-anak yang mengambil kuliah 3,5 tahun. Tapi hey, kalau kamu sendiri yang mengalaminya, saya yakin pasti habis air matamu menangisi nasib. Terlepas dari komentar miring anak-anak yang iri dengki karena mereka tidak bisa lulus dalam waktu 3,5 tahun, saya pikir kita tetap harus dukung mereka. Dengan memberi dukungan (apapun bentuknya) kita sadar bahwa ada ketidakadilan. Kebobrokan manajemen perkuliahan yang sering terjadi harus diubah. Jika kita diam saja, hal tersebut malah jadi lumrah.

Saya juga kecewa sekali dengan respon dari beberapa teman dan junior, yang menolak membantu. Alasan yang dikeluarkan tidak kalah norak, intinya tidak mau terjadi hal-hal buruk yang menimpa karena mereka juga mau lulus tahun ini. Ah, those bitches

Ada pula yang berkomentar, 'jika publik tahu kalau manajemen studi di FIB UI jelek, lalu bakal jadi membaik? kecuali kita punya kekuatan yang besar untuk melawan'. Cih, ongol-ongol seperti itu yang seharusnya kita libas. Justru dengan kritik, terbukti perbaikan terjadi di kampus. Yang perlu diingat sekali lagi kawan, kampus UI secara perlahan namun pasti sedang mengukuhkan diri menjadi teknokrat. Banyak sekali kebijakan yang dibuat tidak untuk memudahkan mahasiwa untuk belajar atau menjadi kritis, sebaliknya membuai dengan layanan-layanan berbau konsumerisme secara terang-terangan di kampus. Secara perlahan pula, akan membuai mahasiswa menjadi apatis, hanya peduli terhadap kinfolk cafe. Semestinya, pendidikan tinggi yang kita jalani bertahun-tahun dengan biaya yang tinggi ini, menjadikan kita sadar terhadap keadaan sosial kita juga. 

Mungkin saya masih bisa menerima alasan yang (menurut mereka) bijak, untuk membantu dengan cara yang lain. Tapi tidak dengan alasan takut dijerat UU ITE, takut terkena masalah, susah cari kerja, susah cari pacar. Lebih baik, tidak usah kuliah saja sekalian, kok seperti itu respon yang diberikan ketika melihat korban dari kebobrokan fakultas kalian? 

Tunggu saja saya akan buat GafatarUI. 

Senin, 11 Januari 2016

Gaul dan Kurang Digauli

Saya selalu senyum sendiri kalau dibilang nggak gaul. Saya cuma punya beberapa pasang baju yang dibeli dari toko baju bekas pula. Sepatu hanya dua, dan diganti jika yang lain sedang dicuci. Begitu pula dengan jeans. Saya juga baru menyadari bahwa 65% warna pakaian yang saya punya di lemari berwarna hitam, karena saya pikir hitam akan selalu cocok dalam keadaan apapaun. Tak lekang oleh waktu, begitu saya pikir. 

Tapi, ternyata saya tetaplah dibilang ketinggalan jaman, hahaha. Jangan salah, saya pemerhati fashion sejak saya SMP dulu. Saya langganan majalah yang hits pada waktu itu seperti Gadis, dan Kawanku (Bobo juga masih, tapi nggak ada pembahasan tentang fashion di sana). Ketika sudah memasuki dunia kuliah, dan melihat-lihat koleksi majalah itu, saya bergidik. "nggak nyangka, dulu pernah tertarik gini-ginian."

Kembali lagi dengan istilah gaul, memangnya gaul itu apa, sih? Menurut KBBI, kata gaul adalah kata kerja yang merujuk pada kegiatan berteman atau bersahabat. Nah, lho, kok nggak ada hubungannya sama yang sudah dipaparkan? Makna kata gaul sendiri ternyata bergeser kepada penyebutan keren. Gaul ternyata berubah menjadi istilah untuk menunjukan suatu gaya hidup atau budaya. Padahal makna kata kerjanya merujuk pada aktivitas sosial berteman dan bersahabat. Mungkin dari sana lahirnya pengertian bahwa, orang gaul temannya banyak.

Kita lanjutkan gaul dalam konteks pengertian gaya hidup, yuk. Agar kamu dapat teman banyak dan diterima dalam pergaulan, maka harus ada kesamaan gaya hidup, atau kesamaan sistem yang dianut. Itu basic rule dalam langkah awal menjalin pertemanan. Kenapa sih, saya dianggap nggak gaul? anggapan itu tidak datang dari jumlah teman yang saya punya, tapi memang menyiratkan gaya berpakaian dalam keseharian saya. Juga, pernyataan itu datang dari kurang update-nya saya dengan trend masa kini, seperti musik, film, kosmetik, fashion, dan lain-lain. Saya hanya tahu, tapi tidak mengikuti konsumsi itu. Kenapa? karena saya tidak suka. Kalau boleh jujur, bahkan saya berhenti untuk mengkonsumsi segala hal yang dikatakan sedang menjadi trend. Biarlah menjadi pengetahuan semata, tetapi saya tidak akan mau didikte dan memperkaya pihak-pihak yang diuntungkan dari suatu trend itu (pastinya korporat yang punya andil besar). Segala bentuk pembicaraan yang sedang trend di media sosial sudah dikendalikan oleh pemilik modal, yakni korporat. Media-media besar yang ada di media sosial, merupakan perpanjangan tangan korporat. Sehingga apapun yang disajikan sudah dirancang sedemikaian rupa. Glorifikasi gojek, toko online, lari marathon, olahraga di tempat fitness-nya selebriti, travel ke sana-sini, makanan yang lagi tren, kopi yang lagi tren, dan lain-lain adalah salah satu bentuk bagaimana sosial media menjadi lahan paling potensial untuk menjerat daging-daging konsumtif. Percayalah, ada saja yang rela melakukan apapun, apapun untuk mendapat status gaul dan kekinian, dengan menjadi konsumtif. Apa yang bermanfaat dari pertemanan yang dijalin karena konsumerisme??



Saya kok sedih sendiri, ya. Membayangkan sebuah jalinan pertemanan yang lahir karena hanya seseorang mampu mengkonsumsi barang tertentu? Kalau ternyata untuk menjadi gaul harus seperti itu, saya lebih baik cupu saja seumur hidup. Tidak akan berfaedah berteman dengan cara begitu. Tetapi, setiap orang berhak memilih siapa yang bisa dijadikan temannya. Kamu bisa memilih mana yang gaul untuk jadi temanmu, begitu pula saya. Asal sama-sama menganut suatu kesamaan tertentu.

Daripada membicarakan baju terbaru keluaran merk desainer ternama, saya lebih senang membahas bagaimana proses produksi di belakangnya. Tangan-tangan seperti apa yang menjahit baju sedemikian banyak, dan lain-lain. Seperti di bawah ini contohnya:



Di balik baju-baju indah dan bagaimana fashion bekerja, ada buruh-buruh mati, orang-orang yang depresi, keterbelakangan mental yang melanda suatu daerah, dan lain-lainnya. Atau di bawah sini untuk tahu bagaimana makanan-makanan hits gaul terkini diproduksi.




Jika kamu tidak bisa menghentikan kebiasaan konsumtif itu, at least do yourself a favor to be informed.