Sabtu, 17 Februari 2018

Membahas Sastrawan Rusia Favorit Aqu dan Bagaimana Mereka Mati

Dorongan untuk menulis tema ini datang dari gejolak hormonal haid. Saya membaca kembali Sinel (Mantel) karya Nikolai Gogol dan menangisi Akaki Akakievich seharian disaksikan oleh dua ikan mas koki saya. Dari sana, jadi teringat penulis-penulis Rusia favorit lainnya. Walau selera saya sungguh sangat basic, tapi rasanya menghaturkan secara khusus kekaguman kepada penulis-penulis tersebut, perlu dilakukan. 

Sebab bagaimana pun juga, antusiasme terhadap karya-karya mereka inilah yang buat saya terus bertahan belajar di Sastra Rusia, hohoho. Dari mereka pula, saya merasa tak perlu khawatir untuk stay sad and less fab alias menjadi suram dan gelap (ngok). Karena dalam beberapa titik, menghadapi hal-hal 'gelap' itu adalah salah satu cara untuk tetap hidup dan terus menghargainya (ngek). 

Selain sosoknya, saya juga mau membahas bagaimana mereka menghadapi kematiannya. Mengapa? karena seperti kisah-kisahnya, para sastrawan klasik ini juga berakhir dengan cara yang 'tragis', grotesque, sureal, dan meninggalkan kesan sangat dalam. Oke, semua ini adalah murni pengalaman membaca saya yang memang tak terlalu luas. Jadi silakan dinikmati sebagai bagian dari pengalaman saya sahaja, hehehe. 

1. Nikolai Gogol 


Nikolai Gogol, potretnya selalu jaim dan polos, sumber: rinatim.com
Awal masuk jurusan Rusia, nama Tolstoy lebih sering disebut dibandingkan orang ini. Padahal, mereka berdua sama-sama 'mistis', kalau nggak mau disebut aneh. Bedanya, Gogol punya selera humor lebih hacep daripada Tolstoy. 

Mereka (Tolstoy dan Gogol) bisa menangkap eksploitasi dan ketimpangan yang terjadi terhadap petani dan orang-orang marjinal dengan sangat baik. Tetapi arah 'peraduan' mereka berbeda, Tolstoy lebih mengajak kita untuk pasrah dan menyerahkan diri pada Tuhan, sementara Gogol menertawakannya. Ya, ini tentu saja nggak bisa diaplikasikan di setiap karya keduanya, setidaknya dalam kasus 'Mantel' karya Gogol dengan 'Tuhan Tahu Tapi Menunggu' karya Tolstoy, itu yang bisa saya tangkap. 

Gogol mau tak mau membuat kita (atau setidaknya saya) marah dengan pemerintah, sekaligus membenci dan mengasihani tokoh utama. Dari Gogol, saya juga banyak belajar bagaimana mendeskripsikan sosok dengan detail dan komikal, tapi tetap substansial. Gogol juga memiliki teknik menulis yang padat, tapi alur bercerita yang mengalir asyik, sehingga pembaca bisa bertahan tanpa harus kehabisan napas, ini saya temui dalam 'Jiwa-Jiwa Mati' dan 'Vy'. Dari dia pula, saya berpikir imajinasi liar perlu sesekali dikembangkan lebih jauh, untuk memunculkan beragam alternatif hidup, walau akhirnya tetap kalah diganyang kesialan hidup. Well, at least you tried, sweetie.




Menemui masa akhir hidupnya, Gogol ternyata juga menghadapi sebuah kebuntuan. Ia tiba-tiba paranoid saat menyaksikan kematian istri sahabatnya, Catherine, karena tipus. Serangan paranoia itu membuat Gogol banyak memikirkan kematian hingga depresi dan menyandarkan diri pada ajaran agama. Supaya bisa hidup lebih lama dan tak berakhir mati muda seperti Catherine, dia mendatangi pendeta ultra-konservatif Orthodox bernama Bapa Matvei Konstantinovsky. 

Sialnya si Bapa bilang kalau pekerjaan Gogol sebagai penulis itu dianggap sebagai pekerjaan yang dibenci Tuhan. Tanpa pikir panjang, Gogol langsung saja membakar skrip-skrip naskah 'Jiwa Jiwa Mati' dan berbagai manuskrip lainnya dan melabelinya sebagai kegagalan. Sikap destruktif tersebut berlanjut dengan niatnya untuk berpuasa menyambut Maslenitsa. 

Maslenitsa adalah perayaan musim semi Rusia yang sangat heboh dan penuh hura-hura. Keputusan Gogol untuk berpuasa ini sebetulnya sangat menyakiti diri, sebab dirinya sangat terobsesi dengan makanan. Benar saja, beberapa hari puasa, ditambah keadaan mental yang amburadul, dia jatuh sakit. Dokternya sendiri merasa menempelkan beberapa lintah di hidungnya dan 'merebus' Gogol adalah teknik terbaik untuk membuat sastrawan terkenal itu sembuh dari kekurangan gizi dan depresi klinis. Tentu saja cara ajaib itu gagal. 

Sebelum meninggal, Gogol pernah menyampaikan pesan kepada sahabatnya jika nanti meninggal ingin disediakan peti mati dengan lubang udara dan sambungan tali dengan bel dari dalam kubur. Ya, cara ini dilakukannya sebab beliau parno kalau-kalau orang mengira dia mati padahal belum, jika hal itu terjadi dia ingin memberitahu orang dengan memanggilnya lewat bel yang tersambung ke peti matinya supaya bisa ditolong. 

Tapi Gogol sudah damai dikebumikan di area pemakaman Danilov sebulan setelah puasa berdarah itu. Lelaki Aries berdarah Ukraina tersebut meninggal 21 Februari 1852 di usia 42. 

2. Anton Chekov 

Anton Chekov, yang seakan bilang "buruan, nyet!" kepada fotografer, sumber: lettersofnote.com
Mengagumi Chekov awalnya karena alasan receh. Ya, benar karena sama-sama Aquarius dan lahir hanya berselang satu hari saja dengan saya tertarik dengan RSJ. Jika karya Gogol bisa membuat kita tertawa dan bersalah kemudian, karya Chekov sangat apik menggambarkan tokoh dan sifatnya seperti seorang antropolog, tapi dengan ironisme tingkat tinggi. Kirin Narayan, seorang folkoris cum profesor bahkan terinspirasi membuat teknik-teknik menulis dari karya-karya Chekov. 

Chekov meninggal karena TBC. Lelaki tampan idola banyak kembang desa ini pun mengalami proses meninggal yang lebih 'normal' ketimbang Gogol. Bahkan bisa dibilang mendekati elegan, walau akhirnya sama-sama tragis juga. 

Saat sekarat, Chekov minta istrinya, Olga Kniper, membawakan sampanye. Dia bilang kalau sudah lama banget nggak minum sampanye seenak itu. Sebagai fyi, jenis sampanye yang diminum adalah jenis Moet. Adegan ini hampir mengingatkan kepada Pramoedya Ananta Toer yang minta rokok di saat sekarat pula (mereka sama-sama Aquarius) (Ok, i should stop). 

Sebelum minta sampanye, Chekov berulang kali berkata lirih, "ich strabe" yang artinya, "saya sekarat". Istri dan dua muridnya yang berada di ruangan panik dan berkali-kali menghubung dokter supaya membawa tabung oksigen. Melihat kerempongan itu, Chekov cuma bilang (kira-kira), "buat apa sihtoh bentar lagi mati juga. Ambil sampanye saja!" Jadilah Chekov menghembuskan nafas terakhir selepas minum segelas penuh.



Keeleganan itu berubah menjadi sebuah tragicomic(?) saat jenazah Chekov dikirim dari Jerman ke Rusia. Demi menjaga dan melindungi jenazah tetap apik dan tak rusak dari hawa musim panas (perjalanan memakan waktu berhari-hari), peti matinya dikirim menggunakan 'kulkas' kereta pengangkut kerang tiram. Cara yang dipandang brilian oleh sebagian pihak ini, mengundang amarah di pihak lain (Maxim Gorky, dkk) karena dianggap tak menghormati almarhum. 

Prosesi penguburannya di Moskow ramai diikuti ratusan pelayat. Menariknya, ratusan pelayat ini barangkali juga pelayat yang mau menyambut  jenazah Jenderal Keller, petinggi militer yang dibunuh di Manchuria dalam rangka Russo War. Jenazah Keller sampai berbarengan dengan Chekov dengan kereta pendingin seafood. Prosesi pemakaman militer yang disiapkan buat Jenderal Keller, mau tak mau dirasakan jenazah Chekov juga.

Duka berlapis-lapis yang membingungkan dan buat marah pelayat ini melahirkan sebentuk perasaan ironis dan sureal bagi sahabat-sahabatnya. Banin dan Gorky bahkan bilang, kalau situasi komikal dan tragis yang suka digambarkan Chekov dalam drama, novel, dan cerpennya, seakan hidup dialami penulisnya sendiri saat kematiannya. 

Chekov dimakamkan di sebelah makam ayahnya di pemakaman Novodevichy pada 15 Juli 1904 di usia 44 tahun.

3. Fyodor Dostoyevsky 

Fyodor Dostoyevsky, #FunFact, satu warteg di Kutek, Depok memajang poster beliau. sumber: tonyreinke.com
Untuk sosok yang ini mah, rasanya saya seperti bertemu kawan karib, hahaha (*sok iyeh). Kalau Tolstoy adalah sosok yang bikin saya tertarik literatur Rusia, Dostoyevsky yang buat saya jatuh cinta. Walau di permukaan beliau suka bikin penggambaran tokoh utama dengan karakter utama laki-laki yang hampir sama (Halo juga, Murakami), yakni miskin, punya gangguan kesehatan mental, tipikal anti-hero, pasif agresif, anti sosial, hopelessly romantic(?), suka ngeluh, dan di-PHP-in. Racauan pemikiran tiap tokoh layak dipertimbangkan dalam-dalam. Terutama saat dangdut mode melanda. 

Yang buat saya jatuh cinta memang pesimisme, 'ekstrimisme', alur pemikiran eksistensialisnya, dan sarkasnya beliau. Itu adalah kejujuran dan sebentuk kesadaran terhadap diri dan lingkungan yang menarik dicontoh menurut saya. Saya ingat, saking 'negatif'-nya "Catatan dari Bawah Tanah", pernah bikin salah satu teman sekelas nggak mampu menyelesaikan novel tersebut, "terlalu suram," katanya. Saya sendiri sangat bisa mengerti karena bacaan literatur sehari-harinya adalah Nicholas Sparks. 

Jangankan teman sekelas saya, penulis DH Lawrence saja pernah bilang terang-terangan kalau dia benci Dostoyevsky. Baginya, Dostoyevsky seperti tikus yang lama berkubang dalam kebencian. Hm ya, dia berkata demikian saat selesai membaca 'The Idiot". Turgenev juga pernah bilang nggak terlalu setuju dengan pendapat yang menyatakan karya Dostoyevsky adalah kanon literatur Rusia.



Dostoyevsky juga adalah sastrawan yang mengalami lonjakan karir paling berliku. Saat pertama kali keluar dengan karya "Poor Folk", dia mendapat apresiasi meriah dan pujian setinggi langit. Belinsky bahkan berkata dia adalah penulis terbaik di zamannya. Tapi 15 hari kemudian reputasinya anjlok. 

Karya Dostoyevsky selanjutnya berjudul "The Double", dinilai sangat kebanting dengan karya perdananya. Dari pujian dan apresiasi, Dostoyevsky menerima kritikan tajam dan olok-olok kasar dari berbagai pihak. Keadaan ini membuat beliau sangat down dan nggak percaya diri. Dia mulai terserang gangguan kesehatan mental dan fisik, juga krisis finansial. Beliau butuh waktu 15 tahun untuk bangkit dari keterpurukan. 

Hal yang juga paling sering dibahas dari Dostoyevsky adalah pengalamannya dipermainkan oleh petinggi Kerajaan Rusia. Ia ditangkap karena aktivitas subversif, yakni mendukung gerakan sosialisme dan propaganda anti pemerintah. Detik-detik menghadapi eksekusi di Lapangan Semyanov, St Petersburgh dengan mata tertutup menunggu tembakan, seseorang datang membawa surat dan menyatakan pembatalan eksekusi. Alhasil, Dostoyevsky dibebaskan, menangis terharu, dan 'hanya' menjalani kerja paksa di Siberia selama 4 tahun. Ini menjadi titik balik terbesar dalam hidup Dostoyevsky. 

Seperti Tolstoy dan (sedikit) Gogol, Dostoyevsky menjadi sangat religius dan kuat memegang ajaran Kristen. Dalam "The Idiot", ia bahkan pernah berkata, "tanpa Tuhan, semua hal tak akan terjadi," hal ini banyak dihubungkan oleh beberapa pihak dengan konteks kesempatan mendapatkan kembali kehidupan. Ya, ini lebih baik ketimbang Dostoyevsky malah menghamba sama kerajaan karena diberi kesempatan hidup, ya. 

Strategi yang dilakukan pihak kerajaan kepada Dostoyevsky disebut sebagai "mock execution". Tujuan dari siksaan ini adalah memunculkan trauma, ketakutan, sekaligus rasa syukur dan balas budi terhadap siapapun yang 'menyelamatkan' mereka. Strategi ini tak lekang digunakan sampai abad 21, bahkan ISIS dan CIA pun ikut menyontek cara-cara ini kepada tahanannya. 

Dibandingkan dengan Gogol dan Chekov, kematian Dostoyevsky bisa dibilang paling 'wholesome'. Dia sering terkena serangan epilepsi di akhir-akhir hidupnya dan terkena gangguan kronis di paru-paru. Tapi dia juga mendapat kursi mentereng dalam komunitas sastrawan di Eropa dan Rusia, hingga akhirnya Turgenev pun mau tak mau mengakui kehebatan karyanya. 

Saat pemerintah Tsar Nikolas II mulai suka grebek para pembelot lagi, Dostoyevsky sebetulnya masuk sebagai salah satu target tangkapan. Beberapa hari setelah tetangganya ditangkap, Dostoyevsky 'syukurnya' sudah lebih dulu meninggal dunia dan dimakamkan di sebelah sastrawan favoritnya, Nikolai Karamzin dan Vasily Zhukovsky di pemakaman Thikvin. Menurut catatan, sekitar 40 ribu sampai 100 ribu orang pelayat mendatanginya. 

Akhirnya Dostoyevsky, sastrawan besar penderita epilepsi yang religius, meninggal pada 9 Februari 1881 di usia 59 tahun.  

Penutup

Selain ketiga sastrawan ini, saya sebetulnya juga sangat suka dengan Solzhenitsin, Petruchevskaya dan Tolstaya. Mereka adalah sastrawan di masa Soviet dan post-Soviet yang genrenya tak jauh dari realisme. 

Tolstoy pun masih gemar, walau kadarnya sudah banyak berkurang. Lenin pernah 'gemas' sebetulnya dengan para sastrawan-sastrawan besar klasik ini, baginya kisah Tolstoy dan Gogol serta Dostoyevsky misalnya, sangat bagus sekali menggambarkan ketimpangan dan ketidakadilan pemerintah. Tapi kok, nggak dimanfaatkan untuk menggerakan massa? Kok nggak mampu sih? Sepertinya Lenin agak kecewa dengan arah peraduan para sastrawan yang lebih memilih sandaran agama ketimbang revolusi, huehe. Ya, bagaimana pun nggak bisa disalahkan juga mengingat sastrawan kesukaan Lenin itu Chernyshevsky.



Walau begitu, membaca dan berkenalan dengan literatur Rusia bisa jadi adalah hal yang mengasyikan dan maynblowing, dalam hidup. Dahsyat. Sekali-kali iqra, bacalah. Insya Allah menekuri salah satu karya dari penulis-penulis ini, tak akan membuang waktu percuma. 

Sumber:

https://www.theguardian.com/books/2012/jun/17/nikolai-gogol-collected-tales-review
https://www.rbth.com/literature/2014/06/05/the_final_days_of_russian_writers_nikolai_gogol_and_anton_chekhov_37225.html
https://www.theguardian.com/books/2013/mar/01/anton-chekhov-lifetime-lovers-play
Kirin Narayan-Alive in the Writing
https://books.google.co.id/books?id=LlWptVbVx90C&pg=PR73&lpg=PR73&dq=general+keller+russia+chekhov&source=bl&ots=8RmXYgNKGD&sig=W7MIDv8Xj8j0PGU-FRbwndM65dw&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiV3I7WlqzZAhWIQI8KHd8YBG4Q6AEIRzAC#v=onepage&q=general%20keller%20russia%20chekhov&f=false
https://www.theguardian.com/books/booksblog/2010/sep/24/author-reputation-dostoevsky
https://www.theguardian.com/books/2015/mar/10/baddies-in-books-dostoevsky-notes-from-underground
http://www.todayifoundout.com/index.php/2015/02/execution-fyodor-dostoevsky/
https://www.theguardian.com/books/2004/jun/26/highereducation.classics

Minggu, 28 Januari 2018

Menua dengan Spesial

Sejak ulang tahun ke-18, saya berhenti berpikir kalau ulangtahun saya adalah hal yang spesial. Maksudnya, ada yang mengingat atau tidak, ada yang mengucapkan selamat atau tidak, kasih kado atau tidak, itu sama sekali bukan masalah. Eh, tapi tentu saja kalau ada yang mengingat, mengucap selamat, atau bahkan kasih kado kepada saya, tentu akan saya terima dengan hati riang dan senang. 

Pemikiran ini juga nggak diaplikasikan ke orang lain. Saya malah semangat mengingat hari ultah orang-orang yang spesial buat saya. Kalau bisa, saya berusaha menyenangkan hati mereka di hari ultahnya, entah itu dengan hadiah, ucapan-ucapan nyes yang sok-sok puitis amis, atau setidaknya membuat yang bersangkutan tertawa bahagia. Intinya saya berusaha membuat orang-orang spesial ini, merasa spesial di hari spesialnya (naon). 

Untuk saya, ucapan ulang tahun dari alm. Ayah saat sweet seventeen adalah ucapan paling spesial dalam hidup, sehingga saya merasa tak perlu lagi dapat pesta peringatan, ucapan, atau bahkan kado dari siapapun di sisa umur yang ada. Saya tak menyangka saja, sejak divonis kanker otak dan mengalami amnesia secara perlahan, hal yang terus bertahan di ingatan Ayah hingga waktu kepergiannya adalah hari kelahiran saya. Tiap tahun, dengan kondisi yang terus menurun, Ayah terus mengucap doa-doa dan harapannya pada saya. Sungguh saya merasa menjadi orang paling spesial di dunia karenanya. 

Menua tahun ini, saya rasa hal spesial barangkali memang tak selalu terletak dalam ucapan, kado-kado, atau pesta peringatan. Jika Ayah terus berusaha mengingat hari kelahiran saya, maka saya akan berusaha 'menjadi'. Kalau bisa bersepakat (atau kompromi) dengan orang lain mudah saja dilakukan, bagaimana bersepakat dengan diri sendiri? Saya pikir, proses 'menjadi' pun berkorelasi dengan kemampuan bersepakat dengan diri sendiri. Benar tidak, ya? Entahlah. 

Ya, intinya ini adalah waktu untuk mewujudkan diri. Untuk menjadi orang yang konsisten tapi terus rendah hati. Seperti Baobab. Seperti bunga Matahari. Seperti hari ini. Jika proses 'menjadi', adalah harus mengakui pula kegiatan menggerutu dalam kamar jauh lebih mengasyikan ketimbang mendatangi kondangan, anggap saja itu bagian dari proses menuju kedewasaan, hehehe. (halasan)

Siap atau tidak, menua tak bisa dihindari. Saya pun mau tak mau harus menghadapinya dengan tetek bengek kekanak-kanakan atau kedewasaan yang mengikutinya. Tak apa, menemukan akar masing-masing memang membutuhkan waktu. Tapi saat ini, saya sendiri cukup merasa spesial untuk berkata jika akar saya mulai merambat dan tertancap kuat. Saya cuma bisa berharap-harap, kalau kematangan pikiran suatu saat akan berjalan dengan kesungguhan perbuatan. 

Dan yah, untuk mengisinya saya akan terus belajar, terus membaca, dan terus menggambar sambil mengupil di sela-selanya. Selamat menua dengan spesial!

Minggu, 07 Januari 2018

Susah Sinyal: Kalau Candaannya Nggak Seksis Memang Kenapa, Sih?

Menyambut tahun baru 2018, saya beserta dua adik kembar dan Mama hangout kecil-kecilan (?) di sebuah Mall di daerah Bekasi. Di tengah kumpulan keluarga lainnya, kami nonton Susah Sinyal di bioskop. 

sumber: Youtube
Waktu itu, bangku di ruang teaternya hampir terisi penuh dan rata-rata penontonnya adalah rombongan keluarga. Di samping saya saja, berderet tiga bocah SD dengan Ibunya dan Bapaknya di sisi terluar. Saya perhatikan, anak-anak itu sudah disiapkan macam-macam 'kebendaan' oleh orang tuanya, kayak selimut (selimut panjang yang muat bertiga), cemilan (yang diseludupkan, tentu saja, entah bagaimana caranya), freshcare green tea (saya familiar sebab punya juga), kaos kaki, dan minuman sirup jeruk (kebauannya hinggap di hidung saya).

Ketika film dimulai, saya agak-agak cemas. Selain adek-adek SD di samping tiba-tiba teriak kecil karena sempat menyangka akan nonton film horor (lampu perlahan kan dimatikeun tuh), saya punya 'tanggung jawab moral' juga untuk memastikan film ini bakalan lucu dan fun abessh, seperti yang diharapkan Kanjeng Mama Ibunda. 

Awal cerita dan alur film berjalan baik-baik saja. Saya mulai optimis filmnya bakalan bagus. Oh iya, film ini secara garis besar bercerita tentang hubungan ibu yang workaholic dan anak abg-nya yang masih bermandikan ego (naon). Adinia Wirasti  (Ellen) berperan jadi ibu penggila 'kerja kerja kerja', sementara yang jadi anak abg bermandi ego itu adalah Aurora Ribero (Kiara) artis baru yang blasteran.

Cocok lah ya, tema film dengan keadaan saya sekeluarga sebagai penonton. Ohya, Ernest Prakasa, komika elite itu, jadi penulis naskah dan sutradaranya. Penting diingat, nieh.

Di tengah cerita filmnya, Ellen dan Kiara memutuskan untuk liburan (di tengah-tengah masa sekolah dan kerja) ke Sumba, NTT untuk menciptakan bonding antara anak dan ibu yang selama ini anyep. Btw, kayaknya daerah Sumba memang sedang menjadi spot 'eskapis' favorit sineas Indonesia, ya? Ernest sendiri bilang, kalau pilihannya jatuh ke Sumba sebagai wadahnya berpromosi supaya Sumba terkenal dan jadi tempat wisata. Aheum, saya sudah agak-agak antisipasi dan antipati kalau-kalau ada colonial gaze berbalut eksotisma Sumba dalam adegannya. Dan ya, adegan itu ada, huhu. 

Nah, yang lainnya nih, yang saya wanti-wanti tak perlu ada, candaan mesum. Sudah tertawa ngakak dan menangis (dikit) di pertengahan film, saya jadi jijik dan males euy saat candaan nggak penting ini muncul. Sayang sekali, penokohan, alur, akting, dan cerita yang sudah rapi, top markotop, dan alami itu harus dirusak dengan jokes murahan yang menyerempet sexual innuendo alias mesum. Objeknya? tokoh penyanyi dangdut yang sedang liburan bersama dengan suaminya di penginapan Humba, tempat Ellen dan Kiara menginap. 

Ugh, saya salting. Soalnya nggak enak dengan Kanjeng Mama Ibunda dan adik-adik. Ini kan film keluarga, kok nganu?! Ohya, apa kabar dengan keluarga yang piknik di sebelahku ini? Hm, kegelapan bioskop tak bisa menjawab. 

Semangat sudah turun beberapa derajat saat kemesuman muncul. Seterusnya, saya jadi terganggu dengan jokes-jokes yang dilontarkan Arie Keriting dan Abdur Arsyad (habis garink, kak). Ironis sih, soalnya Arie Keriting ini, jadi semacam humor consultant dalam penggarapan film 'Susah Sinyal'. Entahlah. Padahal akting-akting dari komika lainnya (btw, ini film bertabur komika) seperti Dodit Mulyanto, Yusril Fahriza, Aci Resti, dan Ge Pamungkas, itu sudah bagus dan beneran lucu tanpa harus mesum. Lha, tapi konsultan kok humornya anyep gini? 

Saat film selesai, adek-adek saya dan Mama kelihatannya puas banget dengan filmnya. Mereka bilang, "seru, Mbakk!" Sementara tiga bocah SD di samping saya ternyata ketiduran sejak pertengahan film. Saya sendiri tetap merasa terhibur dengan filmnya, ada kesan yang ditinggalkan seperti, "AKU TAMBAH SAYANG MAMA!". Tapi ya tetap ada yang mengganjal karena jokes itu. Biarkan saja sebab saya adalah @difficultgirl69. 

Komika Indonesia Seksis?


Kenapa sih sepertinya kok le-bye banget gara-gara candaan mesum setitik jadi lemes? Kenapa? Karena saya jadi teringat seorang kenalan komika jebolan SUCI yang candaannya ngono. Dia nggak membawa tema mesum tiap manggung sih, tapi homofobik parah (ya mesum sih). Dia-yang-namanya-tak-perlu-disebutkan berkata di telinga aink kalau LGBTQIA itu nggak normal, menjijikan, dan dia 'merasa' punya 'power' buat share bahaya LGBTQIA lewat jokesnya. Astagfirullah!

Kalau diperhatikan, candaan-candaan komika Indonesia memang seksis, mesum, dan patriarkis. Ini pernah diamini juga sama Intan Paramaditha, penulis buku dan feminis, di akun twitternya beberapa waktu lalu. Lihat sajalah, pegiat awal Stand Up Comedy di Indonesia, Raditya Dika. Dia kerap melontarkan candaan seksis, yang bilang cewek tuh makhluk yang aneh, cewek menjajah cowok, frekuensinya pertemanannya berbeda dengan laki-laki, cewek tuh bego, dan lain-lain (good luck yang bakal jadi istrinya nanti).

Stereotip gender yang ngablu itu (berkembang jadi candaan jomblo vs pacaran yang juga norak), seakan dijadikan pola atau template buat komika-komika muda setelahnya sebagai bahan jokes dan terus direproduksi. 

Hm, Ernest dengan candaan mesum yang mengobjektifikasikan perempuan, kawan komikaku yang homofobik, dan Raditya Dika yang seksis, punya kekuatan simbolik, budaya, dan kultur, secara mereka adalah komika terkenal yang sudah banyak berkarya dan punya koneksi cihuy di industri hiburan dalam negeri. Banyak komika muda look up dan menganggap mereka 'panutan' untuk mulai berkarir atau belajar di ranah ini. Kekuatan mereka itu something.

Somehow (azeek), apa yang dibilang oleh kawan komika homofobikku tentang power tentu tak salah sama sekali. Justru agak berbahaya sebab dia sadar dan 'sengaja' menggunakannya untuk hal yang buruk. Ya, bagi saya memperparah stigma negatif soal kelompok LGBTQIA adalah hal buruk nan sia-sia mughallazah.

Komika terkenal sekelas Ernest, kawan homofobikku, dan Raditya Dika memang punya kekuatan untuk menyelipkan pemikiran dan asumsinya yang tabu, dianggap berbahaya, salah, dan berseberangan dengan norma-norma sosial lewat humor-humornya. Humor dapat melebarkan penerimaan terhadap ketabuan-ketabuan itu secara santai seolah tanpa ancaman. 

Sebetulnya, kalau pisau ini dipakai untuk meluaskan ketabuan untuk membicarakan korban-korban PKI, Tragedi 1998, kemiskinan di Indonesia Timur, ketimpangan sosial, dan lain-lain, akan jauh lebih berfaedah dan bermakna. Nah ini sebetulnya sudah dilakukan Ernest dan Abdur, mereka keren untuk tema itu. Tapi apapula, saat bicara dengan kawan homofobikku dia bilang "Ah, aku kan bukan mau mendydyk, tapi menghiboer," Hm, ok.

Humor Seksis Itu Berbahaya!


Candaan seksis yang datang dari Ernest dkk, hanya membuat mereka merasa bebas mengekpresikan antagonisme terhadap perempuan dan memberi sinyal jika mengekspresikan attitude seksis itu tak berbahaya, perlu dilakukan, bahkan menyenangkan! Tentu saja itu nggak bisa dibenarkan, boeng!

Semakin dianggap normal dan 'biasa-biasa saja' sebuah candaan seksis, maka perilaku misoginis juga akan dianggap lumrah dan kekerasan terhadap perempuan bisa jadi semakin tinggi. Di sebuah penelitian bahkan ada korelasi terhadap budaya menyalahkan korban dengan kasus perkosaan. Semua itu bermuara dari keberadaan candaan seksis yang menganggap mengobjektifikasi perempuan adalah hal yang menyenangkan dan lucu. Alih-alih dianggap sebagai hal yang kasar dan bertentangan dengan norma, candaan seksis malah dianggap hal yang ironis. Ew!

Candaan seksis jelas punya kontribusi dalam pelanggengan budaya kekerasan terhadap perempuan. Lihat saja gambar piramidanya di bawah ini. 


Akibat fatal dari sebuah candaan seksis dalam piramida di atas adalah pembunuhan dan perkosaan. Tapi bukan berarti sebelum adanya pembunuhan dan perkosaan, perlakuan kekerasan lain nggak dianggap berbahaya. Justru benih-benih kekerasan harus dihentikan saat candaan seksis menghadang.  (((menghadang)))

Intinya, dampak dari candaan yang seksis itu nggak lucu sama sekali, boeng!

Oh iya, kalau masih bingung bedain gimana candaan seksis, paling mudahnya melihat dari segala jenis candaan yang menggunakan perempuan sebagai objek untuk bahan tertawa. Nah, candaan mesum itu ya seksis sebab (pasti) selalu mengobjekkan perempuan di dalamnya. Ini juga berlaku untuk candaan homofobik yang menjadikan kelompok LGBTQIA sebagai objek tawa. Leave them alone!

"Ah Mel, kalo aink mah orangnya posmo siyh. Jadi ndak anggep teks skrip yang dibuat Ernest Prakarsa di Susah Sinyal itu seksis." 

Gini, bro (anjir, sok asik), teks dan wacana itu nggak hanya dibentuk, dia ada juga untuk mengontrol dan bahkan mendisiplinkan. Bukan aink yang ngomong, tapi Foucault, dewa Posmo tuh. Ernest dan dua partner pembuat skripnya, Jenny Jusuf dan Meira Anastasia, yang membuat candaan seksis dalam skrip film, membentuk dan mengontrol bagaimana perempuan seharusnya diobjekkan dalam film. Mereka bertiga mendefinisikan sebuah karakter perempuan yang layak jadi objek tawa dengan hal-hal mesum. Bagaimana bentukan perempuan yang pantas ditertawakan ala mereka? Yang seperti penyanyi dangdut itu, yang berkata dengan manja, "aduh, untung bukan ketumpahan susu, bisa lengket deh." Nope aint funny and yes the script also the writers are all sexists. 

Tanpa candaan mesum, film Susah Sinyal masih bisa lucu, memiliki pezan moral, seru, keren dan aman dinikmati oleh berbagai lapisan umur tanpa terancam salting. Saya sampai merasa bersalah dengan Kanjeng Mama, adik kembar, adik SD itu, dan bahkan keluarga di samping padahal syapa lu, mel, gara-gara kemesuman maksa itu.

Makanya saya jadi penasaran sendiri, memangnya kenapa sih kalau hanya sekali saja candaan yang seksis atau mesum tak dikeluarkan para komika?

Berhenti yuk membuat candaan seksis itu normal dan wajar, jangan sampai itu malah jadi norma. 

Saat Dangdut Melanda (Bukan Mengendorse Via Vallen Walau Dia Mirip Isyana Sarasvati)

Jadi ini salah satu tulisan (?) yang ada di buku The Book of Invisible Questions karyanya Lala Bohang. Pas awal membaca tulisan itu pertama kali, perasaan tuh biasa saja. Lempeng. Tapi ketika nggak sengaja membuka lagi di halaman tersebut, langsung berpikir, "edan, tunggu bentar, deh. Wew?"

Ceritanya 'diri' saling menguatkan tapi ndak mirip. Terus kok tangannya pengkor? Hm, anggap saja dia baru pulih setelah kram bermain karambol tapi tetap bersemangat menjaga dirinya sendiri ditemani bunga daisy penuh kepalsuan. Watercolor on paper. Copyleft 

Maklum, keadaan hati masih rawan terserang kedangdutan.

Tulisannya tersebut berjudul Can I be honest with you? Isinya adalah daripada seperti demikian;

You're the first thing I think about in the morning.Before I wake up, make my bed, and wash my face. I reminiscence about all the happiness and pain you gave me in one blink of an eye when it's over. After realizing the fact that I laugh and I cry at the same time, I am amazed by how much energy and emotion I spent on our roller coaster together. To arrive at nothing. 
Now I start watching Youtube channel about how to make a man fall in love and desire a woman.Just trying to find answers from the wrong sources, like always. 


Lala Bohang ini adalah ilustrator yang tinggal di Jakarta. Karya-karyanya ini memang punya style yang sureal, simbolik, minimalis, dan cenderung filosofikal (saya otoy). Saya sendiri mulai 'ngeh' dengan keberadaan bliyo di dunia, waktu masih aktif dan genit-genitnya membaca dan mengoleksi majalah Gadis di esempeh dulu. 

Waktu itu, di salah satu rubriknya, Gadis sempat membahas pekerja seni yang cihuy dari Indonesia. Nah, mbak Lala jadi salah satu kandidatyang dibahasnya. Saya ingat terus dengan profil dia mbcoz bliyo bikin karakter fiksi bernama Lula. Sebagey orang yang gemar mengobjekkan tokoh, saya pede saja merelasikan diri dengan Lula. Huh, padahal Lula galau (eksistensialis) meluluk (justru itu!).


Ieu tah bukuna. Diterbitkan oleh Gramedia
Kembali lagi ke tulisan. Bagian itu membuat saya mendapatkan momen 'dheg' sebab mengingatkan lagi sama hal dan rasa yang (sengaja dan berusaha) dilupakan. Kacau sudah benteng pertahanan ala Trump itu. Eh, enggak kacau-kacau juga, deng. Adek masih kuat, kug. Ya, tapi dalam beberapa detik, saya sempat berpikir bagaimana rasanya kalau berhenti merasakan apapun sama sekali? Sedetik saja. Habis, seringnya ia sangat menyiksa dan bisa datang tiba-tiba. Tanpa kata-kata!

Jangankan saya, yang apalah cuma kentut ikan sapu-sapu, ini, Seno Gumira Ajidarma sebetulnya juga pernah galau tentang 'rasa'. Dia bilang, "Apalah yang pasti dari perasaan manusia?" Ndak tahu, Mz. Rasa-rasa bahagia yang dibawa sebagian perasaan sudah kalah di medan pertempuran dengan ketidakpastian. 

Tapi, di detik selanjutnya saya mau terus memahami rasa cinta dan derita. Saya ingin hati diisi oleh harapan, cita-cita, ketakutan, putus asa, kebahagiaan, dan duka. Terutama dari mereka para manula kesepian di balik-balik tembok hingga harus menemui kadokushi-nya, isi kepala-kepala di jukai Aokigahara, pesan-pesan yang ditinggalkan para tapol '65 di tembok-tembok penjara, guratan urat-urat di tangan dan wajah Mama oleh senyum atau sedihnya. Saya mau terus memahami dan merasakan itu.

Akhirnya malam ini saya jadi tahu kenapa Via Vallen dibilang mirip dengan Isyana Saraswati.