Dorongan untuk menulis tema ini datang dari gejolak hormonal haid. Saya membaca kembali Sinel (Mantel) karya Nikolai Gogol dan menangisi Akaki Akakievich seharian disaksikan oleh dua ikan mas koki saya. Dari sana, jadi teringat penulis-penulis Rusia favorit lainnya. Walau selera saya sungguh sangat basic, tapi rasanya menghaturkan secara khusus kekaguman kepada penulis-penulis tersebut, perlu dilakukan.
Sebab bagaimana pun juga, antusiasme terhadap karya-karya mereka inilah yang buat saya terus bertahan belajar di Sastra Rusia, hohoho. Dari mereka pula, saya merasa tak perlu khawatir untuk stay sad and less fab alias menjadi suram dan gelap (ngok). Karena dalam beberapa titik, menghadapi hal-hal 'gelap' itu adalah salah satu cara untuk tetap hidup dan terus menghargainya (ngek).
Selain sosoknya, saya juga mau membahas bagaimana mereka menghadapi kematiannya. Mengapa? karena seperti kisah-kisahnya, para sastrawan klasik ini juga berakhir dengan cara yang 'tragis', grotesque, sureal, dan meninggalkan kesan sangat dalam. Oke, semua ini adalah murni pengalaman membaca saya yang memang tak terlalu luas. Jadi silakan dinikmati sebagai bagian dari pengalaman saya sahaja, hehehe.
1. Nikolai Gogol
![]() |
Nikolai Gogol, potretnya selalu jaim dan polos, sumber: rinatim.com |
Awal masuk jurusan Rusia, nama Tolstoy lebih sering disebut dibandingkan orang ini. Padahal, mereka berdua sama-sama 'mistis', kalau nggak mau disebut aneh. Bedanya, Gogol punya selera humor lebih hacep daripada Tolstoy.
Mereka (Tolstoy dan Gogol) bisa menangkap eksploitasi dan ketimpangan yang terjadi terhadap petani dan orang-orang marjinal dengan sangat baik. Tetapi arah 'peraduan' mereka berbeda, Tolstoy lebih mengajak kita untuk pasrah dan menyerahkan diri pada Tuhan, sementara Gogol menertawakannya. Ya, ini tentu saja nggak bisa diaplikasikan di setiap karya keduanya, setidaknya dalam kasus 'Mantel' karya Gogol dengan 'Tuhan Tahu Tapi Menunggu' karya Tolstoy, itu yang bisa saya tangkap.
Gogol mau tak mau membuat kita (atau setidaknya saya) marah dengan pemerintah, sekaligus membenci dan mengasihani tokoh utama. Dari Gogol, saya juga banyak belajar bagaimana mendeskripsikan sosok dengan detail dan komikal, tapi tetap substansial. Gogol juga memiliki teknik menulis yang padat, tapi alur bercerita yang mengalir asyik, sehingga pembaca bisa bertahan tanpa harus kehabisan napas, ini saya temui dalam 'Jiwa-Jiwa Mati' dan 'Vy'. Dari dia pula, saya berpikir imajinasi liar perlu sesekali dikembangkan lebih jauh, untuk memunculkan beragam alternatif hidup, walau akhirnya tetap kalah diganyang kesialan hidup. Well, at least you tried, sweetie.
Menemui masa akhir hidupnya, Gogol ternyata juga menghadapi sebuah kebuntuan. Ia tiba-tiba paranoid saat menyaksikan kematian istri sahabatnya, Catherine, karena tipus. Serangan paranoia itu membuat Gogol banyak memikirkan kematian hingga depresi dan menyandarkan diri pada ajaran agama. Supaya bisa hidup lebih lama dan tak berakhir mati muda seperti Catherine, dia mendatangi pendeta ultra-konservatif Orthodox bernama Bapa Matvei Konstantinovsky.
Sialnya si Bapa bilang kalau pekerjaan Gogol sebagai penulis itu dianggap sebagai pekerjaan yang dibenci Tuhan. Tanpa pikir panjang, Gogol langsung saja membakar skrip-skrip naskah 'Jiwa Jiwa Mati' dan berbagai manuskrip lainnya dan melabelinya sebagai kegagalan. Sikap destruktif tersebut berlanjut dengan niatnya untuk berpuasa menyambut Maslenitsa.
Maslenitsa adalah perayaan musim semi Rusia yang sangat heboh dan penuh hura-hura. Keputusan Gogol untuk berpuasa ini sebetulnya sangat menyakiti diri, sebab dirinya sangat terobsesi dengan makanan. Benar saja, beberapa hari puasa, ditambah keadaan mental yang amburadul, dia jatuh sakit. Dokternya sendiri merasa menempelkan beberapa lintah di hidungnya dan 'merebus' Gogol adalah teknik terbaik untuk membuat sastrawan terkenal itu sembuh dari kekurangan gizi dan depresi klinis. Tentu saja cara ajaib itu gagal.
Sebelum meninggal, Gogol pernah menyampaikan pesan kepada sahabatnya jika nanti meninggal ingin disediakan peti mati dengan lubang udara dan sambungan tali dengan bel dari dalam kubur. Ya, cara ini dilakukannya sebab beliau parno kalau-kalau orang mengira dia mati padahal belum, jika hal itu terjadi dia ingin memberitahu orang dengan memanggilnya lewat bel yang tersambung ke peti matinya supaya bisa ditolong.
Tapi Gogol sudah damai dikebumikan di area pemakaman Danilov sebulan setelah puasa berdarah itu. Lelaki Aries berdarah Ukraina tersebut meninggal 21 Februari 1852 di usia 42.
2. Anton Chekov
![]() |
Anton Chekov, yang seakan bilang "buruan, nyet!" kepada fotografer, sumber: lettersofnote.com |
Mengagumi Chekov awalnya karena alasan receh. Ya, benar karena sama-sama Aquarius dan lahir hanya berselang satu hari saja dengan saya tertarik dengan RSJ. Jika karya Gogol bisa membuat kita tertawa dan bersalah kemudian, karya Chekov sangat apik menggambarkan tokoh dan sifatnya seperti seorang antropolog, tapi dengan ironisme tingkat tinggi. Kirin Narayan, seorang folkoris cum profesor bahkan terinspirasi membuat teknik-teknik menulis dari karya-karya Chekov.
Chekov meninggal karena TBC. Lelaki tampan idola banyak kembang desa ini pun mengalami proses meninggal yang lebih 'normal' ketimbang Gogol. Bahkan bisa dibilang mendekati elegan, walau akhirnya sama-sama tragis juga.
Saat sekarat, Chekov minta istrinya, Olga Kniper, membawakan sampanye. Dia bilang kalau sudah lama banget nggak minum sampanye seenak itu. Sebagai fyi, jenis sampanye yang diminum adalah jenis Moet. Adegan ini hampir mengingatkan kepada Pramoedya Ananta Toer yang minta rokok di saat sekarat pula (mereka sama-sama Aquarius) (Ok, i should stop).
Sebelum minta sampanye, Chekov berulang kali berkata lirih, "ich strabe" yang artinya, "saya sekarat". Istri dan dua muridnya yang berada di ruangan panik dan berkali-kali menghubung dokter supaya membawa tabung oksigen. Melihat kerempongan itu, Chekov cuma bilang (kira-kira), "buat apa sih? toh bentar lagi mati juga. Ambil sampanye saja!" Jadilah Chekov menghembuskan nafas terakhir selepas minum segelas penuh.
Keeleganan itu berubah menjadi sebuah tragicomic(?) saat jenazah Chekov dikirim dari Jerman ke Rusia. Demi menjaga dan melindungi jenazah tetap apik dan tak rusak dari hawa musim panas (perjalanan memakan waktu berhari-hari), peti matinya dikirim menggunakan 'kulkas' kereta pengangkut kerang tiram. Cara yang dipandang brilian oleh sebagian pihak ini, mengundang amarah di pihak lain (Maxim Gorky, dkk) karena dianggap tak menghormati almarhum.
Prosesi penguburannya di Moskow ramai diikuti ratusan pelayat. Menariknya, ratusan pelayat ini barangkali juga pelayat yang mau menyambut jenazah Jenderal Keller, petinggi militer yang dibunuh di Manchuria dalam rangka Russo War. Jenazah Keller sampai berbarengan dengan Chekov dengan kereta pendingin seafood. Prosesi pemakaman militer yang disiapkan buat Jenderal Keller, mau tak mau dirasakan jenazah Chekov juga.
Duka berlapis-lapis yang membingungkan dan buat marah pelayat ini melahirkan sebentuk perasaan ironis dan sureal bagi sahabat-sahabatnya. Banin dan Gorky bahkan bilang, kalau situasi komikal dan tragis yang suka digambarkan Chekov dalam drama, novel, dan cerpennya, seakan hidup dialami penulisnya sendiri saat kematiannya.
Chekov dimakamkan di sebelah makam ayahnya di pemakaman Novodevichy pada 15 Juli 1904 di usia 44 tahun.
3. Fyodor Dostoyevsky
![]() |
Fyodor Dostoyevsky, #FunFact, satu warteg di Kutek, Depok memajang poster beliau. sumber: tonyreinke.com |
Untuk sosok yang ini mah, rasanya saya seperti bertemu kawan karib, hahaha (*sok iyeh). Kalau Tolstoy adalah sosok yang bikin saya tertarik literatur Rusia, Dostoyevsky yang buat saya jatuh cinta. Walau di permukaan beliau suka bikin penggambaran tokoh utama dengan karakter utama laki-laki yang hampir sama (Halo juga, Murakami), yakni miskin, punya gangguan kesehatan mental, tipikal anti-hero, pasif agresif, anti sosial, hopelessly romantic(?), suka ngeluh, dan di-PHP-in. Racauan pemikiran tiap tokoh layak dipertimbangkan dalam-dalam. Terutama saat dangdut mode melanda.
Yang buat saya jatuh cinta memang pesimisme, 'ekstrimisme', alur pemikiran eksistensialisnya, dan sarkasnya beliau. Itu adalah kejujuran dan sebentuk kesadaran terhadap diri dan lingkungan yang menarik dicontoh menurut saya. Saya ingat, saking 'negatif'-nya "Catatan dari Bawah Tanah", pernah bikin salah satu teman sekelas nggak mampu menyelesaikan novel tersebut, "terlalu suram," katanya. Saya sendiri sangat bisa mengerti karena bacaan literatur sehari-harinya adalah Nicholas Sparks.
Jangankan teman sekelas saya, penulis DH Lawrence saja pernah bilang terang-terangan kalau dia benci Dostoyevsky. Baginya, Dostoyevsky seperti tikus yang lama berkubang dalam kebencian. Hm ya, dia berkata demikian saat selesai membaca 'The Idiot". Turgenev juga pernah bilang nggak terlalu setuju dengan pendapat yang menyatakan karya Dostoyevsky adalah kanon literatur Rusia.
Dostoyevsky juga adalah sastrawan yang mengalami lonjakan karir paling berliku. Saat pertama kali keluar dengan karya "Poor Folk", dia mendapat apresiasi meriah dan pujian setinggi langit. Belinsky bahkan berkata dia adalah penulis terbaik di zamannya. Tapi 15 hari kemudian reputasinya anjlok.
Karya Dostoyevsky selanjutnya berjudul "The Double", dinilai sangat kebanting dengan karya perdananya. Dari pujian dan apresiasi, Dostoyevsky menerima kritikan tajam dan olok-olok kasar dari berbagai pihak. Keadaan ini membuat beliau sangat down dan nggak percaya diri. Dia mulai terserang gangguan kesehatan mental dan fisik, juga krisis finansial. Beliau butuh waktu 15 tahun untuk bangkit dari keterpurukan.
Hal yang juga paling sering dibahas dari Dostoyevsky adalah pengalamannya dipermainkan oleh petinggi Kerajaan Rusia. Ia ditangkap karena aktivitas subversif, yakni mendukung gerakan sosialisme dan propaganda anti pemerintah. Detik-detik menghadapi eksekusi di Lapangan Semyanov, St Petersburgh dengan mata tertutup menunggu tembakan, seseorang datang membawa surat dan menyatakan pembatalan eksekusi. Alhasil, Dostoyevsky dibebaskan, menangis terharu, dan 'hanya' menjalani kerja paksa di Siberia selama 4 tahun. Ini menjadi titik balik terbesar dalam hidup Dostoyevsky.
Seperti Tolstoy dan (sedikit) Gogol, Dostoyevsky menjadi sangat religius dan kuat memegang ajaran Kristen. Dalam "The Idiot", ia bahkan pernah berkata, "tanpa Tuhan, semua hal tak akan terjadi," hal ini banyak dihubungkan oleh beberapa pihak dengan konteks kesempatan mendapatkan kembali kehidupan. Ya, ini lebih baik ketimbang Dostoyevsky malah menghamba sama kerajaan karena diberi kesempatan hidup, ya.
Strategi yang dilakukan pihak kerajaan kepada Dostoyevsky disebut sebagai "mock execution". Tujuan dari siksaan ini adalah memunculkan trauma, ketakutan, sekaligus rasa syukur dan balas budi terhadap siapapun yang 'menyelamatkan' mereka. Strategi ini tak lekang digunakan sampai abad 21, bahkan ISIS dan CIA pun ikut menyontek cara-cara ini kepada tahanannya.
Dibandingkan dengan Gogol dan Chekov, kematian Dostoyevsky bisa dibilang paling 'wholesome'. Dia sering terkena serangan epilepsi di akhir-akhir hidupnya dan terkena gangguan kronis di paru-paru. Tapi dia juga mendapat kursi mentereng dalam komunitas sastrawan di Eropa dan Rusia, hingga akhirnya Turgenev pun mau tak mau mengakui kehebatan karyanya.
Saat pemerintah Tsar Nikolas II mulai suka grebek para pembelot lagi, Dostoyevsky sebetulnya masuk sebagai salah satu target tangkapan. Beberapa hari setelah tetangganya ditangkap, Dostoyevsky 'syukurnya' sudah lebih dulu meninggal dunia dan dimakamkan di sebelah sastrawan favoritnya, Nikolai Karamzin dan Vasily Zhukovsky di pemakaman Thikvin. Menurut catatan, sekitar 40 ribu sampai 100 ribu orang pelayat mendatanginya.
Akhirnya Dostoyevsky, sastrawan besar penderita epilepsi yang religius, meninggal pada 9 Februari 1881 di usia 59 tahun.
Penutup
Selain ketiga sastrawan ini, saya sebetulnya juga sangat suka dengan Solzhenitsin, Petruchevskaya dan Tolstaya. Mereka adalah sastrawan di masa Soviet dan post-Soviet yang genrenya tak jauh dari realisme.
Tolstoy pun masih gemar, walau kadarnya sudah banyak berkurang. Lenin pernah 'gemas' sebetulnya dengan para sastrawan-sastrawan besar klasik ini, baginya kisah Tolstoy dan Gogol serta Dostoyevsky misalnya, sangat bagus sekali menggambarkan ketimpangan dan ketidakadilan pemerintah. Tapi kok, nggak dimanfaatkan untuk menggerakan massa? Kok nggak mampu sih? Sepertinya Lenin agak kecewa dengan arah peraduan para sastrawan yang lebih memilih sandaran agama ketimbang revolusi, huehe. Ya, bagaimana pun nggak bisa disalahkan juga mengingat sastrawan kesukaan Lenin itu Chernyshevsky.
Walau begitu, membaca dan berkenalan dengan literatur Rusia bisa jadi adalah hal yang mengasyikan dan maynblowing, dalam hidup. Dahsyat. Sekali-kali iqra, bacalah. Insya Allah menekuri salah satu karya dari penulis-penulis ini, tak akan membuang waktu percuma.
Sumber:
https://www.theguardian.com/books/2012/jun/17/nikolai-gogol-collected-tales-review
https://www.rbth.com/literature/2014/06/05/the_final_days_of_russian_writers_nikolai_gogol_and_anton_chekhov_37225.html
https://www.theguardian.com/books/2013/mar/01/anton-chekhov-lifetime-lovers-play
Kirin Narayan-Alive in the Writing
https://books.google.co.id/books?id=LlWptVbVx90C&pg=PR73&lpg=PR73&dq=general+keller+russia+chekhov&source=bl&ots=8RmXYgNKGD&sig=W7MIDv8Xj8j0PGU-FRbwndM65dw&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiV3I7WlqzZAhWIQI8KHd8YBG4Q6AEIRzAC#v=onepage&q=general%20keller%20russia%20chekhov&f=false
https://books.google.co.id/books?id=LlWptVbVx90C&pg=PR73&lpg=PR73&dq=general+keller+russia+chekhov&source=bl&ots=8RmXYgNKGD&sig=W7MIDv8Xj8j0PGU-FRbwndM65dw&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiV3I7WlqzZAhWIQI8KHd8YBG4Q6AEIRzAC#v=onepage&q=general%20keller%20russia%20chekhov&f=false
https://www.theguardian.com/books/booksblog/2010/sep/24/author-reputation-dostoevsky
https://www.theguardian.com/books/2015/mar/10/baddies-in-books-dostoevsky-notes-from-underground
http://www.todayifoundout.com/index.php/2015/02/execution-fyodor-dostoevsky/
https://www.theguardian.com/books/2004/jun/26/highereducation.classics